Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tangan Terakhir Penjaga KPK

Tanpa setahu komisioner KPK, sejumlah pegawai komisi antikorupsi menyusun strategi melawan angket DPR. KPK bukan bagian dari pemerintah.

17 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA bulan puasa lalu, sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi tak segera pulang selepas jam kerja. Setelah salat tarawih, mereka berkumpul membicarakan rencana anggota Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Panitia Angket untuk menyelidiki kerja lembaga mereka.

Penyelidikan DPR itu bertujuan merevisi Undang-Undang KPK, terutama tentang fungsi penyadapan yang acap menjadi senjata penyidik menangkap pelaku transaksi korupsi. "Bulan puasa itu bulannya berjihad," kata Lakso Anindito, pegawai Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK, pada Kamis pekan lalu.

Menurut Lakso, sejumlah pegawai KPK resah lantaran manuver Panitia Angket itu menyangkut jantung kerja lembaga mereka. Misalnya, Panitia Angket berniat menghadirkan Miryam S. Haryani, politikus Partai Hanura, yang menjadi tersangka keterangan palsu dalam korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

Kehadiran Miryam akan mengganggu kerja penyidik karena mereka sedang meneliti keterangan palsu dia, yang mengaku ditekan penyidik saat menyebutkan banyak koleganya terlibat korupsi proyek senilai Rp 5,9 triliun itu. "Ini berpotensi mengintervensi penanganan perkara," ujar Lakso.

Diskusi para pegawai itu digelar di sebuah ruangan di Gedung Merah Putih--gedung baru KPK di kawasan Kuningan, Jakarta. Obrolan itu diikuti sejumlah anggota Wadah Pegawai KPK--organisasi pegawai KPK di luar struktur resmi lembaga, yang cenderung mirip serikat pekerja. Kelima komisioner KPK pun tak mengetahui kegiatan ini.

Pada pertengahan Ramadan, diskusi mengerucut pada rencana pengajuan uji materi Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah--jamak disebut Undang-Undang MD3--ke Mahkamah Konstitusi. Pasal itu memberikan hak kepada DPR untuk menyelidiki kebijakan pemerintah.

Masalahnya, menurut Lakso, lembaganya tidak masuk obyek angket seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang MD3. Dalam penjelasan pasal itu, disebutkan dengan jelas bahwa kebijakan yang dipersoalkan DPR ini "dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian". "KPK adalah lembaga negara independen," kata Lakso.

Mahkamah Konstitusi masih belum membuat putusan atas pengajuan uji materi tersebut. Di luar pengadilan, para pakar hukum terbelah: ada yang bersuara sama dengan para pegawai itu dan tak sedikit yang mendukung DPR membentuk panitia angket yang dipimpin Agun Gunandjar, politikus Golkar yang sempat diperiksa KPK dalam korupsi KTP elektronik.

Pemicu angket adalah pengakuan Miryam Haryani, yang mencabut keterangannya di pengadilan tentang aliran uang proyek e-KTP ke DPR. Penyidik KPK, Novel Baswedan, kemudian bersaksi di pengadilan mematahkan keterangan Miryam. Pada 30 Maret lalu, Novel mengatakan, dalam pemeriksaan, justru Miryam mengaku ditekan koleganya di DPR agar tak menyebut nama mereka di depan penyidik. KPK memiliki rekaman saat Miryam mengatakan pengakuan itu.

Rekaman inilah yang diminta Komisi III DPR, yang membidangi hukum, dibuka di depan anggota Dewan dalam rapat dengan KPK pada pertengahan April lalu. KPK menolaknya lantaran materi pemeriksaan hanya bisa dibuka di pengadilan. Ini yang membuat DPR murka dan mulai bermanuver menggulirkan angket.

Setelah tarik-ulur di antara para politikus yang pro dan kontra, DPR memutuskan membentuk panitia dalam sidang paripurna pada April lalu. Komisi antikorupsi pun mengirimkan surat ke Panitia Angket tak akan datang bila dipanggil.

Dukungan ke KPK mengalir deras, antara lain dari ratusan guru besar dan ahli hukum tata negara, termasuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md. "Dukungan ini semakin menguatkan rencana uji materi," ujar Lakso.

Menjelang Lebaran, tim kecil Wadah Pegawai KPK bertemu dua kali untuk mematangkan gugatan. Setelah libur Lebaran, mereka melakukan rapat lagi tiga kali, antara lain membahas posisi hukum pemohon uji materi. Feri Amsari dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas dimintai pendapat mengenai hal tersebut. "Pemohon yang paling pas memang pegawai KPK karena mereka yang merasakan sendiri akibat pemakaian angket itu," kata Feri.

Maka, pada Kamis pekan lalu, Lakso dan empat pegawai KPK mendaftar gugatan ke Mahkamah Konstitusi. "Kami mendaftar sebagai warga negara pembayar pajak, yang kebetulan pegawai KPK," ujarnya. Ketua dan empat wakil ketua KPK mengetahui anak buahnya hendak mendaftarkan gugatan karena menerima surat pemberitahuan dari Wadah Pegawai KPK. "Silakan saja. Ini berguna untuk memperjelas kedudukan KPK," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.

Penggunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK juga digugat Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), perkumpulan yang dimotori sejumlah mahasiswa dan praktisi hukum. FKHK mendaftarkan permohonan pada 20 Juni lalu. Sebagaimana pegawai KPK, mereka menguji Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang MD3.

Menurut pengacara FKHK, Victor Santoso Tandiasa, KPK adalah komisi negara independen yang bertanggung jawab kepada publik, bukan kepada presiden atau DPR. Hal tersebut ditulis dengan jelas dalam Pasal 3 dan Pasal 20 Undang-Undang KPK. "KPK bukan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif sehingga bukan obyek hak angket," ujar Victor.

Menurut Victor, anggapan DPR bahwa KPK bagian dari pemerintah adalah pandangan keliru karena sistem kenegaraan modern tidak lagi menganut trias politica Montesquieu, yang terdiri atas kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di banyak negara, ada komisi-komisi independen di luar tiga cabang kekuasaan tersebut, yang dianggap sebagai cabang kekuasaan tersendiri.

Victor berharap Mahkamah Konstitusi secepatnya memutus perkara sebelum masa kerja Panitia Angket berakhir. Menurut aturan, Panitia Angket bekerja selama 60 hari dan masa kerjanya bisa diperpanjang. Victor khawatir putusan Mahkamah keluar setelah Panitia Angket merampungkan pekerjaannya dan membuat rekomendasi yang disahkan rapat paripurna DPR.

Masalahnya, rekomendasi Panitia Angket bisa liar. Suara-suara untuk membubarkan KPK sudah berdengung di Senayan. Menurut Feri Amsari, bukan tidak mungkin rekomendasi DPR berisi desakan kepada presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang pembubaran KPK. "KPK tak bisa dibubarkan oleh DPR saja atau pemerintah saja, tapi oleh kesepakatan keduanya," ujar Feri.

Kalaupun tak membubarkan, sejumlah politikus berniat mengurangi kewenangan KPK dengan cara merevisi undang-undangnya. Ini pun tak akan berjalan tanpa persetujuan pemerintah. Karena itu, kata Feri, Presiden Joko Widodo akan menjadi penjaga gerbang terakhir keberlangsungan KPK. "Kalau Presiden setuju dengan keinginan DPR, itulah akhir KPK," ujarnya.

Juru bicara Presiden, Johan Budi Sapto Pribowo, memastikan Jokowi akan menolak rekomendasi Panitia Angket yang merugikan KPK. "Kalau rekomendasinya membubarkan KPK, Presiden Jokowi pasti tidak mau. Presiden inginnya KPK diperkuat, bukan dilemahkan. Konkret," katanya.

Anton Septian, Istman Musaharun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus