Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENCABUTAN kewajiban penjualan batu bara untuk pasar dalam negeri atau kebijakan domestic market obligation (DMO) bukanlah solusi untuk menambal defisit neraca transaksi berjalan. Alih-alih menggenjot ekspor, pembatalan DMO malah bisa membuat PT PLN (Persero) terkapar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, pembatalan rencana pencabutan DMO sebagaimana diumumkan seusai rapat kabinet pekan lalu memang sudah sepatutnya dilakukan Presiden Joko Widodo. Jika dipaksakan, pencabutan DMO tak hanya terancam gagal mencapai tujuannya, tapi juga dapat merusak kredibilitas pemerintah di mata pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari kita kupas satu per satu masalah di balik gagasan pemerintah mencabut DMO. Pertama, pembatalan aturan DMO tak akan bisa menyelamatkan defisit transaksi berjalan yang kini mencapai US$ 25 miliar atau setara dengan Rp 362,73 triliun. Pemerintah yakin pengusaha batu bara bakal segera menggenjot ekspor jika kewajiban menyetor 25 persen produksinya untuk kepentingan dalam negeri dengan harga batas atas US$ 70 per metrik ton dibatalkan. Itu asumsi yang keliru.
Apa pun yang dibisikkan pengusaha batu bara ke telinga Presiden, faktanya, tidak semua produksi batu bara Indonesia berpotensi laku di luar negeri. Rentang harga komoditas ini amat panjang, tergantung kualitas batu baranya. Selama ini, batu bara Indonesia yang berkualitas rendah diserap sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap di dalam negeri. Jika diekspor, jenis batu bara ini belum tentu bakal mendapat harga premium. Belum lagi ongkos kirimnya bakal membengkak dan membuat produk ini tak kompetitif di pasar internasional.
Walhasil, jika DMO dihapus, pasokan batu bara Indonesia tak akan otomatis diekspor. Yang terjadi justru lonjakan biaya yang harus dibayar PLN dan para produsen listrik swasta untuk para pengusaha batu bara nasional karena harga patokan batu bara untuk pasar dalam negeri dicabut.
Saat ini, lebih dari 50 persen listrik nasional dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap yang bahan bakarnya batu bara. Sungguh tak masuk akal jika penyediaan batu bara harus mengikuti harga pasar, sementara tarif listrik PLN dikunci pemerintah. Badan usaha milik negara itu bisa babak-belur menanggung selisih harga akibat pencabutan DMO.
Dihitung secara kasar saja, potensi kerugian PLN bisa mencapai Rp 45,3 triliun jika kebutuhan batu baranya ada di angka 92 juta metrik ton per tahun. Rencana pemerintah menerapkan iuran pengusaha batu bara sebesar US$ 2-3 per metrik ton tak akan menutup beban biaya PLN.
Masalah kedua, perubahan kebijakan pemerintah soal pasokan batu bara nasional ini terlampau singkat dan terkesan tergesa-gesa. Perbaikan aturan DMO baru dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada awal tahun ini. Patokan harga batu bara untuk pasokan dalam negeri juga baru ditetapkan lima bulan lalu.
Jika aturan anyar DMO itu dicabut, yang muncul justru ketidakpastian. Pasar bisa bereaksi negatif terhadap perumusan kebijakan yang reaktif, apalagi jika didasari asumsi yang tidak realistis. Karena itu, keputusan pemerintah membatalkan rencana pencabutan DMO patut diapresiasi.
Dengan pembatalan ini, Presiden Jokowi mengirim sinyal yang tepat bahwa pemerintah tidak panik menghadapi defisit transaksi berjalan dan tetap mengedepankan rasionalitas dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Sudah seharusnya prinsip yang sama diterapkan untuk semua kebijakan pemerintah, bukan hanya soal batu bara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo