Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Lebih Kuat, Sedikit Lebih Bijak

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri

  • Pengamat Ekonomi

    April, 2007. Brookings Institution di Washington DC menyelenggarakan seminar Asian Economic Panel. Topiknya membahas situasi ekonomi Asia secara umum 10 tahun setelah krisis. Ada sekitar 30 ekonom yang hadir, termasuk Jeffrey Sachs, Barry Bosworth, James Riedel, Wing Thye Woo dan Iwan Azis. Dalam sesi tentang Indonesia kami membahas situasi ekonomi setelah krisis yang masih lambat. Di antaranya, tentang investasi yang masih terbatas karena persoalan intermediasi perbankan yang belum pulih serta tak adanya insentif bagi pemerintah daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Pendeknya, tentang pelbagai problem yang tetap dihadapi Indonesia setelah 1997. Ada tanggapan menarik dari seorang ekonom Swedia. Komentarnya kira-kira begini: Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang melakukan reformasi politik dan ekonomi secara radikal dalam waktu bersamaan di tengah krisis. Indonesia berubah dari sistem otoriter ke demokrasi, dari sentralistis ke desentralisasi dalam satu malam. Hal ini mungkin hanya bisa diperbandingkan dengan negara-negara di Eropa Timur atau Rusia. Yang menarik dalam kasus Rusia, mereka mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama lebih dari lima tahun.

    Dalam konteks itu, pertanyaan yang mungkin harus diajukan adalah mengapa di tengah perubahan radikal dalam politik dan ekonomi, Indonesia masih bisa tumbuh 5–6 persen dan hanya mengalami pertumbuhan negatif pada 1998? Saya terdiam mendengar komentar ini. Tentu saja argumentasi yang kemudian muncul: 5–6 persen pertumbuhan tak cukup, pemulihan ekonomi relatif lambat, investasi masih lemah, kemiskinan dan pengangguran masih jadi persoalan. Namun, jika kita melihat lebih tenang, ada kebenaran dalam tanggapan itu.

    Kita tak pernah membayangkan pemilu langsung, dan peralihan kekuasaan yang damai dapat terjadi di negeri ini. Kekhawatiran balkanisasi toh tak terjadi dalam 10 tahun terakhir. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dan nilai PDB sudah melampaui situasi krisis. Begitu juga konsumsi dan ekspor. Yang jadi soal adalah investasi yang masih di bawah situasi krisis. Pertumbuhan ekonomi, walau merangkak, toh sudah mulai mencapai 6 persen. Rasio utang terhadap PDB sudah berada di bawah 40 persen, nilai tukar relatif stabil dan inflasi dapat dikendalikan. Institusi ekonomi dan demokrasi—walau dengan segala hal yang centang-perenang dan kelemahannya—sudah mulai dibangun.

    Sepuluh tahun berlalu, pelajaran demi pelajaran diperoleh dari berbagai pengalaman. Kita bertanya: apakah emerging market (pasar di negara berkembang), termasuk Indonesia, akan lebih aman terhadap krisis keuangan? Jawabnya: rasanya tidak. Setelah krisis Asia yang pahit itu, kita masih mencatat Ekuador (2000), Turki (2001), dan juga Argentina. Kecenderungan arus modal masuk yang cepat dan risiko pembalikan arus balik modal masuk masih mungkin terjadi.

    Ekonom Guillermo Calvo dalam bukunya, Emerging Capital Markets in Turmoil: Bad Luck or Bad Policy? menunjukkan bahwa berhentinya arus modal masuk (sudden stop) secara tiba-tiba biasanya diikuti oleh anjloknya nilai tukar (contractionary devaluation). Dalam kasus Indonesia, karena keterbatasan cadangan devisa, kita membiarkan nilai tukar melemah dan menaikkan tingkat bunga secara tajam pada Agustus 1997. Sayangnya, seperti yang kerap diargumentasikan oleh ekonom Joseph Stiglitz: respons bank sentral dengan menaikkan tingkat bunga secara tajam untuk menahan arus modal keluar—dalam situasi panik—bisa berakibat kontraproduktif.

    Kenaikan tingkat bunga yang tajam akan membuat perusahaan bangkrut dan akhirnya risiko kredit macet meledak. Akibatnya, situasi perbankan yang mendorong arus modal keluar akan memburuk. Itu sebabnya baik Tornell, Stiglitz melihat bahwa sistem perbankan yang buruk, yang ditandai oleh besarnya kredit macet, akan memperbesar skala krisis ekonomi. Dalam risalahnya Tornell mencoba melihat risiko perbankan ini dari indikator ledakan pinjaman ke perusahaan (lending boom). Semakin besar lending boom, maka semakin besar pula skala krisis yang akan terjadi.

    Pada 1997, kita mencatat bahwa kehati-hatian perbankan amat lemah, sistem perbankan kita amat buruk. Lending boom juga tecermin dari tingginya LDR (loan to deposit ratio) yang mencapai lebih dari 100 persen. Bagaimana sekarang? Ada beberapa yang perlu dicatat:

    Pertama, kondisi sektor keuangan. Kita berada di titik ekstrem yang lain. Saat ini yang terjadi justru tidak berjalannya intermediasi perbankan (tecermin dari rendahnya LDR). Trauma krisis 1997 dan masih tingginya risiko di sektor riil akibat informasi yang tidak simetris antara perbankan dan peminjam membuat perbankan harus memasukkan biaya risiko dalam tingkat bunga pinjamannya. Akibatnya, aliran kredit praktis rendah walau bunga sudah diturunkan. Dari sisi ini, kehati-hatian perbankan jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelum krisis. Sekarang data menunjukkan bahwa rasio NPL (non-performing loan) terhadap total kredit di bawah 7 persen. Bandingkan dengan situasi September 2000 yang mencapai 26,9 persen.

    Kedua, terkait dengan ini, hal yang menjadi masalah adalah soal investasi. Perhitungan dekomposisi sumber penurunan investasi yang dilakukan Bank Dunia (2007) menunjukkan bahwa penurunan investasi di Indonesia, Korea, dan Malaysia ternyata lebih didominasi oleh penurunan investasi swasta dan domestik. Dalam kasus Indonesia, dari 84 persen penurunan investasi swasta, 59 persen berasal dari domestik. Padahal, selama ini kita menganggap bahwa isu yang paling penting adalah bagaimana membuat investasi asing berminat datang ke Indonesia.

    Membuat iklim investasi yang baik adalah syarat yang perlu. Namun, tanpa perbaikan intermediasi perbankan, investasi tak akan meningkat tajam. Persoalan ini tak bisa hanya diatasi dengan menurunkan tingkat bunga. Yang harus dilakukan adalah mengurangi agency cost akibat informasi yang tak simetris antara perbankan dengan sektor produksi. Di sini pentingnya peran kredit biro. Di masa lalu praktis hal ini tak terlalu menjadi soal. Inilah soal besar yang harus diatasi.

    Ketiga, diversifikasi risiko. Sebelum krisis 1997 kita terbiasa dengan nilai tukar mengambang terkendali. Tak ada gunanya melakukan hedging, karena toh rupiah terdepresiasi secara teratur 5 persen setahun. Akibatnya, pelaku ekonomi tak membiasakan diri untuk melakukan hedging dan diversifikasi aset ke dalam mata uang asing atau bentuk lainnya. Saat ini, nilai tukar bergerak bebas, praktis individual dan pelaku ekonomi sudah mulai membiasakan diri untuk menempatkan asetnya dalam berbagai bentuk, termasuk mata uang asing dan berbagai instrumen lain. Jadi, jika terjadi kejutan dalam hal nilai tukar, maka kepanikan yang akan terjadi tak akan sebesar pada 1997—ketika itu dikonsentrasikan pada aset dalam nilai rupiah. Dengan diversifikasi risiko seperti ini, potensi skala krisis juga akan jauh lebih kecil.

    Keempat, sistem insentif dan disinsentif. Inilah masalah terbesar kita. Perubahan institusi yang drastis telah mengubah seluruh sistem insentif dan disinsentif yang ada. Dalam periode sebelum krisis, pemerintah bisa begitu dominan dan relatif efektif karena sentralistis, represif, dan otoriter—sesuatu yang kita benci sebenarnya. Dalam situasi ini, implementasi menjadi lebih mudah. Kita tak menginginkan pemerintah yang efektif dalam sistem otoriter.

    Yang diinginkan adalah pemerintah yang efektif dalam sistem demokratis. Sayangnya, kita belum menemukan insentif dan disinsentif yang tepat untuk cita-cita itu. Misalnya, apa insentif pemerintah daerah untuk melakukan kebijakan pemerintah pusat; bagaimana insentif dan disinsentif yang tepat agar pemerintah dan DPR bergerak bersama untuk pemulihan ekonomi. Tersebarnya sumber kekuasaan juga membuat efektivitas kebijakan ekonomi terkesan tak efisien dan lambat. Itu sebabnya, hampir semua kebijakan—yang sebenarnya baik dalam konsep—sulit sekali diimplementasikan sejak zaman Habibie sampai hari ini.

    Sayangnya, diperlukan untuk mencapai keseimbangan baru. Dalam situasi seperti ini, kita harus lebih realistis: kebijakan yang menuntut hadirnya institusi yang canggih sulit diimplementasikan. Kita harus realistis untuk membuat kebijakan yang bisa diimplementasikan dalam transisi institusi jurassic park ke institusi modern. Ekspektasi bahwa kita telah jauh lebih kuat dibanding 10 tahun yang lalu mungkin agak berlebihan. Kita mungkin tak lebih kuat, tapi sedikit lebih bijak.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus