Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo telah menyiapkan dua lembar pidato sehari sebelum pembukaan Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Sanur, Bali, Kamis pekan lalu. Ia dibantu Menteri Sekretaris Negara Pratikno, yang ditemani dua anggota staf Sekretariat Negara. Mereka berdiskusi di beranda belakang Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Tema yang dimasukkan ke pidato itu adalah tekad pemerintah memberantas korupsi. Salah satu bagian memberikan tekanan tentang institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Sebagai panglima tertinggi, saya ingin Polri bersih," tertulis dalam salah satu bagian draf naskah pidato.
Seorang saksi pertemuan ini mengatakan Jokowi tak berkeberatan dengan kalimat yang disiapkan itu. Sebaliknya, Presiden malah berujar, "Tak ada kalimat yang lebih keras lagi, ya?" Namun naskah itu menjadi pidato yang tak pernah dibacakan. Jokowi, yang mengenakan jas merah, hadir di arena kongres hanya sebagai "tamu". Kepala negara itu tak diberi kesempatan berpidato.
Megawati Soekarnoputri, yang jauh sebelum kongres sudah diputuskan akan memimpin kembali partai itu, menjadi bintang tunggal. Pidatonya menjadi puncak acara pembukaan. Tak ada pidato lagi setelah itu. Padahal, menurut sejumlah pejabat Istana, dalam undangan yang diterima tiga hari sebelumnya, masih tercantum agenda pidato Presiden.
Namun Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, sejak awal, Jokowi memang tidak diberi waktu untuk berpidato pada pembukaan kongres. "Jokowi kami minta berpidato di pertemuan tertutup dengan dewan pimpinan daerah," ujarnya.
Adapun Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto membenarkan, Jokowi rencananya berpidato di kongres. "Teksnya sudah dipersiapkan," kata Andi pada Rabu pekan lalu atau sehari sebelum pembukaan.
Meski batal berpidato, Jokowi menanggapinya dengan enteng. "Buat saya, yang penting itu hubungan pemerintah dan partai berjalan baik, biar masyarakat tenang," ujarnya kepada Tempo seusai pembukaan kongres. Dia juga mengelak membahas isi pidato keras yang disampaikan Megawati beberapa jam sebelumnya.
Dalam pidato politiknya, Megawati beberapa kali menyorot pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Sentilan pertama mengenai pentingnya seorang presiden "taat konstitusi". Selama ini, sejumlah politikus PDIP vokal mempersoalkan dibatalkannya pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI.
Presiden dinilai tidak taat konstitusi karena alasan pembatalan adalah desakan publik dan untuk menjaga marwah institusi Polri. Buat Megawati, kesetiaan kepada konstitusi bersifat mutlak. "Pemimpin memang harus menjalankan kewajiban konstitusi tanpa menghitung akibatnya," katanya.
Megawati menilai ada orang-orang yang berpotensi besar menjadi penumpang gelap dalam pemerintahan untuk mendapatkan kekuasaan. Megawati juga menegaskan bahwa pemerintahan harus segaris dengan kebijakan partai karena Presiden dan Wakil Presiden diusung partai politik.
Kepada Tempo, Jokowi mengaku tidak tersinggung oleh sindiran Megawati. Menurut dia, pidato politik Megawati justru bermakna positif bagi pemerintahannya. "Pidato itu sangat baik, pemimpin itu harus melayani rakyat dan harus berideologi, itu benar," ujarnya.
Jokowi merasa pertemuan di arena kongres sedikit mengurangi panasnya suhu hubungan mereka. "Wis adhem to (sudah dingin, kan)," katanya.
BEBERAPA kali Jokowi mendapat serangan dari Megawati dan petinggi PDI Perjuangan. Sebelum di Bali, pernyataan keras dari partai pimpinan Megawati itu muncul dalam rapat konsultasi tertutup antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat di gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin pekan lalu. "Fraksi PDIP seperti ingin menelanjangi Jokowi dan paling galak," kata seorang politikus Senayan.
Kejadian di gedung DPR itu hanya lanjutan letupan kemarahan Megawati dan PDI Perjuangan kepada Jokowi. Ketika menerima anggota Dewan Pertimbangan Presiden di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Senin dua pekan lalu, Megawati juga menyampaikan hubungan politiknya yang tidak harmonis dengan Jokowi.
Menurut seorang peserta pertemuan, Megawati menilai Kantor Staf Presiden yang dibentuk Jokowi tidak sesuai dengan konstitusi. Dia juga mengeluhkan orang di sekitar Jokowi yang menurut dia tidak kompeten dan tidak berpengalaman sehingga "menimbulkan kekacauan dalam administrasi kenegaraan".
Dalam pertemuan, menurut anggota Dewan Pertimbangan itu, Megawati mengatakan berhati-hati ketika memilih Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet pada 2001. Megawati menyatakan bertanya ke mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, yang kemudian merekomendasikan Bambang Kesowo, pejabat karier senior di Sekretariat Negara. "Jangan karena teman lalu semuanya dibawa masuk Istana," pejabat tadi menirukan perkataan Megawati.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, membenarkan adanya pertemuan di rumah Megawati. "Tapi saya tidak boleh menyampaikan materinya," katanya. Anggota Dewan Pertimbangan lainnya, Suharso Monoarfa, mengatakan pertemuan dengan Megawati menjadi bagian dari rangkaian kegiatan untuk bertemu dengan para mantan presiden.
Sebelum bertemu dengan Megawati, Dewan Pertimbangan berjumpa dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden pada Jumat dua pekan lalu. Dua hari setelah mereka menemui Megawati, giliran Presiden Jokowi yang dikunjungi di Istana Kepresidenan. Ketua Dewan Pertimbangan, Sri Adiningsih, mengatakan pertemuan itu untuk mendiskusikan sejumlah hal. "Di antaranya tentang lembaga negara," ujar Sri Adiningsih. Ia tidak menjelaskan lebih rinci materi pertimbangannya kepada Presiden. "Cukup, ya, karena ini rahasia."
Seorang anggota Dewan Pertimbangan menambahkan, pertemuan dengan Kalla, Megawati, dan Jokowi merupakan bagian dari upaya agar hubungan yang renggang antara Jokowi di satu pihak dan Megawati serta Kalla di pihak lain segera membaik. "Kami tidak ingin hubungan yang tidak harmonis ini berlarut-larut sehingga mengganggu jalannya pemerintahan," katanya. Kalla sebelumnya membantah tudingan tidak harmonis dengan Jokowi. "Tiap hari saya bertemu dan berbicara dengan Pak Jokowi," ujarnya.
SEORANG anggota kabinet mengatakan hubungan Jokowi dan Megawati mulai memburuk saat pembentukan Tim Transisi Pemerintahan, yang diketuai Rini Mariani Soemarno, pada Agustus tahun lalu. Menurut dia, Megawati merasa tidak diajak berbicara membahas langkah politik ini.
Ketika Jokowi membentuk Tim Transisi, Megawati sedang melawat ke Amerika Serikat. Mendengar pembentukan tim ini, Megawati menelepon politikus PDI Perjuangan, Pramono Anung, yang ketika itu masih menduduki pos Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. "Ibu Megawati menanyakan soal riuh-rendah Jokowi membentuk Tim Transisi," kata Pramono.
Kegaduhan terjadi ketika Megawati pulang ke Indonesia. Menurut pejabat tadi, Megawati memarahi Rini, yang datang ke rumahnya. Megawati menyampaikan kekesalannya tenang pembentukan Tim dan peran Rini yang dianggap dominan. "Suasana panas karena mereka sama-sama marah dan saling tunjuk," ujar menteri yang menyaksikan peristiwa itu.
Setelah peristiwa itu, Rini dianggap sebagai salah satu ganjalan bagi hubungan Megawati dan Jokowi. Saat dimintai tanggapan soal ini, Rini menolak berkomentar. "Saya tidak tahu," katanya.
Seorang pejabat pemerintahan menyatakan Megawati juga berulang kali menyorot langkah Jokowi menempatkan orang-orang di Istana. Dia mengklaim, sebagai mantan presiden dan anak presiden yang dibesarkan di Istana, paham sekali seluk-beluk pusat kekuasaan itu.
Hubungan antara Megawati dan Presiden Jokowi semakin merenggang ketika Presiden membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri pada 18 Februari lalu. Jokowi kemudian mengusulkan calon baru, yakni Komisaris Jenderal Badrodin Haiti. Seorang pejabat daerah kader PDIP mengungkapkan, Megawati marah besar karena menganggap Jokowi tidak konsisten dalam penunjukan calon Kepala Polri. Terlebih pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri dikesankan merupakan hasil pemaksaan dari Megawati.
Padahal munculnya nama Budi Gunawan justru datang dari Jokowi. Bekas Wali Kota Solo ini membawa berkas rekomendasi dari Komisi Kepolisian Nasional kepada Megawati. Meski usul itu memuat beberapa nama, Jokowi menyatakan akan mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal. Dalam pertemuan itu, Megawati menyetujui pilihan tersebut. "Kepada saya, Jokowi mengakui itu. Bu Mega juga bilang yang mengajukan Budi Gunawan justru Jokowi," ujarnya.
Ketika ditanyai soal buruknya hubungan dengan Megawati, Jokowi enggan membahasnya. Ia mengatakan, untuk saat ini, yang paling dibutuhkan adalah komunikasi antara partai politik dan pemerintah. "Kalau hubungan pemerintah dengan partai tidak ada masalah, investasi dan dunia usaha juga akan bagus," katanya.
Seorang pejabat Istana menyebutkan Jokowi tidak membiarkan ketegangan dengan Megawati berlarut. Menurut dia, sejak kasus Budi Gunawan, tercatat sudah tujuh kali mereka bertemu. Pertemuan itu berlangsung di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar dan di sejumlah tempat lain. "Jokowi berusaha untuk terus memperbaiki hubungannya," ujar pejabat itu.
Ditemui di arena Kongres PDI Perjuangan, Megawati menolak berkomentar tentang naik-turun hubungannya dengan Jokowi. Adapun Puan Maharani, anak Megawati, mengatakan hubungan baik ibunya dengan Jokowi yang telah terbangun sejak sepuluh tahun lalu kini sudah berubah. "Saya melihat seperti ada yang membatasi," ujarnya.
Sunudyantoro, Ananda Teresia, Putri Adityowati, Faiz Nashrillah, Rusman Paraqbueq, Muhammad Muhyiddin, Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo