Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada masa penjajahan Belanda, struktur kepolisian punya dua tangan. Yang satu adalah kepolisian umum, yang bertanggung jawab atas penegakan hukum. Yang lain adalah brigade mobil (brimob), kesatuan elite yang bertugas mengawal keamanan dalam negeri.
Kala itu, brimob cuma terdiri atas unit-unit kecil. Masing-masing berisi 7-8 personel, satuan itu berada di bawah kendali pemerintah daerah. Brimob dirancang untuk mengatasi berbagai ancaman keamanan yang tak bisa ditangani polisi umum. Militer (KNIL) memang terkadang diundang ikut berperan, tapi itu jika sebuah gejolak sudah sedemikian gawat dan luas. Setelah rusuh bisa dipadamkan, para serdadu pun kembali ke barak.
Tapi itu dulu. Setelah kemerdekaan, muncul kompetisi yang lebih keras antara polisi dan militer. Pertentangan tajam muncul dalam menentukan siapa yang mesti menangani urusan keamanan internal. Militer merasa paling berhak karena merekalah yang juga merasa punya jasa mengusir penjajah semasa revolusi. Mereka meragukan kemampuan polisi. Juga mencurigai loyalitasnya karena lama berada di bawah struktur pemerintahan kolonial.
Sebagaimana tercatat dalam laporan International Crisis Group (ICG) berjudul Indonesia: National Police Reform tanggal 20 Februari lalu, di masa revolusi, polisi memang terpecah. Sebagian besar bergabung dengan Republik, sebagian lainnya memilih berkolaborasi dengan pemerintah Belanda, dan sisanya masuk dalam kepolisian Republik Indonesia Serikat.
Penjajahan juga menyumbang pada persoalan tak cukup tersedianya perwira polisi yang cakap dan berpengalaman. Saat Belanda diusir Jepang pada 1942, tak satu pun warga bumiputra menjabat kepala kepolisian di 16 distrik Hindia Belanda. Cuma ada beberapa pribumi di level menengah. Bagian terbanyak adalah mereka yang hanya sebatas opsir lapangan. Meski selama pendudukan Jepang ada lebih banyak perwira Indonesia yang menduduki posisi menengah, pola itu masih terus berlangsung.
Rivalitas itu tak juga kunjung padam ketika Sukarno—mengadopsi sistem di negara komunis—menggabungkan kepolisian ke bawah payung ABRI pada 1960. Rivalitas itu antara lain dipicu oleh kecenderungan Sukarno ”memelihara” persaingan di antara keduanya. Kepolisian digunakannya sebagai kekuatan untuk mengimbangi Angkatan Darat (AD). Dan konflik mencapai puncaknya pada peristiwa 30 September. Dukungan beberapa jenderal polisi di belakang Sukarno saat melawan AD berujung pada penyingkiran sejumlah petingginya.
Merasuknya kontrol militer dan rezim yang otoriter adalah awal bencana polisi. Orientasinya lalu bergeser. ICG mencatat, dari tugas pokoknya sebagai pengawal hukum, korps ini jadi sangat menitikberatkan peran penjaga keamanan dalam negeri. Bahu-membahu dengan AD, mereka menjadi pelindung kepentingan penguasa. Masuknya banyak kurikulum tentara dalam pendidikan kepolisian membuat warna militeristis sangat kental. Kecenderungan ini terlihat dari banyaknya jabatan pemimpin polisi yang dipegang perwira dari Brimob, kesatuan paramiliter.
Sejak saat itu, polisi dikerdilkan. Bujetnya dipangkas. Jumlah personelnya pun dikerutkan. Rasio polisi-masyarakat drop dari 1 : 500 menjadi 1 : 1.200. Bantuan luar negeri dan kesempatan belajar di mancanegara juga dipotong. Berbagai kewenangannya diambil alih. Dan kepadanya diterapkan hukum militer.
Orde Baru adalah puncak dari subordinasi polisi di bawah militer. Toh, keributan di antara keduanya terus terjadi, khususnya jika polisi terlalu bersemangat melakukan penyelidikan atau ketika mereka mencoba memaksakan kewenangan mereka pada kesatuan lain. Persoalan koordinasi lantas dicoba diselesaikan dengan pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), musyawarah pimpinan daerah (muspida), dan perumusan doktrin bersama. Itu semua secara otomatis memangkas struktur Brimob dan membatasi perannya dalam tugas-tugas pengendalian massa dan pengawalan tamu-tamu VIP.
Menurut laporan ICG, Brimob semula dibentuk ke dalam sejumlah batalion seperti infanteri, yang masing-masing berkekuatan 600 orang. Tapi, pada awal 1980-an, basis operasionalnya dipangkas cuma menjadi kompi-kompi (100 orang). Bahkan, sejumlah persenjataannya dialihkan ke militer.
Hal ini, kata mantan Deputi Operasi Kapolri Letjen (Purn.) Koesparmono Irsan, terutama terjadi pada masa Benny Moerdani menjabat Panglima ABRI. Polisi dilarang menggelar latihan berskala besar. Intelijen polisi ditempatkan di bawah TNI. Hasilnya, kata Koesparmono, polisi sampai tidak tahu apa-apa soal intelijen kriminal sekalipun. Benny bahkan sempat minta agar tanda ”POL” yang disematkan di kerah seragam diganti menjadi ”TNI”. Permintaan itu ditolak, lalu dikompromikan menjadi ”POLRI”. Tanda pangkat juga sempat diributkan, misalnya komisaris besar. ”Besar apanya, begitu kata mereka,” kata Koesparmono tertawa.
Padahal, menurut mantan Kapolri Awaloedin Djamin dalam bukunya Pengalaman Seorang Perwira Polri, kepolisian pernah menempati posisi terhormat. Hingga Demokrasi Terpimpin dideklarasikan Juli 1959 dan wafatnya Menteri Pertama Djuanda pada November 1963, kepolisian berhasil mempertahankan kemandiriannya dari campur tangan partai politik dan pemerintah.
Sampai kurun itu, kata Koesparmono, polisi sangat mandiri, baik dalam persenjataan maupun sistem operasinya. Brimob, yang menjadi elemen sentral Kepolisian RI (Polri) sejak 1950-an, memainkan peran penting dalam berbagai penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta pada kurun waktu 1958-1961. Ketika itu, klaim Koesparmono, Brimob bersama Resimen Pelopor—satuan elite polisi lainnya—bahkan mengungguli Resimen Para Komando Angkatan Darat (Kopassus sekarang).
Baru setelah Soeharto ambruk, penguatan polisi kembali dilakukan. Pada 1 April 1999, Polri secara formal disapih kembali dari angkatan bersenjata, meski tetap ditempatkan di bawah satu payung Departemen Pertahanan. Perubahan yang lebih signifikan terjadi di era Abdurrahman Wahid. Ketetapan MPR Nomor VII/2000 tegas memisahkan polisi dari tentara dan langsung menempatkannya di bawah presiden.
Pemekaran personel pun dilakukan. Dari 190 ribu personel pada 1998, jumlahnya kini digenjot menjadi 250 ribu anggota, dan pada 2004 ditargetkan menjadi 300 ribu personel. Untuk itu, sejumlah langkah diupayakan: kepolisian akan menerima 13 ribu anggota baru, sementara usia pensiun diperpanjang, dari semula 48 tahun menjadi 58 tahun. Personel yang dipekerjakan di posisi komando dan administrasi, sekitar 40 persen, akan dikurangi menjadi cuma 20-25 persen.
Tapi, secara keseluruhan, struktur organisasinya tak banyak berubah. Perubahan mendasar belum banyak terlihat. Setelah Soeharto terjungkal, seiring dengan mundurnya peran TNI, Brimob malah makin membenamkan diri dalam berbagai operasi di Aceh, Maluku, dan Irianjaya—sebuah ”tradisi” yang telah berlangsung sejak kelahirannya. Jumlah personel kesatuan paramiliter ini pun akan didobelkan dari sebelumnya, menjadi 40 ribu.
Karena itulah, kata ICG, reformasi kepolisan tampaknya masih sebatas simbol. Masih sebatas pengubahan tanda pangkat yang jadi terdengar ”lebih sipil”.
Karaniya Dharmasaputra, Purwani Dyah Prabandari, Endah W.S.
Periode | Keterangan | Penjajahan Belanda | Ada beberapa lembaga kepolisian: Politieke Inlichtingen Dienst (PID—intel) dan Algemeenee Politie (Polisi Umum). Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), tentara Kerajaan Belanda, hanya bertugas di bidang hankam. | Penjajahan Jepang | Boei Gyugun (Pembela Tanah Air—Peta) dan Keisasutai (Barisan Polisi). | Setelah 17 Agustus 1945 | Kepolisian di bawah Departemen Dalam Negeri dengan nama Badan Kepolisian Indonesia. Raden Said Soekanto Tjodiatmojo diangkat sebagai kepala kepolisian pertama pada 29 September 1945. | 5 Oktober 1945 | Dekrit Presiden membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan cikal-bakal TNI. Kepolisian tetap di bawah Depdagri. | 1 Juli 1946 | Polisi menata diri, berada di bawah perdana menteri. Ditetapkan sebagai hari lahir Polri. | 3 Juni 1947 | Polisi digabung dengan TRI menjadi TNI. | 16 Januari 1950 | Setelah agresi militer dan berdiri Republik Indonesia Serikat, dibentuk Angkatan Perang RIS. Keluar Keputusan Presiden RIS yang memisahkan kembali kepolisian RIS dari APRIS. | 17 Agustus 1950 | Indonesia menjadi Negara Kesatuan RI. APRIS kembali menjadi TNI. Kepolisian RIS bergabung lagi dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. | 1950-1959 | TNI dan Jawatan Kepolisian menumpas berbagai pemberontakan, dari DI/TII hingga Permesta. | 1960-1961 | Keputusan Presiden No. 21/1960: Menteri/Kepala Kepolisian dan Jawatan Kepolisian berada di bawah Departemen Pertahanan. Tap MPRS No. II/1960 dan UU No. 13/1961: kepolisian menjadi bagian dari ABRI. Kepala kepolisian merupakan anggota kabinet dengan jabatan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. | 24 Agustus 1967 | Soeharto mengintegrasikan polisi ke dalam ABRI, yang dipimpin Menteri Pertahanan/Panglima ABRI. | 1982 | UU No. 20/1982: Dephan dan Mabes ABRI dipisah. Ditegaskan, kepolisian bukan angkatan perang. | 1 April 1999 | Polri disapih dari ABRI, tapi masih di bawah payung Dephan | 1 Juli 2000 | Presiden Abdurrahman menyatakan pemisahan Polri dan TNI. | Agustus 2000 | Tap MPR No. VI dan VII/2000: Polri dipisah dari TNI dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO arsip Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |