Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Aksi Demo Mubazir?

Sebagian besar responden mengaku tak memperoleh manfaat langsung dari aksi unjuk rasa.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan terakhir ini adalah waktu paling sibuk bagi para demonstran. Hampir setiap hari mereka menggelar aksi unjuk rasa, di Bundaran Hotel Indonesia, di Istana Merdeka, atau di gedung parlemen Senayan. Ada tiga kelompok yang turun ke jalan: yang menolak kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, kelompok yang mendukungnya, dan kelompok yang menuntut pembubaran Partai Golkar.

Aksi mereka tak meledak menjadi huru-hara besar seperti di waktu lalu. Kendati bentrok antar-pengunjuk rasa atau antara demonstran dan aparat sesekali masih terjadi, ”letupan” biasanya segera padam. Paling-paling jalanan jadi macet. Toko-toko toh aman penjarahan. Yang patut dicatat, tak banyak warga melibatkan diri mendukung aksi-aksi itu. Sekelompok pekerja profesional malah menyerukan agar pertengkaran politik dihentikan.

Peserta jajak pendapat TEMPO menilai demonstrasi yang marak belakangan ini berjalan dengan ”biasa saja”, artinya tidak membahayakan. Kendati demikian, ada sebagian responden yang melihat aksi unjuk rasa cenderung anarkis. Penilaian ini tak mengada-ada. Kenyataan menunjukkan masih ada aksi unjuk rasa yang berakhir dengan bentrokan ataupun perusakan harta benda. Di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa dua pekan silam, misalnya, terjadi bentrokan kelompok pro-Golkar dan polisi melawan mereka yang menuntut partai berlambang beringin itu dibubarkan. Tak ada yang meninggal, memang, tapi beberapa orang terluka dan terjadi aksi bakar-membakar.

Walaupun menilainya relatif tertib, lebih dari separuh responden mengaku aktivitas sehari-hari mereka sudah terganggu oleh aksi demo. Gangguan itu bisa berupa kemacetan lalu-lintas atau munculnya perasaan takut dan waswas. Maklum, banyak juga ”tangan jahat”—copet, maling—yang beraksi di kala demo berlangsung. Sejumlah wartawan sudah merasakan cepatnya telepon genggam mereka lenyap dari saku.

Sementara itu, hampir separuh responden merasa tak terganggu karena lebih banyak diam di rumah. Titin, 41 tahun, ibu rumah tangga di Kampungrawa, Jakarta Pusat, mengaku setuju-setuju saja bila mahasiswa melakukan unjuk rasa. ”Mereka kan memperjuangkan nasib rakyat,” katanya, ”Yang terganggu paling orang kantoran yang kena macet sewaktu mau berangkat kerja.”

Pendapat yang pro dan kontra itu boleh jadi cermin sikap mendua publik. Di satu sisi, mereka sebenarnya menyetujui aksi unjuk rasa sebagai bagian dari proses demokrasi. Hanya, jika demonstrasi dilakukan dengan cara-cara yang tak semestinya, kepentingan orang banyak bisa terganggu. Dengan kata lain, sepanjang unjuk rasa dilakukan secara tertib, tidak mengganggu lalu-lintas, masyarakat oke-oke saja.

Yang menarik, mayoritas responden ternyata tak merasakan langsung manfaat aksi unjuk rasa yang berlangsung belakangan ini. Separuh responden bahkan menilai aspirasi mereka tak terwakili oleh aksi demo itu.

Secara tersirat hasil itu menunjukkan adanya jarak yang cukup jauh antara isu yang diusung para demonstran dan kepentingan responden. Wacana menolak kepemimpinan Presiden Abdurrahman dan pembubaran Partai Golkar bukan prioritas perhatian utama responden. ”Saya sih tak peduli Gus Dur mau diganti atau tidak. Yang penting, situasi aman dan saya bisa cari uang,” kata seorang sopir taksi bercat hijau yang enggan disebut namanya. Walhasil, responden menilai aksi unjuk rasa sebaiknya dilakukan di satu tempat khusus, tidak membuat macet, dan jangan mengganggu orang (yang belakangan makin susah) cari duit.

Wicaksono


Penilaian Anda terhadap jalannya aksi unjuk rasa selama dua pekan terakhir ini?
Sangat tertib 0,4%
Tertib 22%
Biasa saja 47%
Anarkis 30%
Sangat anarkis 0,8%
Anda mulai terganggu oleh adanya aksi unjuk rasa dua pekan terakhir ini?
Ya 59%
Tidak 41%
 
Anda merasakan langsung manfaat aksi unjuk rasa dua pekan terakhir ini?
Ya 16%
Tidak 84%
 
Apakah aspirasi Anda terwakili oleh aksi demonstrasi dua pekan terakhir ini?
Ya 50%
Tidak 50%
 
Di manakah sebaiknya aksi unjuk rasa berlangsung?
Di suatu tempat khusus yang sudah disediakan 44%
Di depan gedung parlemen (Senayan) 42%
Bebas di mana saja 9%
Di jalan raya 4%
Di lapangan Monas, Jakarta 1%
 
Kapan sebaiknya aksi unjuk rasa dilakukan?
Kapan saja 30%
Pagi-siang 28%
Sore-malam 14%
Siang-malam 11%
Siang-sore 11%
Malam-pagi 4%
Siang saja 2%
 

Metodologi jajak pendapat :

  • Jajak pendapat ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 520 responden di lima wilayah DKI pada 19-21 Maret 2001. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen. Penarikan sampel dikerjakan melalui metode acak bertingkat (multi-stages random sampling) dengan unit kelurahan, rukun tetangga, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan lewat kombinasi antara wawancara tatap muka dan wawancara melalui telepon.

    MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.30 WIB

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum