Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAWARAN tinggi penggilingan tak membuat Wartono tertarik. Meski gabahnya ditawar Rp 2.000 per kilogram, petani padi di Desa Tanjung Mulia, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, itu lebih suka menyimpan gabahnya untuk keperluan makan tujuh anggota keluarganya.
Produksi gabahnya memang tak banyak: hanya dua ton dari lahan seluas sepertiga hektare miliknya. Ia pun telah berhitung, jika dipotong biaya produksi Rp 2,4 juta per hektare, dengan harga jual gabah Rp 2.000 per kilogram, pendapatan bersih yang diperolehnya hanya Rp 1,6 juta.
Padahal, harga beras di pasar terus merambat naik hingga Rp 4.000 per kilogram. Karena itu, ketimbang menjual gabah dan harus membeli lagi beras dengan harga selangit, lebih baik gabah itu disimpan. Untuk menutup pengeluaran rumah tangga, sehari-hari Wartono bekerja di sebuah pabrik kayu. ”Sawah hanya saya kerjakan kalau ada waktu luang.”
Keluarga Wartono adalah potret keluarga petani gurem seperti disebutkan dalam Sensus Pertanian 2003. Keluarga petani jenis ini hanya memiliki setengah hektare lahan sawah. Jumlahnya terus membesar 2,4 persen per tahun. Dari 10,8 juta keluarga pada 1993 menjadi 13,7 juta keluarga satu dekade kemudian.
Sensus itu juga menemukan jumlah rumah tangga pertanian (padi, hortikultura, budidaya ikan, dan perkebunan) tumbuh 2,1 persen per tahun. Dari 20,8 juta pada 1993 menjadi 25,6 juta pada 2003—setara dengan 48,6 persen dari total rumah tangga nasional.
Hasil analisis Badan Pusat Statistik menyebutkan, selama 10 tahun terakhir, kehidupan petani memburuk karena semakin banyak rumah tangga pertanian yang menguasai lahan sempit. Peningkatan ini diduga karena budaya pewarisan lahan keluarga.
Ketua Umum Kelompok Tani dan Nelayan Andalan, Winarno Tohir, mencoba memberi jalan keluar. Menurut dia, petani yang memiliki lahan di bawah setengah hektare tak perlu mengolah sendiri lahannya. Cukup diserahkan kepada koperasi tani untuk dikelola dengan pola bagi hasil. ”Pola ini sudah jamak dilakukan petani di Jepang,” katanya.
Jalan keluar lainnya adalah mengganti tanaman padi dengan bawang, cabe, atau bunga-bungaan. Masalahnya, tingkat pengetahuan petani masih rendah. Untuk itu, perlu dihidupkan kembali tenaga penyuluh pertanian yang selama ini mati suri. ”Mudah-mudahan Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian bisa segera disahkan,” kata Winarno. Mudah-mudahan.
Efri Ritonga, Bambang Soedjiartono, Hambali Batubara (Deli Serdang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo