Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CITA-CITA Menteri Pertanian Anton Apriyantono, 47 tahun, boleh juga: memperbaiki kehidupan petani Indonesia. Impian itu dibawanya begitu ia diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Begitu berkantor di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, dosen pascasarjana ilmu pangan Institut Pertanian Bogor ini membentangkan konsep membenahi kesejahteraan petani.
Dari soal diversifikasi usaha pertanian sampai keinginannya melakukan swasembada beras. Harga gabah dinaikkan, benih dan pupuk juga disubsidi. Menteri Anton mengharamkan impor beras. ”Swasembada beras bisa dilakukan dalam tahun-tahun ini,” katanya kepada Tempo, tahun silam.
Tapi beratnya situasi ekonomi setelah kenaikan bahan bakar minyak membuat Anton harus menelan pil pahit: harga gabah anjlok, hama penyakit tanaman dan bencana alam. Yang bikin guru besar Fakultas Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor ini nelangsa adalah pilihan menyetujui rencana impor beras karena stok beras dalam negeri tak mencukupi.
Anton enggan menyetujui pilihan itu, tapi ia menggenggam buah simalakama: dengan impor, petani rugi; tanpa impor, harga beras naik dan cadangan nasional tak cukup. Padahal, petani juga membeli beras karena produksinya tak cukup untuk dimakan sendiri.
Apa boleh buat, sebagai Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan, Menteri Anton tak bisa berkata lain. Keputusan impor dianggap jalan terbaik. Akibatnya, ia remuk redam: kebijakan itu menuai protes, termasuk dari Partai Keadilan Sejahtera, partai yang merekomendasikan dirinya menjadi menteri.
Kamis pekan lalu, sepulang seminar flu burung di Beijing, Cina, Anton menerima Arif Zulkifli, Metta Dharmasaputra, Widiarsi Agustina, dan Efri Ritonga dari Tempo untuk sebuah wawancara khusus.
Mengapa pembahasan soal impor beras berujung kisruh?
Ada berbagai faktor penyebab. Ada kesimpangsiuran dan kekeliruan memahami data. Juga, ada ketidakpercayaan dan politisasi. Semua faktor menyatu sehingga masalahnya jadi kompleks. Data produksi, misalnya, dari dulu tak ada perbedaan. Sumbernya sama, Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS mendapatkan data itu dari mantri pertanian dan mantri statistik. Mantri pertanian bertanggung jawab melaporkan areal yang ditanami tahun itu, mantri statistik melakukan sampling dan menghitung produktivitas; lalu dievaluasi per kuartal dan lahirlah angka ramalan.
Dalam rapat dengan Wakil Presiden, Departemen Pertanian menyatakan surplus beras 2-3 juta ton, sebaliknya BPS dan Bulog menyatakan defisit?
Yang sering diperdebatkan itu data konsumsi. Itu pun belakangan terjadi pada Juni 2005, saat kita mau memutuskan impor atau tidak. Biasanya, kami melakukan evaluasi tiap enam bulan, yakni pada Desember dan Juni. Pada Juni 2005, kami putuskan tak ada impor karena data menunjukkan produksi berlebih.
Kisruh mulai terjadi September, saat rapat di kantor Wapres. Saya tak hadir dan diwakilkan pejabat eselon satu. Dalam rapat itu, Bulog menyebut kita kekurangan 650 ribu ton beras pada 2005 sehingga perlu impor 250 ribu ton. Datanya dari BPS. Kami tak bisa menerima begitu saja. Saya minta BPS menjelaskan data itu. Ternyata itu hasil Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) dengan sejumlah asumsi. Akhirnya, waktu rapat dengar pendapat di DPR yang juga dihadiri Bulog dan BPS, terlihat ketidaksinkronan data. Karena itu diputuskan, data itu akan dibereskan Dewan Ketahanan Pangan.
Lalu?
Dewan Ketahanan Pangan melalui kelompok ahlinya mengkaji data-data itu. BPS juga bikin kajian. Mereka berdebat panjang sampai akhirnya sepakat data baru dengan sejumlah catatan: asumsi yang dipakai masih didasarkan hasil survei 1996. Misalnya, susut beras lima persen. Ini aneh, kok beras kok bisa susut sebanyak itu? Kalau gabah susut menjadi beras bisa karena tercecer. Tapi, okelah, akhirnya ada data baru yang disepakati. Tahun 2005, ada defisit 25 ribu ton.
Kabarnya, asumsi yang diajukan dalam data BPS itu sudah diperbaiki tahun 2004, bukan lagi tahun 1996?
Nggak, asumsi susut lima persen itu masih dari hasil survei 1996.
Yang dipersoalkan kan angka konsumsi langsung? Berapa persisnya konsumsi beras per orang?
Tak ada angka pasti, tapi sekarang yang dipakai angka Susenas. Kalau angka konsumsi langsung yang dihitung Deptan, kecenderungannya memang turun, karena sudah banyak jenis makanan lain pengganti beras.
Apa yang terjadi dalam rapat itu kemudian?
Tetap diputuskan impor beras.
Sikap Departemen Pertanian?
Kami hanya menyampaikan keberatan. Rapat terakhir di Menko Perekonomian sebelum 1 November 2005 membicarakan soal teknis. Semua melihat data harga dan stok Bulog. Saat itu, harga di atas Rp 3.500 dan stok Bulog pada akhir Desember di bawah 1 juta ton.
Begitu melihat data itu, saya nyatakan tak tepat langsung memutuskan impor. Kami keberatan dari sisi harga dan kualitas. Di beberapa daerah, beras yang diimpor bukan kualitas menengah. Soal harga, perhitungan kami Rp 3.444, sementara dari BPS Rp 3.565. Karena lebih dari Rp 3.500, seharusnya dilakukan operasi pasar dulu. Nah, keberatan ini kami sampaikan secara tertulis. Tapi sepertinya tak dipertimbangkan sehingga keluarlah izin itu.
Anda ditekan agar satu suara?
Saya tak merasa ada tekanan dari mana pun.
Anda menyerah—lebih baik menerima daripada berpolemik panjang?
Nggak juga. Kalaupun kami berpolemik, apa dasarnya? Kajian kami punya keterbatasan. Survei data baru juga belum dilakukan. Jadi, tak ada alasan untuk tak sepakat. Toh, kami juga mengajukan catatan, sebaiknya BPS segera melakukan survei ulang.
Saat rapat dengan Komisi IV DPR, Anda terkesan menolak impor….
Seingat saya, yang saya sampaikan adalah belum saatnya kita impor beras. Kami keberatan karena sejumlah tahapan belum dipenuhi. Misalnya, saya ingin ada operasi pasar dulu supaya harga tak berlebihan. Juga, perlu dicek lagi kualitas beras itu. Apa betul itu masuk kategori menengah? Tapi saya juga menyampaikan kalau bisa memahami rencana impor beras kalau alasannya demi menekan inflasi. Itu yang kemudian saya diserang—katanya, saya menyetujui impor.
Pemerintah mengatakan, stok beras pemerintah (iron stock) sampai 1 juta ton dari Bulog. Dasarnya apa?
Iron stock itu hanya 350 ribu ton saja. Itu milik pemerintah. Sedangkan stok Bulog 1 juta ton. Itu hasil kajian para ahli. Waktu itu stok minimal 750 ribu sampai 1,25 juta ton, jadi ambil tengahnya.
Sudah disetujui pemerintah?
Ya dan sudah dua kali dirapatkan di Menko Perekonomian. Itu rapat terakhir setelah kejadian lolosnya 70 ribu ton impor beras yang izinnya belum keluar. Dari pengalaman itu, kemudian rapat antarmenteri jadi lebih intensif.
Waktu itu, kami melihat pergerakan harga dan situasi pasar. Lalu juga stok Bulog pada Januari. Memang, Januari 2006 situasinya kritis, sementara awal Februari itu baru mau panen. Lalu disepakati: impor diperkenankan jika kondisi mendesak dan ada rekomendasi Ketua Dewan Ketahanan Pangan. Itu sudah dipenuhi. Namun, saya masih mengajukan syarat.
Pertama, sebaiknya tetap diupayakan pembelian beras dari dalam negeri. Usulan disampaikan ke Presiden. Beliau setuju. Kami lalu berusaha memobilisasi beras dalam negeri, tapi tidak tercapai karena harganya melebihi harga pembelian pemerintah (HPP).
Syarat kedua, kalau pemerintah concern impor demi menstabilkan harga, maka pemerintah juga harus all out mengamankan harga agar tak jatuh pada panen raya nanti. Itu juga telah disepakati. Kami sudah menyiapkan strategi pengamanan pada Februari nanti, yang akan dibicarakan dengan Menko Perekonomian, akhir bulan ini.
Jika impor beras dilakukan Januari, bukannya jatuhnya hampir berbarengan dengan panen raya Februari mendatang?
Panen raya mulai akhir Februari. Beras impor ini masuknya Januari, ke daerah-daerah yang defisit dan langsung masuk gudang Bulog, tidak ke pasar. Impor tak berhubungan langsung dengan produksi karena hanya untuk mengendalikan harga. Di samping itu, untuk stok yang sudah mulai menipis mengingat Januari itu akhir masa paceklik.
Banyak daerah yang menolak impor beras. Komentar Anda?
Ini memang kesalahan kami karena sosialisasi masalah ini masih kurang. Tapi, kalaupun ada yang menolak, jika itu dilakukan daerah-daerah surplus, saya kira wajar.
Ada yang bilang, ribut-ribut harga beras sekarang ini tidak relevan karena kenaikan harga tidak dinikmati petani?
Untuk kondisi sekarang, tak sepenuhnya benar. Hanya sebagian petani yang menikmati, sebagian lagi harus membeli beras. Saya akan happy kalau bulan Februari itu harga beras Rp 5.000 per kilogram dan gabah Rp 2.500. Saya akan mati-matian berusaha agar petani betul-betul untung. Konsumen beras sebaiknya tepa selira dengan petani. Masak, petani harus berkorban terus.
Dulu kenaikan harga beras diusulkan per Oktober 2005, tapi baru berlaku Januari 2006. Akibatnya, petani tak bisa menikmati kenaikan itu karena beras sudah ada di tangan pedagang?
Memang, ini juga yang menjadi perdebatan panjang ketika memutuskan kenaikan harga per 1 Oktober 2005. Tapi, begitu masuk ke Departemen Keuangan, ada kesulitan karena ini terkait dengan perubahan APBN yang harus dibahas di DPR. Mekanisme keuangan kita yang njlimet inilah yang sering saya keluhkan.
Menaikkan harga beras bukannya justru memukul konsumen lain, termasuk petani sendiri?
Jangan lupa, pendapatan petani terbesar adalah saat panen. Di luar itu, dari mana petani mendapat penghasilan? Paling dia jadi buruh. Karena itu, saya mati-matian agar bisa all out menjaga harga pada saat panen. Soalnya, itu pendapatan terbesar mereka. Subsidi itu tidak besar. Kontribusi pupuk hanya 13 persen dari ongkos produksi. Benih lebih kecil lagi. Jadi, lebih baik harga tetap dijaga agar tak jatuh saat panen.
Seberapa runyam kisah kisruh antarmenteri ini sehingga Presiden harus turun ke Bulog menyelesaikan masalah ini?
Kami berpikirnya begini, kalau berbicara hitungan ekonomi, semuanya bisa kita pahami. Karena masalah ini sudah melibatkan wilayah politik, sebaiknya Presiden sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan yang memutus kata akhir. Dan itu juga yang diminta DPR. Karena masuk wilayah politik, tentu saja Presiden yang bertanggung jawab.
Sebenarnya bagaimana hubungan Departemen Pertanian dengan Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo?
Secara pribadi nggak ada masalah. Kami baik. Waktu ke Irian saya bareng dengan dia. Tapi secara institusi kami lihat dulu apa masalahnya. Kalau (Bulog) menakut-nakuti sebentar lagi ada El Nino, panen bakal gagal, segala macam, saya tidak akan terima. Datanya dari mana?
Banyak yang menduga, rencana impor beras dipilih karena inilah satu-satunya bisnis Bulog?
Saya nggak tahu dan nggak mau menginterpretasi lebih jauh. Segala sesuatu harus dilihat secara obyektif.
Menurut Anda, harga beras sebaiknya diatur atau dibebaskan sesuai mekanisme pasar saja?
Di negara mana pun, yang namanya lembaga penstabil harga itu tetap perlu. Sekarang tinggal bagaimana memperbaiki kerja Bulog.
Soal hambatan birokrasi, setahun jadi menteri ini, apakah Anda merasa bisa menjangkau aparat Anda di daerah-daerah?
Ini beratnya jadi menteri sekarang. Pemerintah pusat sekarang ini tak punya lagi aparat di daerah. Ini yang sering kali tak dipahami masyarakat. Jadi, Dinas Pertanian di provinsi itu bukan di bawah Departemen Pertanian, tetapi di bawah pemerintah daerah.
Ada yang mbalela?
Nggak sampai mbalela. Tapi kami tak leluasa karena harus koordinasi dengan gubernur dan bupati jika datang ke daerah.
Anda mendukung impor beras, tapi PKS, partai Anda, menyetujui hak angket menentang Presiden. Bagaimana ceritanya?
Ada upaya saling menjelaskan dan memahami posisi masing-masing.
Anda sempat dipanggil Dewan Syuro atau ditegur Presiden PKS?
Nggak sampai ke sanalah. Saya belum pernah ditelepon khusus soal impor beras.
Seberapa mengganggu perbedaan pandangan Anda dengan anggota PKS di parlemen itu?
Perbedaan posisi dan sikap itu pasti terjadi. Tapi kami saling berkomunikasi dan memahami posisi masing-masing. Sebagai pembantu presiden, tentu tak boleh berbeda sikap Presiden. Di lain pihak, saya juga harus memahami sikap mereka dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat.
Anda hadir dalam pertemuan Wakil Presiden dengan anggota parlemen di Hotel Dharmawangsa?
Ya. Di sana Wakil Presiden Jusuf Kalla hanya menjelaskan duduk persoalannya. Semua ini karena kesalahpahaman saja. Begitu dikasih tahu, semuanya ngerti.
Tapi toh besoknya sikap PKS tetap setuju hak angket?
Individu kan bisa berbeda. Ini kan masih proses, belum sampai putusan tingkat tinggi. Nantinya toh masih harus dilihat, apakah hak angket itu memenuhi kriteria atau tidak. Hak angket itu hanya dilakukan kalau ada pelanggaran undang-undang. Dalam hal ini tidak ada pelanggaran undang-undang.
Anton Apriyantono
Tempat & Tanggal Lahir
- Serang, 5 Oktober 1959
Pendidikan
- Sarjana Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), 1978–1982
- Master Ilmu Pangan IPB 1984–1988
- Doktor Kimia Pangan, Universitas Reading, Inggris, 1988–1992
Karier
- Staf pengajar Institut Pertanian Bogor, 1982 sampai sekarang
- Kepala Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan IPB (1994 sampai sekarang)
- Sekretaris Program Studi Ilmu Pangan Pascasarjana IPB (1999–2002)
- Sekretaris Pengembangan Program Studi Ilmu Pangan Pascasarjana IPB (2003 sampai sekarang)
- Menteri Pertanian (2004 sampai sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo