Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA kali gagal ikut pemilihan umum sebagai calon anggota legislatif tak membuat La Ode Ota kapok. Tahun ini ia maju lagi dengan target semakin tinggi: duduk di Senayan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan daerah pemilihan Sulawesi Tenggara.
Pada 2004, laki-laki 50 tahun ini maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Gagal. Lima tahun berikutnya, ia berkampanye untuk pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara. Tak lolos. "Menjadi anggota legislatif itu cara langsung mengeksekusi kebijakan," katanya dua pekan lalu.
Selama 17 tahun, Ota malang-melintang dalam advokasi petani, nelayan, hingga orang pesisir dalam konflik lahan dan permukiman. Lulus dari Teknik Elektro Universitas Muslim Makassar, ia mendirikan Yayasan Swadaya Masyarakat Indonesia di kota kelahirannya, Raha, ibu kota Kabupaten Muna. Di yayasan yang menginduk ke Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ini, Ota melakukan pendampingan petani.
Pada 2000, orang Pulau Tobea di Muna menolak perpanjangan izin PT Tobea. Selama enam bulan, ribuan orang Tobea berdemo menentang perpanjangan hak guna usaha perusahaan perkebunan yang mereka nilai telah merusak pulau itu ke kantor pemerintah setempat. "Ota yang mengorganisasi masyarakat di sini," ujar La Ode Muhammad Handra, warga Tobea. Tuntutan itu dikabulkan dan perusahaan angkat kaki dari pulau.
Dua tahun berikutnya, 1.300 keluarga di Kecamatan Kontu terancam digusur karena pemerintah menilai mereka bermukim di kawasan hutan lindung Jompi. Masyarakat Kontu menolak pemindahan itu karena mencurigai pemerintah daerah mengusir mereka untuk mendapatkan uang proyek rehabilitasi lahan dan hutan dari pemerintah pusat. Ota tinggal di antara warga Jompi hingga pemindahan itu dibatalkan pemerintah.
Selain aktif di daratan, Ota terjun ke perairan, ke daerah pesisir, menengahi konflik warga daratan dengan suku Bajo. Orang Bajo berasal dari perairan Sulu di Filipina yang hidup nomaden di lautan. Di Sulawesi, mereka tersebar dari Wakatobi di selatan hingga Kepulauan Togean di Sulawesi Tengah. "Di sini orang Bajo masih dianggap masyarakat kelas dua," ucap Ota.
Ota membujuk orang-orang Bajo tinggal menetap di gigir-gigir pantai. Soalnya, kata dia, meski nomaden, suku Bajo punya hak pilih juga karena mereka sudah menjadi warga negara Indonesia akibat kawin-mawin dengan orang darat. Upayanya membuahkan hasil: orang Bajo di Muna mulai menetap dan membangun permukiman di perairan dangkal serta hidup menyatu dengan warga pesisir.
Aktivitas membela orang-orang pinggiran itu membuat Ota populer di Sulawesi Tenggara. Pada 2002, ia menjadi Direktur Walhi dan menjadi anggota PDI Perjuangan pada 2004. Alasannya masuk partai, menurut dia, untuk lebih efektif menjembatani kepentingan masyarakat yang ia advokasi dengan eksekutor kebijakan di pemerintahan ataupun dewan perwakilan. Ia berkawan dengan Ketua PDI Perjuangan Sulawesi Tenggara Rivai Pidansa, yang mengajaknya masuk partai.
Tahun lalu Bupati Wakatobi Hugua mengangkatnya sebagai staf ahli. Waktu itu Hugua menggantikan Rivai di partai. Dengan gaji Rp 1,8 juta per bulan, Ota keluar dari Walhi tanpa memutuskan koneksi dengan teman-temannya di jaringan organisasi swadaya. Karena itu, ketika ia mundur sebagai staf ahli dan mencalonkan diri menjadi legislator nasional, dukungan dan bantuan mengalir ke sakunya.
Ota kini punya uang Rp 100 juta dari hasil saweran teman-temannya, plus honor sebagai pembicara seminar lingkungan, ditambah penghasilan istrinya menjual pakaian bekas di rumahnya di Kompleks BTN Kendari Permai di ibu kota Sulawesi Tenggara itu. "Saya tak punya tim sukses," katanya. "Hanya teman-teman ini yang membantu saya di lapangan."
Ota tak membuat spanduk, poster, ataupun kaus untuk kampanye. Uang saweran ia pakai untuk transpor relawannya dan mencetak kartu nama yang dibagikan ke sesama aktivis Walhi. Seperti pada 9 Maret lalu, ia bertandang ke bekas kantornya. "Saya ke sini untuk meminta saran teman-teman," ujarnya. Secara bergantian, sambil menghidu kopi, aktivis Walhi memberi petuah tentang strategi kampanye selama dua jam.
Di kartu itu, selain menuliskan namanya serta mencantumkan nomor urut 3 dan gambar partai, Ota menuliskan tiga hak warga negara: mendapat rumah layak, santunan kecelakaan lalu lintas, dan pengobatan gratis. Tiga isu ini ia percaya bisa menarik simpati masyarakat yang belum mengenalnya. Untuk menyiasati jangkauan "tim"-nya yang terbatas, Ota mengumpulkan nomor telepon seluler calon pemilihnya.
Sudah ada 21 ribu nomor telepon yang ia kirim pesan pendek untuk mengkampanyekan diri dan menyampaikan program-programnya jika kelak terpilih ke Senayan. Di Sulawesi Tenggara, Ota harus bersaing dengan 59 calon legislator dari sebelas partai lain untuk memperebutkan lima kursi dari provinsi ini. "Kami mendukung dia agar masyarakat di sini punya akses ke penentu kebijakan nasional," kata Hartono, bekas Direktur Walhi Sulawesi Tenggara.
Jika terpilih, apakah Anda akan mencari proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara?
Tidak. Anggota DPR itu kan ada gajinya.
Bagaimana jika partai meminta?
Saya masuk partai sebagai alat perjuangan, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Bagaimana jika kebijakan partai Anda bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, antikorupsi, dan lingkungan?
Jika mengabaikan aspirasi masyarakat, saya akan keluar dari DPR dan partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo