Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Polri Diminta Rutin Gelar Tes Kejiwaan

Tes secara berkala diprioritaskan untuk polisi yang memegang senjata.

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
polisi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti meminta Kepolisian RI menggelar tes psikologi atau kejiwaan secara berkala untuk mendeteksi tingkat stres atau gangguan kejiwaan para anggotanya. Tes psikologi secara berkala diharapkan dapat mengurangi jumlah polisi yang bunuh diri atau berperilaku menyimpang lainnya.

Poengky menyarankan tes psikologi untuk polisi yang memegang senjata api dan bekerja di lapangan dilakukan minimal enam bulan sekali. Adapun untuk anggota yang memegang senjata tapi bekerja di belakang meja, tes psikologi dilakukan sekali dalam setahun. "Untuk yang tidak memegang senjata dan kerjanya di belakang meja, tidak perlu tes psikologi rutin," kata dia, kemarin.

Selain tes psikologi, kata Poengky, Polri diminta melakukan tes narkoba, tes fisik, dan pemberian konseling secara mendalam dan rutin. Pemeriksaan itu terutama dilakukan bagi polisi yang bertugas di bidang reserse, brigadir mobil, dan di lapangan. "Karena memang beban kerja mereka sangat tinggi, harus siap berada di garda terdepan selama 24 jam," ujar dia.

Dalam sepuluh bulan terakhir, tercatat ada 16 polisi yang bunuh diri. Pada awal Oktober, ada dua polisi yang bunuh diri. Mereka adalah anggota Brimob Kepolisian Daerah Yogyakarta, Brigadir Kepala Iwan Rudiyanto, dan Kepala Kepolisian Sektor Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah, Inspektur Dua Nyariman.

Iwan menembakkan pistol ke kepalanya saat pesta minuman keras bersama teman-temannya pada 3 Oktober lalu. Berselang tiga hari kemudian, Nyariman gantung diri di ruang kerjanya lantaran dituntut mengembalikan uang setoran untuk meloloskan tes Sekolah Calon Bintara putra rekan kerjanya.

Mantan Kepala Polri Jenderal (purnawirawan) Badrodin Haiti menuturkan tes psikologi secara berkala memang belum terlaksana. Kata dia, tes psikologi hanya diberikan saat perekrutan awal, pendidikan untuk naik pangkat, serta penugasan tertentu. "Tidak bisa berkala karena memang tenaganya tidak cukup," ujar Badrodin.

Ia menerangkan jumlah konsultan psikologi untuk kepolisian sangat terbatas, dibanding jumlah polisi seluruh Indonesia. Menurut dia, perilaku bunuh diri atau menyimpang lainnya dapat diantisipasi dengan menciptakan komunikasi yang baik antara pimpinan dan anggota. "Dengan begitu, atasan bisa mendeteksi sejak awal perilaku para anggotanya. Kenapa tidak ceria, kenapa tidak masuk," ujar dia.

Direktur Eksekutif Indonesia Police Watch, Neta S. Pane, menuturkan ada berbagai faktor penyebab polisi bunuh diri. Hal itu di antaranya soal percintaan dan persoalan rumah tangga, serta masalah pekerjaan. Ia mencontohkan kasus percintaan meliputi perselingkuhan, pertengkaran dalam rumah tangga, dan tuntutan keluarga. Adapun mengenai pekerjaan meliputi tingginya beban kerja, perselisihan dengan rekan kerja, ketidakcocokan dengan atasan, dan buruknya suasana kerja.

Neta berpendapat Polri harus segera mengirimkan tim psikolog untuk setiap kantor polisi. Kata dia, Polri juga harus memerintahkan para kepala polda, kepala polres, dan kepala polsek untuk mendengarkan keluhan-keluhan anggotanya.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Agus Rianto, menegaskan pihaknya telah melakukan pemeriksaan psikologi secara berkala, terutama untuk anggota yang memegang senjata. "Memang begitu, kami laksanakan minimal 6 bulan sekali," kata Agus. "Setiap akan perpanjangan izin pinjam pakai senjata, dilaksanakan tes lagi." DEWI SUCI RAHAYU


Urusan Duit sampai Asmara

Mantan Kepala Polri Jenderal (purnawirawan) Badrodin Haiti menyebutkan beberapa penyebab polisi bunuh diri. Menurut dia, faktor-faktor tersebut bersifat sangat pribadi, bergantung pada masalah yang dihadapi polisi tersebut. Menurut dia, kecenderungan untuk bunuh diri sangat sulit dideteksi dalam tes psikologi saat perekrutan polisi.

Berikut ini sejumlah penyebab polisi stres, lalu bunuh diri.
1.Urusan asmara. Salah satu contohnya Brigadir Dua Ricardo, anggota Kepolisian Resor Mamuju Sulawesi Barat yang menembak kepalanya pada Desember 2015. Diduga karena tak mendapat restu untuk berhubungan dengan kekasihnya.
2.Masalah keluarga. Brigadir I Made Swartawan, anggota Satuan Narkoba Polres Karangasem, Bali, bunuh diri Mei lalu setelah bertengkar dengan istrinya.
3.Masalah di lingkungan kerja. Inspektur Satu Sugeng Wiyono, anggota Polres Jombang, menembak atasannya, Ajun Komisaris Ibrahim Gani, pada April 2005. Sugeng lalu menembak kepalanya sendiri.
4.Sakit. Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi Polresta Bandar Lampung, Inspektur Satu Syahir Perdana Lubis, bunuh diri diduga karena sakit yang tak kunjung sembuh.
5.Masalah ekonomi. Kepala Kepolisian Sektor Karangsembung, Jawa Tengah, Inspektur Dua Nyariman, bunuh diri diduga karena terlilit utang pada rekannya.
6.Sebab lain. Psikolog Reza Indragiri mengatakan polisi rentan terhadap stres lantaran tanggung jawab profesinya yang besar. Polisi memiliki kerentanan psikis karena dituntut harus prima, tanpa diimbangi imbalan yang sepadan. Adapun psikolog dari Universitas Indonesia, Dadang Hawari, mengatakan polisi yang memakai narkoba rentan bunuh diri atau membunuh. FERY F. | DEWI SUCI | PUTRI ADITYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus