Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa boleh buat, krisis ekonomi 1997 malah melahirkan berkah di pojok lain. Sementara beberapa kawasan menderita karena pabrik tutup, pengusaha bangkrut, atau pegawai mendadak kehilangan pekerjaan, bagian lain malah seperti kelimpahan rezeki. Nun di luar Jawa, di pelosok Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan beberapa provinsi lain, petani dan pengusaha perkebunan justru menikmati berkah krisis itu.
Harga tandan buah segar kelapa sawit, yang dua atau tiga tahun sebelum krisis masih berkisar Rp 100 per kilogram, pada akhir 1997 melejit hingga enam kali lipatnya menjadi Rp 600 per kilogram. Saat banyak pelaku usaha di Jawa berurai air mata, petani kelapa sawit bersorak. Mereka berlimpah fulus.
Simak cerita Rinto Gunari, kini 57 tahun, pemilik kebun sawit di Kecamatan Aek Buru, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Pada awal 1970-an, dia sempat membuka lahan dan menanaminya dengan karet. Tapi usahanya gagal total. Harga karet mentah merosot. Ongkos menanam tak lagi sebanding dengan hasilnya. Rinto memutuskan meninggalkan kebun karetnya dan memilih mengadu nasib di Medan.
Namun niat Rinto berkebun tak pernah pupus. Sepuluh tahun kemudian, dia pulang ke kampungnya. Berbekal tabungan dan pinjaman dari saudaranya, Rinto memutuskan beralih ke kebun kelapa sawit. Dia membeli 41 hektare lahan bekas kebun karet. ”Saya yakin di situ ada harapan baru,” katanya. Untuk membiayai ongkos tanam dan perawatan kebun, dia bekerja serabutan ke Kota Rantau Prapat di Labuhan Batu juga. ”Menjadi tukang parkir pun pernah saya jalani,” katanya.
Kerja kerasnya tak sia-sia. Perlahan kebun kelapa sawitnya mulai memberikan keuntungan. Tapi krisis ekonomilah yang benar-benar membalik nasib Rinto dan keluarganya. Saat harga tandan buah kelapa sawit melambung tinggi, penghasilan Rinto otomatis berlipat ganda.
Saat krisis mencekik, Rinto malah rajin berbelanja. Dia membeli 100 hektare lahan kelapa sawit serta memborong tiga rumah baru: dua di Rantau Prapat dan satu lagi di Medan. Garasi rumahnya diisi Suzuki APV. Harganya sekitar Rp 130 juta. Semuanya dibayar kontan dengan uang hasil kebun.
Dia termasuk ”sederhana” untuk ukuran pemilik kebun sawit seluas itu. Bayangkan, kini Rinto bisa mengantongi Rp 30-40 juta sekali panen. Padahal kebunnya bisa dipanen tiga kali sebulan. Total penghasilannya sebulan sekitar Rp 100 juta—jauh di atas penghasilan seorang menteri di Indonesia.
Gurihnya fulus dari sawit juga menggoda sejumlah pengusaha daerah banting setir. Luther Kombong, misalnya. Sebelum krisis, Luther adalah salah satu penguasa bisnis properti di Kalimantan Timur. Bisnisnya ikut babak-belur diterjang krisis. Dia cepat mengambil keputusan, masuk ke sektor perkebunan. ”Waktu itu pilihannya ada tiga: kelapa sawit, karet, atau kakao,” katanya. Setelah tanya kiri-kanan, dia memilih kelapa sawit. ”Turunan produknya banyak,” katanya memberikan alasan.
Tak tanggung-tanggung, pada 1998, Luther mengajukan izin hak guna usaha membuka 14 ribu hektare perkebunan sawit. Secara bertahap dia menanami lahannya. ”Kalau duitnya hanya cukup untuk menanam empat hektare, ya, empat hektare itu saja yang ditanami,” katanya. Dalam empat tahun pertama, kebunnya sama sekali belum menghasilkan. ”Benar-benar habis-habisan uang saya,” katanya.
Tapi kini Luther tinggal menikmati hasilnya. Dari 14 ribu hektare lahannya, 10 ribu hektare telah ditanami kelapa sawit. Semuanya dibiayai dari kantong Luther sendiri. Duit yang dikantonginya setiap bulan bisa ditaksir. Menurut Luther, 4 hektare kebun kelapa sawit bisa memberikan penghasilan Rp 5 juta per bulan.
Dari kebun sawit, Luther—kini anggota Dewan Perwakilan Daerah RI mewakili Kalimantan Timur—melangkah lebih jauh. Awal 2007, dia mulai mengoperasikan pabrik pengolahan minyak sawit mentah. Pabrik Luther ini mampu mengolah 6 ton buah sawit per jam. Rencananya, kapasitas pabrik itu akan ditambah menjadi 30 ton per jam. Modalnya dari kantong Luther plus pinjaman bank. ”Saya satu-satunya pemilik perkebunan dan sekaligus pabrik pengolahan kelapa sawit di Kalimantan Timur,” kata Luther.
Rinto dan Luther hanyalah segelintir di antara mereka yang berlimpah fulus dari kelapa sawit. Di Labuhan Batu, banyak petani bernasib seperti Rinto. Kabupaten ini punya area perkebunan kelapa sawit terluas di Sumatera Utara, yakni 85 ribu hektare. Di Kalimantan Timur, potensi pengembangan kebun kelapa sawit masih membentang. Dari total 5 juta hektare lahan yang diperuntukkan buat kebun sawit, baru sekitar 250 ribu hektare yang telah ditanami. Masalahnya, menurut Luther, tidak ada insentif dari pemerintah. ”Pengusaha bagus dan yang nakal diperlakukan sama saja,” katanya.
Data Departemen Pertanian menunjukkan laju penambahan luas perkebunan kelapa sawit dari 1990 hingga 2006 memang dahsyat. Pada 1990, luas kebun sawit di Indonesia baru 1,2 juta hektare. Namun, pada 2002, luasnya telah membengkak empat kali lipat menjadi 5,07 juta hektare. Setahun lalu, luas kebun sawit Indonesia 6,07 juta hektare. Artinya, selama empat tahun bertambah 1 juta hektare.
Krisis ekonomi tidak hanya menjadi ”kabar gembira” bagi petani kelapa sawit, tapi juga membuat pemilik kebun cengkeh kembali bergairah mengurus tanamannya. Pada awal 1990 hingga 1997, ribuan tanaman cengkeh di berbagai daerah dibabat habis. Mereka memilih mengganti cengkeh dengan singkong atau tanaman lain. Padahal cengkeh sempat menjadi tanaman primadona petani sebelum Januari 1991. Setelah itu, pemerintah memutuskan setiap penjualannya harus lewat Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh. Akibatnya, harga cengkeh menukik dari Rp 12 ribu per kilogram menjadi hanya Rp 2.500 per kilogram.
Saat puncak krisis pada 1998-2000, harga cengkeh meroket hingga sempat menyentuh Rp 82 ribu per kilogram. Pemilik kebun cengkeh pun ramai-ramai kembali mengurus tanamannya.
Ukkas, 58 tahun, petani di Tolitoli, Sulawesi Tengah, hanya bisa menyesali kebun cengkehnya yang telantar saat harga cengkeh berada di puncak. Masih untung, dari 700 pohon cengkehnya pada awal 1990, tersisa 400 pohon yang bisa diselamatkan. Dari yang tersisa itu, dia mendapat fulus lumayan. Ketika itu, Ukkas bisa mengantongi Rp 300-400 juta sekali panen. Padahal setahun bisa panen tiga kali. Mobil Toyota Kijang yang kini nongkrong di garasinya adalah salah satu ”buah” krisis.
Sekarang harga cengkeh memang tak setinggi pada 1999-2002. Rata-rata berkisar Rp 32 ribu per kilogram. Toh, Ukkas tetap bisa tersenyum lebar. Sekali panen dia masih mengantongi Rp 150 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo