Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJAGA stabilitas rupiah, pemerintah mesti berhati-hati mengerem volume impor perdagangan. Di tengah ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan baku dan barang modal, yang persentasenya rata-rata mencapai 75 persen dan 15 persen per tahun, kebijakan pengendalian impor yang gegabah bisa berimbas pada naiknya ongkos produksi industri dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya menekan barang impor untuk menghemat cadangan devisa-yang telah terkuras dari US$ 131,98 miliar pada Januari ke US$ 119,8 miliar pada akhir Juni lalu-mengemuka dalam rapat terbatas kabinet. Sudah sewajarnya pemerintah memformulasikan berbagai kebijakan untuk mengatasi turbulensi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Namun substitusi impor tidak akan memberikan dampak pada perekonomian dalam semalam. Langkah keliru bisa menciptakan ongkos ekonomi yang mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi, di dalam rantai pasok global, Indonesia banyak bergantung pada bahan baku dari luar. Produk susu industri bahan baku makanan dan minuman, misalnya, 80 persen diimpor dari luar negeri. Belum lagi industri tepung terigu yang membutuhkan impor gandum 8 juta ton per tahun. Bahkan hampir seluruh pasokan pakan ternak nasional bergantung pada impor, yang mencapai 3,8 juta ton setiap tahun.
Langkah pemerintah mengevaluasi sejumlah proyek infrastruktur sebenarnya sudah tepat-meski bisa dibilang terlambat. Pemerintah sejak dulu semestinya menyadari proyek itu memiliki ketergantungan tinggi terhadap bahan baku impor. Badan Pusat Statistik mencatat, bahan baku proyek infrastruktur mendominasi komponen impor, di antaranya impor besi baja yang naik 39 persen dan mesin serta alat listrik meningkat 28 persen. Kenaikan impor sepanjang semester pertama tahun ini menyebabkan defisit neraca perdagangan.
Kini nasi telah menjadi bubur. Proyek infrastruktur yang sebagian besar dibiayai utang dalam bentuk valuta asing telah dan akan menyedot devisa. Badan usaha milik negara tiap tahun harus membayar cicilan utang pokok dan bunga. Yang bisa dilakukan adalah menunda proyek yang masih dalam tahap perencanaan atau proyek yang kemajuannya tidak sesuai dengan harapan.
Dalam jangka pendek, pemerintah tidak perlu ragu mengurangi impor bahan bakar minyak. Impor minyak dan gas pada semester pertama tahun ini sudah menembus US$ 14,04 miliar, naik 20,83 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Bila tidak segera ditekan, ikhtiar pemerintah menghemat devisa bisa sia-sia.
Tentu saja yang terpenting adalah memperbaiki neraca transaksi berjalan. Inilah akar masalah yang membuat rupiah terus sempoyongan. Pada kuartal pertama tahun ini, defisit transaksi berjalan bertengger di angka US$ 5,5 miliar, atau naik 129,17 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Bank Indonesia bahkan memprediksi defisit transaksi berjalan pada akhir tahun bisa melebar hingga US$ 25 miliar. Makin besar defisit neraca transaksi berjalan, makin besar dampak pelemahan nilai tukar pada makroekonomi.
Defisit transaksi berjalan tidak bisa diperbaiki dalam satu malam. Salah satu obatnya adalah mempersiapkan industri berorientasi ekspor, lengkap dengan beragam insentif dan kemudahan. Tujuannya agar Indonesia memiliki surplus neraca transaksi berjalan yang berasal dari surplus neraca perdagangan hasil industri. Namun mempersiapkan industri berorientasi ekspor butuh konsistensi dan napas panjang.
Rencana jangka panjang ini harus memiliki target terukur dan terarah di pasar global, yang bisa diterapkan berkesinambungan pada jangka pendek dan menengah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo