Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kematian Brigadir Jenderal Koesmayadi menyisakan misteri sampai kini. Dia tewas pada 25 Juni. Polisi militer kemudian menggerebek tiga kediaman pribadi Wakil Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat itu. Di Ancol, Jakarta Utara; Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan; dan Cibubur, Jakarta Timur. Dari situlah misteri meruak. Sang jenderal menyimpan 145 pucuk senjata rupa-rupa jenis, termasuk senapan serbu dan senapan mesin.
Ada pula 28 ribu butir amunisi serta granat dan teropong. Dia juga menitipkan puluhan senjata di Markas Komando Pasukan Khusus di Cijantung, Jakarta Timur. Spekulasi pun merebak. Dari sekadar koleksi pribadi hingga bisnis gelap, bahkan ada yang menyebut logistik itu untuk rencana kudeta.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Panglima Tentara Nasional Indonesia, tiga kepala staf angkatan, serta Kepala Badan Intelijen Negara, dan meminta mereka mengusut tuntas soal ini.
Sebulan lewat, Pusat Polisi Militer menyimpulkan bahwa Koes mengimpor puluhan senjata tanpa izin atasan serta menyimpannya secara tak sah. Yang belum terjawab, untuk apa Koesmayadi menumpuk barang mematikan itu.
Terpulang Aceh Kepada GAM
Babak baru tanah Aceh ditulis pada 11 Desember lalu. Pada hari itu, warga di seantero provinsi menetapkan pemimpin baru mereka melalui sebuah pemilihan kepala daerah. Untuk pertama kalinya pemilihan kepala daerah—secara langsung—dilaksanakan di Nanggroe Aceh Darussalam. Dan Aceh mempermaklumkan bahwa tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah pilihan mereka.
Pasangan independen Irwandi Yusuf, 46 tahun, dan Muhammad Nazar, 33 tahun, melaju di nomor terdepan. Keduanya akan memimpin provinsi itu hingga 2009. Dengan perolehan suara lebih dari 35 persen, kedua tokoh GAM yang pernah menjadi tahanan politik ini menuai kemenangan tanpa perlu melewati putaran kedua. Kejutan terjadi pula di tingkat kabupaten dan kota madya. Sejumlah tokoh Gerakan terpilih sebagai bupati dan wali kota.
Jakarta meriang. Dunia terperangah. Sedangkan Aceh gembira. Sejumlah calon dari partai besar, yang dulu pernah berkuasa di tanah itu, rontok di kaki kedua tokoh independen pilihan rakyat itu.
Bertahun-tahun gagal dalam perjuangan bersenjata, para panglima wilayah—yang menjadi mesin kemenangan Irwandi— ternyata mampu bermain dengan gemilang di latar politik. Maka terpulanglah Aceh kepada GAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo