Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAUT wajah Haji Inen, 58 tahun, tampak sumringah. Petani di Desa Cengkong, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, itu tak henti menebar senyum menyaksikan para buruh tani menuai padi di lahan tadah hujan miliknya.
Dua tengkulak yang sudah bersiap di sana untuk memborong hasil panennya pun menawarkan harga cukup tinggi: Rp 2.250 per kilogram gabah kering panen. Inen patut bergembira: harga ini jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 1.730 per kilogram. Apalagi jika dibandingkan dengan harga tahun lalu, yang hanya Rp 1.400 per kilogram.
Panen sawah Inen terbilang bagus: lima ton gabah per hektare—sedikit di atas rata-rata nasional 4,5 ton per hektare. Karena itu, dengan lahan seluas 1,5 hektare miliknya, pada musim panen kali ini Inen berhasil meraup Rp 13,5 juta. Itu pun setelah sebagian gabah disisihkan untuk dimakan sendiri.
Berkah kenaikan harga beras selama dua bulan belakangan ini juga dinikmati petani di Desa Karangrejo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Haryanto, petani, mengatakan, dalam sepekan terakhir gabah kering panennya dibeli pedagang dengan harga Rp 1.750-1.800 per kilogram. Padahal, tahun lalu hanya Rp 1.400 per kilogram.
Sawah Haryanto jauh lebih produktif. Itu sebabnya, meski lahan sawahnya hanya satu hektare, dalam sekali musim panen ia bisa menuai delapan ton gabah kering. Total pendapatan yang dikantonginya bisa mencapai Rp 14 juta.
Meski begitu, Inen dan Haryanto menampik jika dikatakan telah berhasil menjaring untung besar, sebab lonjakan biaya produksi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak, 1 Oktober lalu, telah mengikis keuntungan mereka. Karena itu, kata Inen, ”Boro-boro untung, bisa bertanam lagi pada musim tanam berikutnya saja sudah bagus.”
Menurut Inen, ongkos produksi per hektare sawah per musim tanam kini mencapai Rp 5,8 juta. Perinciannya, untuk pupuk Rp 2 juta, pestisida Rp 800 ribu, sewa traktor Rp 600 ribu, sewa pompa air Rp 800 ribu, ongkos tanam Rp 500 ribu, ongkos menyiangi Rp 700 ribu, iuran desa dan pajak Rp 400 ribu. Jumlah ini lebih tinggi ketimbang ongkos produksi sebelumnya, yang hanya Rp 3,5 juta.
Nah, setelah pendapatan itu dikurangi biaya produksi, porsinya tinggal Rp 4,8 juta per musim panen. Karena jarak antarmusim panen memakan waktu empat bulan, dalam sebulan Inen harus puas hanya mengantongi Rp 1,2 juta.
Beruntung Inen punya usaha sampingan bengkel traktor dengan penghasilan Rp 25 ribu per hari. Uang sampingan inilah yang dipakainya menambal kebutuhan hidup istri dan tiga anaknya, yang mencapai Rp 2 juta sebulan.
Dengan penghasilan pas-pasan itu, tiga anak Inen pun hanya bisa bersekolah sampai sekolah dasar. Ongkos naik haji, ”Saya peroleh dari menjual 1,5 hektare sawah,” katanya, tergelak.
Buat Haryanto, petani penyewa, beban yang ditanggungnya jauh lebih berat. Pendapatannya terkuras untuk biaya sewa lahan, yang mencapai Rp 9 juta per hektare per tahun. Jika ditambah ongkos garap berupa pembelian pupuk, bibit, pestisida, dan upah buruh sekitar Rp 2 juta, maka pada musim tanam kali ini ia hanya mendapat keuntungan Rp 3 juta.
Untuk mencukupi keperluan istri dan dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, di sela-sela musim tanam padi Haryanto bertanam jagung. Pendapatannya tidak jelek: Rp 10 juta per tahun. Dari pekerjaannya bertani, dia pun masih bisa membangun rumah papan berukuran 24 meter persegi.
Nasib Inen dan Haryanto, sesungguhnya, masih lebih baik ketimbang yang dialami Parikun, petani di Desa Klambu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Di desa ini, petani belum mencicipi lezatnya kenaikan harga beras. ”Panen masih dua pekan lagi,” ujarnya.
Karena itu, Parikun sangat berharap harga beras yang tinggi bisa bertahan hingga panen raya pada Februari mendatang. Sebab, kalau harga beras kembali merosot di bawah Rp 3.000 per kilogram, pupus sudah kesempatannya menyewa sawah lagi. ”Saya akan kembali menjadi buruh tani, seperti empat tahun lalu,” katanya.
Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir, membenarkan bahwa kenaikan harga beras hanya dinikmati sebagian kecil petani yang sudah panen pada Januari. Keuntungan terbesar justru ada di pedagang beras. ”Stok di petani sudah sangat tipis,” ujarnya.
Ia pun khawatir kenaikan ini tidak bertahan lama. Sebab, biasanya pada musim panen raya (Maret, April, dan Mei) harga gabah anjlok. Apalagi kalau hujan masih mengguyur pada saat panen, yang membuat gabah sulit kering.
Untuk mencegah penurunan harga, Winarno mendesak pemerintah, melalui Perusahaan Umum Bulog, menjaga harga beras petani tetap di atas HPP. Dia juga mengusulkan Bulog menaikkan target pembelian beras tahun ini, dari 2,1 juta ton menjadi 3,2 juta ton. Jumlah ini sekitar 10 persen dari produksi nasional 2005.
Menteri Pertanian Anton Apriyantono menuturkan, keuntungan yang diperoleh petani sebenarnya bisa lebih baik jika kenaikan HPP gabah dan beras dilakukan pada 1 Oktober tahun lalu. Pada masa itu, petani baru selesai panen. Karena terhambat mekanisme anggaran negara, akhirnya diputuskan HPP hasil revisi baru diberlakukan 1 Januari.
Untuk menjaga harga beras tidak anjlok, Anton menyatakan, Departemen yang dipimpinnya telah menyiapkan empat langkah. Pertama, mempercepat pengadaan alat pascapanen, seperti pengering dan perontok gabah. Kedua, meminta Bulog bekerja maksimal menyerap gabah dari dalam negeri. Ketiga, memperkuat Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan. Keempat, melibatkan lembaga swadaya masyarakat dan kelompok tani untuk memantau harga, selain juga menjadi penghubung antara petani dan pembeli.
Efri Ritonga, Bandelan Amarudin (Grobogan), Nanang Sutisna (Karawang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo