Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Karam Diterjang Utang

Astra contoh industri yang bangkit setelah diamuk krisis. Kembali menjadi kampiun bisnis Indonesia.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

November 1998.

LIMA delegasi PT Astra International Tbk. bertandang ke kantor Industrial Bank of Japan di Tokyo, Jepang. Ketegangan langsung merayap begitu Presiden Direktur Astra Rini Mariani Soemarno buka suara.

Para petinggi bank dari Negeri Samurai itu kecewa mendengar Rini meminta penangguhan pembayaran utang. Dan… braaak! ”Ya… kami terima saja digebrak-gebrak seperti itu,” kata Rini mengenang saat ditemui beberapa waktu lalu.

Badai krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan 1997 memang telah memporakporandakan sejumlah negara Asia. Sektor perbankan, properti, manufaktur, dan tekstil terlibas. ”Penyebabnya, struktur modalnya sebagian besar menggunakan pinjaman dolar,” kata Ketua Kamar Dagang dan Industri M.S. Hidayat.

Tak terkecuali Astra. Raksasa otomotif yang didirikan William Soeryadjaya itu mulai meriang pada kuartal keempat 1997. Saat Rini naik ke tampuk pimpinan menggantikan Theodore P. Rachmat pada pertengahan 1998, perusahaan ini bahkan nyaris bangkrut.

Kerugiannya mencapai Rp 7,4 triliun. Harga saham Astra pun meluncur deras dari sekitar Rp 4.000-an ke titik terendah: Rp 225, pada September 1998.

Parahnya lagi, kurs rupiah yang rontok—dari Rp 2.400 menjadi Rp 17 ribu per dolar Amerika—membuat beban utangnya menggembung. Upaya restrukturisasi langsung digelar. Sekitar 90 kreditor bank asing di Amerika, Eropa, dan Asia disambangi manajemen Astra. ”Di Jepang yang paling sedih, dibentak-bentak habis,” kata Rini.

Alhasil, perjanjian restrukturisasi utang US$ 1 miliar (lebih-kurang Rp 17 triliun) dan Rp 1 triliun diteken pada 23 Juni 1999. Inilah restrukturisasi utang konglomerasi pertama dan terbesar di Indonesia pada masa krisis.

Program efisiensi juga ditempuh. Lima ribu karyawan tetap diminta mengundurkan diri dan 20 ribu karyawan kontrak diberhentikan. Gaji direksi dan manajer pun dipotong, masing-masing 20 dan 15 persen. Sejumlah manajer berontak. ”Tapi apa kita mau tenggelam bersama-sama?” kata Presiden Direktur Astra Michael D. Ruslim, yang kala itu menjabat direktur.

Semua upaya itu tak sia-sia. Rapor keuangan Astra pada akhir 1999 tak lagi merah. Ada keuntungan Rp 800 miliar, padahal tahun sebelumnya rugi hampir Rp 2 triliun. Meski begitu, prahara masih terus mengguncang Astra.

Ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional hendak menjual sekitar 40 persen saham Astra pada awal 2000, Rini dituding Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto (kini telah tiada) tak kooperatif.

Ia dianggap menghalang-halangi rencana masuknya konsorsium Gilbert Global Equity Partners dan Newbridge Capital. Padahal konsorsium Amerika yang didukung keluarga Soeryadjaya ini telah masuk daftar prioritas sejak Kepala BPPN dijabat Glenn Yusuf.

Rini juga ditengarai membawa kepentingan Bob Hasan. Bekas ”raja hutan” ini pemilik 40 persen saham Astra bersama Anthoni Salim, Prajogo Pangestu, dan Usman Admadjaja yang diserahkannya ke BPPN. Mereka membelinya pada 1996, saat Soeryadjaya terbelit urusan Bank Summa.

Kemelut berujung pada rapat pemegang saham Astra, Februari 2000. Sembari terisak, Rini saat itu menjelaskan ”perlawanannya” demi melindungi investor minoritas. Berdasarkan aturan pasar modal, pelepasan saham lebih dari 20 persen harus lewat tender terbuka.

Tapi BPPN bergeming. Rini akhirnya terpental, kembali digantikan T.P. Rachmat. Astra pun jatuh ke tangan konsorsium Cycle & Carriage (Singapura), yang membelinya seharga US$ 510 juta—transaksi investor asing terbesar setelah krisis.

Di bawah komando T.P. Rachmat, Astra terpaksa melakukan restrukturisasi utang jilid dua karena rupiah kembali gonjang-ganjing. Beruntung, gejolak rupiah mereda. Astra bahkan mampu mempercepat pembayaran utang.

Meski begitu, sejak 20 Februari 2003, di bawah kepemimpinan Budi Setiadharma, Astra meninggalkan bisnis perakitan yang digelutinya sejak 1973. Divisi manufaktur beralih sepenuhnya ke tangan Toyota Motor Corporation (Jepang), sedangkan yang ditanganinya hanya bidang distribusi bersama Toyota.

Kini Astra sudah kembali berjaya. Mobil Avanza dan Xenia hasil kolaborasi Toyota dan Daihatsu yang dipasarkannya sejak awal 2004 sukses mendulang untung. Selain merajai pasar mobil dan motor di dalam negeri, ekspornya ke Brunei, Papua Nugini, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Afrika Selatan mencapai 30 ribu unit per tahun.

Tak aneh, majalah Business Week kembali menempatkannya di urutan kedua perusahaan terbaik Indonesia—setelah Telkom—dan urutan ke-94 perusahaan terbaik Asia 2006.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus