Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPANGAN Udara Le Bourget, ketika matahari masih malas menyingsing, Sabtu dua pekan lalu. Iring-iringan mobil dengan kawalan voorrijder memecah kesenyapan, berkelok di antara sejumlah pesawat pribadi yang sedang parkir. Koper susulan diperiksa dua anjing pelacak yang bolak-balik mengendus-endus bagasi dengan petugas bersenjata lengkap. Tapi tak ada aparat imigrasi yang mengecek paspor—setidaknya yang bertatap muka denganku.
Tak sampai setengah jam kemudian, Boeing Business Jet, disingkat BBJ, yang ditumpangi rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lepas landas meninggalkan Paris, Prancis. Wuuss, deru mesinnya nyaris tak terdengar. Dari dalam kabin, sejumlah diplomat tampak melambaikan tangan. Kalla memilih duduk di ruang pertemuan dengan kursi kulit warna pastel. Di sebelahnya duduk Solichin Kalla, putranya, dan sang adik, Achmad Kalla. Duta besar di Moskow Hamid Awaluddin memilih duduk di seberang.
Pesawat kepresidenan? Bukan. Ini jet privat bikinan Boeing jenis 737-700, milik Aburizal ”Ical” Bakrie, mantan chairman Kelompok Bakrie yang kini menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Pesawat yang mampu terbang hingga ketinggian 41 ribu kaki ini harganya US$ 47 juta atau sekitar Rp 446 miliar—bisa ditukar dengan 200-an tipe gres mobil Range-Rover. Di luar awak pesawat, jet ini cuma dinaiki 15 orang. Karena dipinjami, ”Kami tanggung bahan bakar, logistik, dan ground handling,” ujar seorang staf Kalla.
Kalla memilih pesawat ”pinjaman” ini karena jadwalnya yang padat. Garuda? Maaf, hingga kini masih ditolak terbang di langit Uni Eropa, sehingga Presiden Yudhoyono pun semenjak pelarangan itu belum pernah singgah ke Eropa. BBJ ini bebas terbang ke seantero jagat, karena dia bukan didaftarkan di Indonesia, melainkan di Kepulauan Bermuda. Di pesawat, Kalla dan istri dikawal seorang perwira tinggi (biasanya belasan petugas), seorang dokter, dua ajudan, sekretaris, dan kepala protokol negara.
Pramugari menyuguhkan nasi buras, penganan khas Makassar, dengan abon ayam dan balado. Setelah makan, Kalla, yang kala itu hanya mengenakan sweater biru dan kaus hijau bergaris-garis lengan panjang, membaca sejumlah majalah, juga buku Alan Greenspan. Ia lalu bicara tentang krisis ekonomi global, rencana kedatangan Wali Nanggroe Hasan Tiro, hingga prospek perolehan suara Partai Golkar yang dipimpinnya. ”Saya yakin, kami bisa mendapat 30 persen suara,” katanya, mantap.
Dari atas langit perbatasan Yunani dan Turki, kepala protokol negara Lutfi Rauf berteriak, ”Subhanallah, lihat itu begitu indahnya, seperti hamparan hambal putih.” Pramugari yang berseragam biru gelap menawarkan makanan pembuka sup lobster (rasanya, mengutip kuliner Bondan Winarno, mak nyus), atau sup tomyam yang bumbunya lumayan nendang. Sekretaris Wakil Presiden Tursandi Alwi memilih mi rebus. Solichin Kalla tampaknya asyik melahap menu ayam Afrika yang dibeli di Paris.
Di tengah perjalanan, Farid Husain, Direktur Jenderal Pelayanan Medik, yang pernah menjadi juru runding dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, pada 2005, minta diputarkan film. Solichin lalu menggelar koleksi DVD-nya, dia ambil film Vote for Dobbs yang dibintangi Robin Williams, dan Vantage Point dengan aktor Dennis Quaid. Keduanya bercerita tentang gempita kampanye dan rencana pembunuhan Presiden Amerika Serikat.
Kalla tiba di Paris, Kamis dua pekan lalu, setelah terbang 16 jam dengan pesawat khusus ini dari Jakarta—dan transit sejam di Dubai, Uni Emirat Arab, untuk mengisi bahan bakar. Setibanya di Hotel Hilton Arc de Triomphe, yang tak jauh dari pusat pelesiran Champ d’Elyssee, dia bukannya beristirahat, tapi mengajak minum kopi sejumlah wartawan. Ia membaca ulang naskah pidatonya yang dikonsep di pesawat. Sesekali tawanya meledak ketika mendengar kisah rombongannya—termasuk wartawan—yang semalam dirampok di jalanan gelap dekat hotel.
Pidato itu untuk menghormati karibnya, Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia. Ahtisaari menerima anugerah perdamaian The Felix Houphouet-Boigny, di kantor pusat Unesco, di ibu kota Prancis. Ia dinilai berjasa dalam menggagas perdamaian dunia, ketika sukses menjembatani konflik laten di Namibia, Indonesia, dan negeri Balkan. ”Presiden Ahtisaari sudah menjadi bagian dari sejarah Republik,” kata Kalla. Berkat peran Ahtisaari, di Helsinki, pada 2005, diteken nota perdamaian yang mengakhiri konflik di Aceh selama 30 tahun (lihat Internasional, Nobel untuk Sang Penengah).
Acara yang berakhir menjelang petang itu diselingi persembahan mini-orchestra dan resital piano.
Rombongan balik ke hotel, rileks sejenak. Lalu berangkat lagi ke Wisma Duta untuk halal bi halal dengan masyarakat Indonesia di Prancis. Tapi Kalla datang terlambat setengah jam, karena tertidur. ”Bapak kecapekan,” kata stafnya. Setelah berpidato ihwal situasi mutakhir di Tanah Air, dari soal isu keamanan hingga pendidikan, Kalla memberikan kesempatan berdialog. Dari tiga orang yang bertanya, dua di antaranya siap mendukung Kalla maju sebagai presiden mendatang. Kalla tak mau merespons pertanyaan sensitif ini.
Keesokan paginya, semua wartawan diajak sarapan bareng. Diskusi bertolak dari soal krisis global dan dampaknya bagi sektor usaha di Indonesia. Seorang staf protokol mengingatkan jadwal berikut: menerima para CEO dari Total, Eramet, Vicat, dan Alstom yang beroperasi di Indonesia. Sejam kemudian Kalla kedatangan Menteri Luar Negeri Prancis, Bernard Kouchner, yang mengajak bicara tentang hubungan bilateral, terorisme, Islam garis keras, dan larangan terbang ke Uni Eropa. ”Menteri Kouchner berjanji akan menyelesaikan kajian larangan terbang itu pada akhir Oktober ini,” kata Kalla. Janji itu diberikan setelah Kalla pasang taktik: sejumlah maskapai penerbangan hendak membeli Airbus tapi terkendala larangan ini.
TAK terasa saatnya transit di Dubai, untuk mengisi bahan bakar. Rombongan turun sejenak menghirup udara segar di ruangan khusus setelah dijemput dua limusin putih. Nyonya Mufidah dan sejumlah ibu-ibu memilih belanja singkat di bandara internasional yang bertabur cahaya lampu dengan sederet gerai yang menawarkan pelbagai barang bermerek itu. Kalla masuk ke toko buku, lalu ngopi di coffee shop, sambil menunggu ibu-ibu. Sembilan puluh menit di sini, balik lagi ke pesawat.
Langit pun gelap, seluruh penumpang mulai ancang-ancang untuk tidur, setelah makan malam dengan pilihan menu Eropa dan Asia. Wakil Presiden sempat meledek Hamid, yang agak flu, ”agar jangan membawa sendok-garpu yang mewah ini”. Yang diledek terbahak. Ia lalu memasuki kamar khusus di sisi belakang. Solichin, Achmad, Hamid, Farid, terlelap di kursi masing-masing, yang bisa disetel untuk berselonjor dengan selimut tebal.
Sekretaris Tursandi tak beranjak. Dia sembujur di sofa empuk di ruangan tengah, sedangkan kepala protokol Lutfi Rauf tak tampak. Oh, rupanya dia betul-betul ”mengamankan” bos besar, tertidur di lantai koridor di depan kamar Kalla. Di tengah malam, kucoba masuk ke toilet, wuihhh, semua panelnya berlapis warna kayu alam, dan sejumlah perabotnya disepuh emas. Handuk tebal, tisu wangi, parfum, eau de toilette, alat cukur, lengkap. Shower-nya pun memuncratkan air kencang banget.
Begitu mentari pagi menembus pesawat, semua penumpang langsung terjaga. ”Ayo, Dik, cepat suguhkan sarapan, waktu kita tinggal sedikit,” ujar Capt. Kabul Riswanto, yang mengepalai awak pesawat. Banyak yang memilih sarapan mi rebus atau telor dadar dan sosis. Kalla kembali membuka corat-coretannya tentang krisis global yang siap ”untuk dijadikan bahan ceramah”. Sejam sebelum mendarat, di pesawat, ajudan menelepon ke Makassar, mengabarkan acara tambahan: sebelum open-house, mampir ke lapangan Karebosi.
Dokter memeriksa tensinya. ”Alhamdulillah, normal,” katanya tersenyum, seraya mengenakan hem batik kemerahan. Nyonya Mufidah sudah siap dengan busana muslim merah marun. Selimut dibereskan, jas dikembalikan, dan sandal tidur dikumpulkan. Tepat pada jam yang dijadwalkan, pesawat mendarat mulus di Lapangan Udara Sultan Hasanuddin, Makassar. Iring-iringan mobil dan bus rombongan lalu meninggalkan pelataran bandara dengan jet supermahal yang sepertinya minta ditumpangi lagi.
Wahyu Muryadi (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo