Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMBIL menyantap nasi kebuli dan ketan hitam khas Sulawesi Selatan, Anregurutta Haji Faried Wadjedy menyatakan mendukung langkah tamunya, Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi. Pemimpin Pondok Pesantren Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) Mangkoso di Kabupaten Barru itu setuju dengan sikap Zainul Majdi yang mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo pada awal Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya duduk bersebelahan di aula Pondok Pesantren DDI Mangkoso, Sabtu pagi empat pekan lalu. Dikelilingi sejumlah ulama dan tokoh masyarakat Sulawesi Selatan, Faried Wadjedy mengatakan akan pasang badan untuk Zainul Majdi yang dirisak di media sosial karena mendukung Jokowi. "Saya memang mendukung sikap Tuan Guru Bajang," kata Faried, Jumat pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuan Guru Bajang-panggilan Zainul Majdi-hadir di pondok pesantren itu untuk mengisi tausiah dalam acara wisuda santri dan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam DDI Mangkoso. Zainul dan Faried sama-sama lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Faried sejatinya pendukung unjuk rasa pada 2 Desember 2016 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta, yang menuntut Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, dipenjarakan karena dianggap menista agama. Demonstrasi besar-besaran itu dikenal sebagai "Aksi 212". "Saya memang mendukung gerakan 212 meski tidak mengirim orang ke Jakarta," ujar Faried.
Menurut menantu Faried, Muhammad Agus, yang menjadi pembina Pesantren DDI Mangkoso, mertuanya kerap mengatakan dalam diskusi terbatas bahwa gerakan 212 perlu didukung untuk menjaga kesucian Al-Quran. "Dukungan itu terhadap gerakannya, tapi bukan untuk mengganti Jokowi sebagai presiden," tutur Agus.
Belakangan, gerakan tersebut berkembang menjadi sikap anti-pemerintah. Sebagian pendukungnya menggemakan kampanye mengganti Presiden Jokowi pada 2019 dengan mempopulerkan tanda pagar #2019GantiPresiden.
Sebagaimana Faried, Zainul awalnya mendukung gerakan 212. Namanya masuk daftar lima calon presiden versi Persaudaraan Alumni 212. Tokoh lain di antaranya pentolan Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Syihab. Setelah mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi, nama Zainul dicoret dari daftar.
Ditolak sebagian pendukung 212, Zainul dipuji pendukung Jokowi. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan Zainul bisa menjadi bagian dari tim sukses Jokowi. Pada pemilihan presiden 2014, Zainul adalah ketua tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Nusa Tenggara Barat. Di provinsi ini, Prabowo mendulang 72,45 persen suara.
Dalam wawancara khusus dengan Tempo pada pertengahan Juli lalu, Zainul mengatakan dia sebenarnya sudah lama mendukung Jokowi. Ia mengaku beberapa kali bertemu dengan Jokowi, terutama saat Presiden berkunjung ke Nusa Tenggara Barat. Menurut salah seorang yang mengetahui kedekatan mereka, Jokowi sempat berpesan agar Zainul membantunya mendekati ulama anti-pemerintah.
Menurut sumber tersebut, pesan dari Jokowi lebih mengarah pada ajakan menjaga "keutuhan bangsa". Sedangkan narasumber lain di lingkaran Zainul mengatakan Tuan Guru Bajang diminta memberikan pemahaman kepada sejumlah ulama agar tak terus-menerus mengkritik pemerintah.
Dimintai lagi tanggapan soal ini, Zainul melalui pesan WhatsApp memilih tak berkomentar. Dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Juli lalu, Zainul menyatakan siap menjembatani Jokowi dengan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. "Saya akan membantu beliau, termasuk berdiskusi dengan pihak yang perlu tabayun," ujar Zainul.
Sejumlah narasumber yang dekat dengan Zainul mengatakan Gubernur Nusa Tenggara Barat dua periode itu beberapa kali mengajak berdialog ulama yang mengecam sikapnya mendukung Jokowi. Salah satunya Bachtiar Nasir, yang juga tokoh gerakan 212. Tak lama setelah Zainul mendeklarasikan sikapnya, Bachtiar mengatakan hal tersebut hanya demi kepentingan pribadi Zainul.
Pertemuan Zainul dengan Bachtiar terjadi di sela-sela acara pengajian Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad pekan lalu. Menurut narasumber yang mengetahui pertemuan tersebut, Zainul meminta Bachtiar mendengarkan penjelasannya.
Aa Gym membenarkan adanya pertemuan Zainul dengan Bachtiar. "Dia ceramah lebih awal, setelah itu Tuan Guru Bajang. Mereka sempat silaturahmi sebentar sebelum sesi kedua," kata Aa Gym, yang enggan menjelaskan isi silaturahmi kedua tamunya. Zainul juga menolak menjelaskan pertemuan tersebut. "Diskusi sebentar saja. Intinya saling menghargai," ujarnya.
Setelah pertemuan itu, Bachtiar mengatakan dukungan Zainul kepada Jokowi untuk kemaslahatan umat. "Saya yakin itu juga untuk kepentingan umat yang lebih besar, tapi mungkin versi beliau," ujarnya di Masjid Istiqlal. Bachtiar belum bisa dimintai tanggapan lagi. Teleponnya tak aktif dan pesan pendek yang dilayangkan Tempo tak berbalas.
Dua hari kemudian, Zainul berjumpa dengan mubalig Abdul Somad Batubara, yang juga mendukung aksi 212. Somad menanyakan alasan Zainul mendukung Jokowi. Orang dekat Zainul menceritakan terjadi perdebatan dalam pertemuan sesama lulusan Al-Azhar itu. Sumber tersebut mengatakan Zainul, antara lain, mengemukakan sejumlah dalil bahwa ayat-ayat perang tak boleh digunakan untuk memilih pemimpin. Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Zainul membenarkan ada "diskusi" dengan Somad, tapi dia menolak menceritakan detailnya. Somad tak merespons permintaan wawancara.
Dukungan Zainul kepada Jokowi mempengaruhi sejumlah alumnus Al-Azhar di Indonesia. Sekretaris Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Indonesia, Nanang Firdaus, mengklaim banyak alumnus Al-Azhar-jumlahnya sekitar 30 ribu orang di seluruh Indonesia dan memiliki pesantren-kini pro-Jokowi. "Dukungan ini sifatnya individual, bukan organisasi," ujarnya.
Pemimpin Pondok Pesantren Majelis Tarbiyah, Garut, Jawa Barat, Benghan Syarifudin, ikut mendukung langkah Zainul, adik kelasnya di Al-Azhar. Meski mengaku belum pasti memilih Jokowi pada pemilihan presiden 2019, Benghan menyatakan akan mengundang Presiden ke pesantrennya pada tahun baru Islam mendatang. "Kami menghormati Jokowi sebagai presiden."
UPAYA pemerintah mendekati ulama pendukung gerakan 212 agaknya membuahkan hasil. Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif mengatakan sejumlah ulama dari perkumpulannya menyeberang ke kubu pemerintah setelah dilobi. "Banyak teman sejalan kini beda haluan," ujar Slamet, Rabu pekan lalu.
Slamet mencontohkan Ali Mochtar Ngabalin dan Kapitra Ampera sebagai penumpang kapal yang turun di tengah jalan. Ngabalin sempat hadir dalam unjuk rasa bela Islam pada 4 November 2011, aksi pendahuluan 212. Ia kini menjadi tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden. Pada akhir Mei lalu, Ngabalin mengklaim mendukung Presiden Jokowi karena menganggapnya berkinerja bagus.
Sedangkan Kapitra Ampera, yang pernah menjadi pengacara Rizieq Syihab, menjadi calon legislator Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di daerah pemilihan Riau II. Ketua Dewan Pengurus Daerah PDIP Riau, Rokhmin Dahuri, mengatakan sejumlah petinggi partainya, seperti Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan putri Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, mendekati Kapitra. "Selama ini, ada anggapan bahwa partai kami kurang ramah terhadap aspirasi kelompok muslim," ujar Rokhmin. Mengaku masih mengusung Rizieq Syihab sebagai calon presiden, Kapitra menyatakan siap menjadi jembatan Jokowi dengan ulama yang memusuhinya.
Slamet Maarif juga mengaku pernah ditelepon perwakilan pemerintah untuk ditawari pergi ke Beijing, Cina, tak lama setelah aksi 212 berlangsung. Enggan menyebut siapa penelepon itu, Slamet mengatakan perjalanan ke Beijing tersebut merupakan "studi banding". "Dia mengutip hadis, ’Carilah ilmu sampai ke Negeri Cina’," ujar Slamet.
Narasumber di lingkaran tokoh 212 yang juga mengetahui tawaran tersebut mengatakan orang di ujung telepon adalah perwira tinggi di Markas Besar Kepolisian RI. Slamet enggan menjawab tegas. "Yang menelepon pertama kali bukan polisi," ujarnya. Bagaimana dengan penelepon kedua? "Kurang-lebih begitulah," kata Slamet diiringi tawa. Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, mengaku belum mengetahui pendekatan lembaganya kepada ulama. "Nanti saya cek."
Pemimpin Pondok Pesantren Imam Ahmad Hilal, Ansufri Idrus Sambo, juga mengaku pernah ditemui dua utusan suatu kementerian pada awal tahun ini. Keduanya menawarkan bantuan untuk pesantrennya. "Mereka meminta saya tak lagi kritis terhadap pemerintah," ujar Sambo, Kamis pekan lalu. Menurut Sambo, utusan yang sama kembali menemuinya dua kali. Sambo tetap menolak tawaran tersebut.
Lobi juga dilancarkan politikus PDIP, Erwin Moeslimin Singajuru. Erwin mengaku bertemu dengan Rizieq Syihab pada April lalu di Mekah, Arab Saudi. Menurut Erwin, dia meminta Rizieq ikut mendukung pemerintah dan Jokowi dalam pemilu presiden tahun depan. "Substansi pertemuannya begitu," kata Erwin saat dihubungi Jumat pekan lalu.
Pengacara Rizieq, Sugito Atmo Prawiro, membenarkan ada lobi dari Erwin. "Itu wajar saja, tapi semua pilihan kembali ke Habib Rizieq," ujarnya.
Bukan hanya Erwin yang mendekati Rizieq. Menurut seorang pejabat pemerintah, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan dikabarkan enam kali mengirim utusan yang menawarkan penghentian perkara dugaan pornografi yang menjerat Rizieq sebagai tersangka. Syaratnya, Rizieq dan FPI tak membuat kegaduhan lagi. Rizieq berulang kali memimpin demonstrasi di Ibu Kota terkait dengan perkara Basuki Tjahaja Purnama.
Melalui Direktur Informasi dan Komunikasi BIN Wawan Hari Purwanto, Budi Gunawan membantah informasi itu. "Jawaban Pak BG (Budi Gunawan) adalah tidak betul dan tidak pernah terjadi," ujar Wawan.
Pertengahan Juni lalu, polisi mengumumkan penghentian kasus Rizieq. Dua bulan sebelumnya, sejumlah ulama pendukung gerakan 212 bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor meminta penghentian kasus Rizieq. Jokowi menyatakan pertemuan itu silaturahmi belaka. "Dalam rangka menjaga persatuan, persaudaraan, dan ukhuwah di antara kita," ujar Jokowi saat itu.
MENGGANDENG tangan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin, Presiden Jokowi keluar dari Istana Merdeka, Rabu pekan lalu. Menyusuri anak tangga, Jokowi membantu Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama berusia 75 tahun itu berjalan menuju halaman depan. Malam itu, Istana menggelar acara "Zikir dan Doa untuk Bangsa" yang dimotori Majelis Dzikir Hubbul Wathon. Ma’ruf menjabat ketua dewan penasihat majelis tersebut.
Kedekatan Ma’ruf dengan Jokowi terjalin setelah unjuk rasa 4 November 2016. Ma’ruf, yang sebelumnya ikut menentang Basuki Tjahaja Purnama-pasangan Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta-berbalik arah mendukung Jokowi. Keduanya kerap terlihat bersebelahan. Jokowi pun menjalankan program yang terkait dengan Islam dengan menggandeng Ma’ruf. Misalnya saat meluncurkan Bank Wakaf Mikro An-Nawawi Tanara di Pondok Pesantren An-Nawawi, yang dimiliki Ma’ruf.
Kepada Tempo di Istana Merdeka, Rabu pekan lalu, Ma’ruf mengatakan sudah lama berada di belakang Jokowi. Ia pun menyatakan sudah meminta sejumlah ulama mendukung pemerintahan Jokowi hingga 2024.
Juru bicara kepresidenan, Johan Budi Sapto Pribowo, mengatakan pemerintah tak berupaya melobi kelompok 212 agar mengalihkan dukungan. "Pak Jokowi posisinya pasif. Tapi, kalau mereka ingin bersilaturahmi, Pak Jokowi tak akan menolak," ujar Johan, merujuk pada pertemuan sejumlah ulama 212 dengan Presiden pada April lalu. "Yang jelas, Pak Jokowi merangkul seluruh umat Islam."
Pramono, Ahmad Faiz, Hussein Abri Yusuf Dongoran, Wayan Agus Purnomo
Dari Ahok ke Ganti Presiden
SUARA Ansufri Idrus Sambo langsung meninggi begitu membicarakan sikap Presiden Joko Widodo terhadap Islam. Sambo menuding Jokowi melawan arus utama "umat Islam" dalam kasus penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. "Sikap itu justru membuat spirit kelompok 212 makin kental," kata Sambo, Kamis pekan lalu.
Sambo pernah menjadi tokoh gerakan yang menuntut Basuki diadili. Kasus ini berawal dari pidato Basuki di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 yang menyitir Surat Al-Maidah ayat 51. Pidato Basuki direspons Majelis Ulama Indonesia pada 11 Oktober 2016 dengan mengeluarkan fatwa: Basuki telah menghina Al-Quran.
Fatwa tersebut langsung disambut sejumlah orang dengan membentuk Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI, yang dipimpin Bachtiar Nasir. Gerakan ini lantas menggelar unjuk rasa pada 4 November 2016 untuk menuntut Ahok dipenjara. Puncaknya adalah demonstrasi besar-besaran pada 2 Desember 2016-yang melahirkan nama "212".
Pentolan 212 kemudian membentuk perkumpulan Presidium Alumni 212 pada 17 April 2017. Sambo, yang menjadi Ketua Panitia Tamasya Al-Maidah, gerakan mendatangi tempat pemungutan suara dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta untuk memastikan pemilih tak mencoblos Basuki, didapuk menjadi pemimpin Presidium.
Perkumpulan ini sempat beriak ketika Sambo membela bos MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, yang ditetapkan sebagai tersangka di Kejaksaan Agung. "Ini kriminalisasi karena dendam politik," kata Sambo. Gara-gara ini, Sambo dicopot dari posisinya dan digantikan juru bicara Front Pembela Islam, Slamet Maarif.
Pada 1 Desember 2017, kelompok ini menggelar "reuni" akbar di lapangan Monas. Tapi, sebulan setelah pertemuan itu, gerakan ini justru terbelah. Lewat musyawarah nasional di Bogor pada 25-27 Januari 2018, Presidium Alumni 212 berubah menjadi Persaudaraan Alumni 212. "Ini untuk memberikan kesan lebih egaliter, terbuka, dan demokratis," tutur Slamet.
Perubahan tersebut mendapat perlawanan dari kelompok Presidium Alumni 212. Juru bicara Presidium, Aminudin, mengatakan perkumpulannya tak pernah memutuskan perubahan nama menjadi Persaudaraan Alumni 212. Presidium 212 menetapkan Umar Al Hamid sebagai ketua umum dan Hasri Harahap sebagai sekretaris jenderal. Menurut Slamet, perubahan nama Presidium menjadi Persaudaraan telah disetujui pendiri Front Pembela Islam, Rizieq Syihab, yang juga tokoh sentral 212.
Slamet mengklaim anggota Persaudaraan Alumni 212 berjumlah 7 juta orang. Tapi klaim itu tak pernah bisa dibuktikan. Sebab, kata Sambo, perkumpulan ini tak memiliki anggota yang terdaftar resmi dan aturan internal seperti anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Sambo menyebutkan kelompok 212 bukanlah organisasi formal. Semangat gerakan ini, ujar Sambo, "Adalah nilai Islam."
Terbelah secara organisasi, berbagai faksi di gerakan 212 dipertemukan oleh kesamaan kepentingan sebagai oposan pemerintah dan partai pendukungnya. Slamet Maarif menuturkan obsesinya untuk menjungkalkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang dia anggap mendukung "penista agama". "Tekad kami, tenggelamkan Merah," kata Slamet.
Sambo menyebutkan gerakan 212 berubah menjadi gerakan politik praktis karena pemerintah dianggap kerap mengkriminalisasi "ulama" dan mengeluarkan kebijakan yang menyudutkan "Islam". Akibatnya, kata Sambo, gerakan yang semula hanya menolak Basuki menjelma menjadi gerakan politik untuk mengganti presiden.
Wayan Agus Purnomo, Fajar Febrianto, Adam Prireza
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo