Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Petaka Membawa Nikmat

Krisis ekonomi membuat pertambangan rakyat berjaya. Miliuner bermunculan di daerah.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkenalkan: Aman Jagau, juragan batu bara Kalimantan Selatan. Rumahnya 13 buah, tersebar di Kalimantan dan Jakarta. Inilah mobilnya: delapan BMW seri terbaru, satu jip Hammer, dan yang paling ia banggakan, Roll Royce Phantom yang dibeli pada 2005 seharga Rp 8 miliar. ”Cuma ada dua di Indonesia,” katanya kepada Tempo di Kotabaru, Juni lalu.

Padahal, 10 tahun lalu Aman cuma tukang ojek dan kernet truk di Banjar, Kalimantan Selatan. Peruntungannya berubah pada usia 38 tahun. Ia mendapat berkah dari booming batu bara pascakrisis ekonomi.

Aman, orang Tapin, Kalimantan Selatan, terjun ke tambang bahan bakar fosil ini pada 1997. Modalnya Rp 37,5 juta. Uang hasil membobok celengan itu dipakai untuk membeli tanah rawa dari seorang pemilik Surat Perintah Kerja Penambangan Batu Bara di kawasan Gunung Batu Besar, Kabupaten Kotabaru.

Sekitar 1998, ketika petaka ekonomi melumpuhkan Indonesia, Aman justru panen. Saat itu nilai dolar Amerika melonjak, mengakibatkan pendapatan perusahaan pertambangan, termasuk batu bara, melejit 3–5 kali lipat. Harga batu bara yang semula Rp 60 ribu per ton menjadi Rp 140 ribu per ton untuk kategori 6.000–6.500 kalori. Sekarang harganya tak turun dari angka Rp 290 ribu.

Mengelola 16 ribu hektare konsesi tambang batu bara, Aman bisa membeli 37 ekskavator dan lima buldoser. Bahan tambang ini juga menghidupi 17 anak dan empat istrinya—salah satunya pedangdut kondang Cucu Cahyati.

Bukan Aman seorang saja yang mendadak kaya akibat fosil tanaman ini. Orang-orang kaya baru tumbuh bak jamur di kawasan Kotabaru, Tanah Laut, hingga Tanah Bumbu. Rawa-rawa kini pekak oleh derum mobil bila siang dan meriah oleh buruh tambang yang berjumlah 300-an ribu orang bila malam.

Saat ini terdapat 360 usaha pertambangan batu bara rakyat di seantero Kalimantan Selatan. Mereka membengkakkan pundi-pundi daerah dengan membayar Rp 500 juta untuk setiap izin lokasi dan menyetor royalti hasil tambang sebesar 13,5 persen yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah.

Berkah batu bara tak hanya datang ke Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Timur juga bermunculan miliuner baru, di antaranya Abdurachman Alhasani, pemilik 2.000 hektare tambang batu bara di Sanga-sanga. Sebagian uang Abdurachman kini sudah berubah menjadi rumah bagus di Samarinda, apartemen di Singapura, hingga belasan mobil mewah.

Jika ada orang yang tak menyesal kehilangan uang Rp 12 miliar, Abdurachman orangnya. Uang itu raib saat ia mencalonkan diri dalam pemilihan Wali Kota Samarinda. ”Ya, waktu itu cuma main-main saja,” katanya dengan enteng.

Kalau Abdurachman terserang jenuh, obatnya mahal. Ia melipurnya dengan pelesiran ke mancanegara. ”Kalau sedang ingin, langsung saja berangkat,” ujarnya kepada Tempo ketika ditemui di Sanga-sanga.

Lain pulau, lain tambangnya, tapi sama berkahnya. Rezeki dari krisis ekonomi juga datang ke pertambangan timah rakyat di Pulau Bangka. Apik Rasjidi, 54 tahun, yang punya cerita.

Baru ”tahu” timah pada 2002, Apik kini miliuner. Di Pasir Padi, Pangkal Pinang, ia punya smelter (pabrik peleburan bijih logam) yang sanggup menghasilkan sekitar 60 ton timah batangan per tahun. Bayangkan uang yang ia putar jika harga per kilogram timah Rp 120–130 ribu.

Bersama pengusaha timah lainnya di seantero Bangka, Apik memberikan Rp 31 miliar kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka pada 2006. Pada 2005, bisnis ini membuat pendapatan asli daerah Kabupaten Bangka surplus Rp 2 miliar dari target Rp 31 miliar.

Tapi, lain juragan, lain kelakuan. Jika Aman bepergian naik Roll Royce, Apik ke mana-mana cuma dengan mobil Kijang. Ia juga tidak menghambur-hamburkan uangnya. Belum lama ini, misalnya, ia membeli 132 hektare lahan baru. Bukan untuk dijadikan tambang timah, tapi untuk lahan peternakan. Melalui perusahaannya, PT Donna Kembara Jaya, ia menawari 150 karyawannya menernakkan 45 ribu ikan nila dan 60 ekor sapi. ”Uang hasil timah sudah habis di sini,” katanya kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus