Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burhanuddin Muhtadi*
ANDAI bisa mengintip Kitab Lauhul Mahfuz, saya bisa menebak siapa yang pada akhirnya mendapat tiket resmi dari partai atau koalisi partai dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Seperti biasa, penentuan calon gubernur dan wakilnya masih diwarnai tarik-ulur di tingkat elite partai. Belum terjawab siapa yang potensial menjadi penantang kompetitif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok nanti.
Secara umum, seperti pisau bermata dua, inkumben memiliki kelebihan sekaligus kelemahan. Sebagai inkumben, Ahok pasti memiliki tingkat kedikenalan (name recognition) yang jauh lebih tinggi ketimbang calon-calon penantangnya. Inkumben secara umum mengantongi modal popularitas tinggi karena relatif sudah dikenal populasi pemilih. Ahok, misalnya, menurut survei Indikator Politik Indonesia, telah dikenal hampir 100 persen warga Jakarta.
Namun, seperti dalam satu sisi mata uang yang sama, pemilih juga punya kesempatan lebih baik mengevaluasi inkumben, baik dari sisi teknokratik maupun afektif. Tingkat kedikenalan tinggi tidak memberikan garansi kemenangan jika inkumben punya masalah kedisukaan (likeability). Pekerjaan rumah Ahok bukan meningkatkan popularitas, karena memang sudah maksimum, tapi justru memperbaiki tingkat kedisukaan pemilih terhadapnya. Tingkat kedisukaan terhadap Ahok sejauh ini di kisaran 70 persen. Tidak buruk, tapi juga belum maksimal.
Seberapa efisien kedikenalan seorang calon akan menentukan kans? Efisiensi kedikenalan ini ditentukan oleh seberapa besar proporsi yang suka dari yang kenal calon bersangkutan. Secara elektoral, jauh lebih susah membuat orang yang awalnya tidak suka menjadi suka. Sebaliknya, jauh lebih mudah membuat orang yang awalnya tidak kenal menjadi kenal. Asalkan punya sumber daya yang mencukupi plus kualitas personal calon juga punya potensi, maka mudah mengangkat popularitas calon.
Kekuatan Ahok lainnya adalah persepsi publik yang masih positif terhadap kinerjanya sebagai inkumben. Berdasarkan rangkuman survei-survei yang kredibel, tingkat kepuasan publik Ahok di kisaran 70 persen. Analisis multivariat yang dilakukan Indikator menunjukkan di antara variabel signifikan yang paling konsisten dan kuat menjelaskan elektabilitas calon adalah seberapa positif kinerja inkumben di mata publik. Terlepas dari pro-kontra terhadap karakter atau kebijakan Ahok, secara teknokratik inkumben diapresiasi publik secara luas.
Tapi jangan lupa, dari banyak survei, tidak semua yang puas terhadap kinerjanya menyalurkan pilihannya kepada Ahok. Studi Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pilkada DKI Jakarta 2012 menunjukkan variabel etnis—yang dalam taraf tertentu beririsan dengan faktor agama—juga menjadi significant predictor dalam menjelaskan perilaku pemilih Jakarta. Variabel ini bersifat independen dari faktor-faktor lain, termasuk terlepas dari apakah mereka puas atau tidak puas terhadap kinerja Ahok. Inilah yang harus diwaspadai agar jangan sampai dieksploitasi menjadi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), yang justru membahayakan konstruksi kebinekaan kita.
Pertanyaannya adalah seberapa besar faktor primordial ini terjadi di Jakarta. Secara teori, tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih baik seharusnya menjadi filter atau penangkal isu SARA dalam menentukan pilihan politik. Tingkat pendidikan yang rendah membuat pemilih menjadikan isu-isu primordial sebagai acuan utama.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa mayoritas warga Jakarta berpendidikan SMA ke atas (52,7 persen), bahkan penduduk yang mengenyam bangku universitas mencapai 13,5 persen, jauh dari rata-rata nasional. Pendapatan warga Jakarta juga menunjukkan proporsi yang lebih tinggi dibanding provinsi-provinsi lain. Intinya, raw material warga Jakarta yang lebih baik dibanding rata-rata nasional membuat faktor primordial, meski nyata dampaknya, pengaruhnya tidak sebesar seperti di tempat lain.
Lantas masih adakah peluang bagi penantang mengalahkan Ahok? Jawabnya tentu saja ada. Pertama, waktu yang tersedia sebelum hari-H masih memungkinkan bagi penantang untuk mengalahkannya. Terlebih lagi, meski approval rating Ahok tinggi, masih memungkinkan bagi penantang yang kredibel bisa menyalip elektabilitas Ahok. Inkumben akan aman secara elektoral jika modal elektabilitasnya jauh memimpin di depan dengan selisih yang lebar.
Semakin mendekati pemilihan tantangan akan semakin berat karena kompetitor juga akan bekerja lebih maksimal dan pemilih mendapat informasi lebih beragam. Di banyak tempat, tren elektabilitas beberapa inkumben cenderung menurun ketika mendekati pemilihan. Namun banyak di antara mereka diselamatkan oleh "lonceng yang berbunyi" (saved by the bell) karena modal elektabilitas yang terlalu tinggi di awal tidak terkejar oleh lawan yang tren elektabilitasnya menanjak sekalipun.
Perlu diingat, pilkada Jakarta memakai aturan yang bersifat khusus, berbeda dengan aturan umum. Calon gubernur harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen untuk memenangi pemilihan dalam satu putaran. Aturan itu ada dalam Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Bila angka tersebut tidak tercapai, sesuai dengan ayat 2 akan diadakan pemilihan putaran kedua. Aturan ini menyulitkan inkumben unggul dalam satu putaran jika penantangnya banyak.
Kedua, peluang mengalahkan Ahok sangat tergantung siapa penantang yang diusung partai-partai yang berseberangan dengan Ahok. Jika mereka mengusung calon yang kredibel dan memiliki resonansi yang kuat dengan publik, tentu Ahok akan mendapat rival yang kompetitif di pilkada nanti. Sejauh ini Ahok masih memimpin di puncak klasemen survei lebih karena belum munculnya credible alternative yang mencuri perhatian publik.
Sebagian masih sibuk menguliti kelemahan Ahok, tapi gelagapan ketika ditanya siapa figur yang mereka tawarkan. Jika yang muncul nama-nama yang tidak memiliki kualifikasi seperti yang diharapkan, jangan salahkan jika warga Jakarta memakai prinsip lawas kemenangan inkumben, yakni: "Better the devil you know than the devil you don't know".
Maksudnya, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, warga Jakarta tahu luar-dalam karakter Ahok. Mereka juga sudah merasakan kebijakan Ahok. Jika penantang gagal menawarkan harapan perubahan, pemilih tentu akan lebih memilih calon yang mereka sudah tahu dengan segala plus dan minus daripada mempertaruhkan pada calon lain yang mereka tak kenal rekam jejaknya.
Untuk itulah mengapa banyak survei menemukan dukungan yang tinggi kepada Tri Rismaharini atau Ridwan Kamil sebagai bakal calon yang dianggap menjadi lawan yang seimbang bagi Ahok. Ini karena publik melihat nama-nama itu dianggap sudah punya track record dan mendapat ekspos luas media massa. Namun nama-nama alternatif yang baru muncul, seperti Anies Baswedan dan Rizal Ramli, juga tak bisa diabaikan.
Melihat konstelasi yang ada, secara matematika politik, meski sulit masih memungkinkan munculnya empat pasangan dengan asumsi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengusung calon di luar Ahok. Jika PDI Perjuangan—yang mampu mengusung calon tanpa koalisi—memutuskan mendukung Ahok, tinggal menunggu apakah Koalisi Kekeluargaan terbelah menjadi dua kubu atau tidak.
Kendaraan politik juga menentukan bukan sekadar untuk mendapat tiket maju dalam pilkada nanti, tapi juga menjadi medium mobilisasi dalam memenangi pertarungan. Jangan lupa, studi Indikator pada pemilu presiden 2014 menunjukkan efek mobilisasi partai sangat signifikan dalam menaikkan elektabilitas Prabowo Subianto. Ingat, pertarungan masih jauh dari selesai, bahkan belum mulai. l
*) Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan Pengajar FISIP UIN Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo