Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pil Pahit buat Demokrat

Kendati sudah menurunkan jago-jagonya, Demokrat kehilangan suara mayoritas di DPR. Pemilih Amerika pupus harapan terhadap kebijakan Obama.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilatari bendera Amerika, Politikus Partai Demokrat, Ed Perlmutter (D-Colorado) tiba-tiba melakukan koprol, jungkir balik, malam itu. Tindakan di luar dugaan itu dilakukannya di hadapan wartawan setelah terpilih kembali sebagai anggota DPR dalam pemilu sela di Denver, Negara Bagian Colorado, pekan lalu.

Emosi para politikus senior Demokrat itu begitu meluap-luap ketika mengetahui mereka terpilih kembali. Bukan karena gembira mendapat kesempatan menjabat lagi, melainkan upaya mereka untuk mengalahkan Partai Republik dalam pemilu sela tahun ini terasa begitu berat.

Banyak warga Amerika mulai pupus harapan terhadap pemerintahan Obama dan mengalihkan dukungan ke calon dari Partai Republik. Mereka menganggap Obama gagal menyelesaikan krisis ekonomi dan pengangguran di Amerika. "Saat ini suasana hati para pemilih sedang benar-benar suram," kata Stuart Rothenberg, editor politik di Washington Report.

Keadaan bertambah parah bagi Demokrat lantaran Tea Party, partai politik yang dikenal vulgar dalam membawakan gagasan dan kepentingan kaum konservatif, memberikan dukungannya kepada Partai Republik. Untuk menjegal Demokrat, Tea Party pernah melakukan kampanye hitam: menyandingkan gambar Obama dengan Hitler dan Stalin, yang mereka sebut tiga pemimpin perusak dunia, dalam sebuah spanduk kontroversial.

Situasi itu membuat Partai Demokrat menurunkan jago kampanyenya dalam pemilu sela, Selasa pekan lalu. Mereka antara lain mantan Gubernur California Jerry Brown dan Jaksa Agung Andre Cuomo di New York. Brown berhasil mengalahkan politikus Republik dan mantan eksekutif e-bay, Meg Whitman. Sedangkan Cuomo mengalahkan politikus Republik, Carl Paladino.

Mantan presiden Bill Clinton dan Ibu Negara Michele Obama tak ketinggalan. Dua sosok paling berpengaruh di Amerika ini berkampanye untuk pemilihan anggota DPR dari Demokrat. Hingga sehari sebelum pemilu sela diadakan, Clinton masih berkampanye di Washington, New York, Pennsylvania, dan Virginia Barat. Salah satu calon Demokrat yang didukung Clinton adalah Senator Patty Murray.

Dalam kampanye di Washington, Clinton menyoroti pernyataan sikap dan kemarahan Partai Republik yang menganggap pemerintahan Obama tidak mampu membawa perubahan serta tak berhasil menyelesaikan krisis ekonomi dan pengangguran. Partai Republik menyatakan kemarahan itu dengan mengajukan "referendum".

"Tetaplah marah, tapi konsentrasikan kemarahan Anda untuk memperjelas masalah, bukan malah memperburuk," ujar Clinton, menjawab tantangan referendum terhadap kebijakan ekonomi Obama. "Ini bukan referendum, ini pilihan," Clinton menambahkan.

Sedangkan Michele Obama di Negara Bagian Nevada meminta warga mendukung Harry Reid, pemimpin senat mayoritas, yang harus bersaing ketat untuk mempertahankan kedudukannya. "Bisakah kita melakukan ini? Ya, tentu kita bisa," ujar Michele mengulangi yel kampanye suaminya dua tahun lalu.

Kendati sudah menurunkan jagonya dan mendudukkan kembali Harry Reid sebagai pemimpin tertinggi senat, Demokrat harus tetap menelan pil pahit dalam pemilu sela ini. Mereka kehilangan kursi mayoritas di DPR dan karena itu Nancy Pelosi yang menjabat Ketua DPR harus menyerahkan posisinya itu kepada John Boehner dari Republik.

John Boehner adalah pesaing Pelosi yang mengecam aturan satu partai yang dibuat Pelosi semasa pemerintahan Demokrat, serta aturan jaminan kesehatan dan pemulihan ekonomi yang dicanangkan Obama. Boehner berambisi menjatuhkan Demokrat melalui program yang disebutnya "Job-Killing Agenda".

"Rakyat Amerika ingin kita menciptakan sebuah lingkungan manakala kita bisa mendapatkan pekerjaan kembali di negara kita," ujar Boehner dalam pidato kemenangannya. Boehner mengungkit kerja Obama yang dinilai selalu salah. "Kita bersedia bekerja sama dengan Presiden, tapi ia harus tanpa kesalahan," katanya.

Cheta Nilawaty (BBC News, ABC News, Reuters, Telegraph.co.uk, www.huffingtonpost.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus