Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Prajurit-prajurit perang

Tokoh-tokoh yang terlibat perang suez: presiden mesir gamal a. nasser. pm inggris anthony eden, pm prancis guy mollet, pm israel ben-gurion, presiden as dwight d. eisenhower & nikita krushchev dari soviet. (sel)

29 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU sebelas tahun Perang Dunia II berakhir, muncul lagi prajurit-prajurit yang perlu dicatat dalam sejarah. Yakni prajurit-prajurit Perang Suez. Mereka memang diingat, sehubungan dengan krisis tersebut, yang waktu itu dikhawatirkan bisa mengawali Perang Dunia III. Donald Neff, koresponden majalah Time, menulis buku tentang mereka, yang terbit pada 1981 berjudul Warriors at Suez. Gamal Abdul Nasser Kolonel yang kemudian menjadi presiden Mesir ini memang pantas dikemukakan sebagai yang pertama. Dialah pangkal soal yang menimbulkan krisis Suez. Tindakannya menasionalisasikan Terusan Suez -- pada tahun keempat masa kepresidenannya -- terhitung sangat berani. Sejak berdiri, pada 1869 -- atas ide konsul Prancis untuk Kerajaan Mesir, Ferdinand de Lesseps -- terusan itu berada di bawah pengelolaan Inggris dan Prancis. Kemudian, awal 1956, suatu tindakan Amerika dan Inggris tampaknya begitu menyinggung harga diri Nasser. Kedua negara besar itu menarik bantuan mereka untuk pembangunan Bendungan Aswan. Padahal, bendungan itu sangat berarti bagi perekonomian negeri baru itu. Nasser, yang diberi tahu lewat telegram, langsung ke pesawat dalam perjalanan pulang dari suatu pembicaraan dengan Presiden Tito di Brioni, marah besar. "Ini serangan untuk pemerintah Mesir, dan undangan bagi rakyat untuk menjatuhkan pemerintahnya," katanya kepada menlunya, Mahmoud Fawzi, dan Wartawan Mohammed Heikal. Esoknya, kata Nasser kepada Heikal, "Mereka menekan kita agar berdamai dengan Israel, agar kita masuk pakta. Pokoknya, mereka mau menanamkan pengaruh di negeri ini. Kita akan membangun bendungan itu dengan kekuatan sendiri." Dalam pembicaraan telepon itulah terbayang sudah dengan cara apa Nasser akan membalas. Beberapa hari kemudian, di depan Dewan Komando Revolusi, Nasser minta pertimbangan bagaimana sebaiknya nasionalisasi Terusan Suez dilakukan. Sebelumnya, ia telah minta informasi kekuatan tentara Inggris yang berada di sekitar Mesir, dan yakin, seandainya Inggris menyerbu Suez, itu gampang dipukul balik. Di hadapan Dewan itulah kebulatan dicapai, yakni bukan separuh tapi sepenuhnya Terusan Suez akan diambil alih. Dalam kesempatan itu pula Nasser -- ia 38 tahun waktu itu -- mengeluarkan amarahnya terhadap Amerika. Jika memang Amerika mau unjuk gigi, katanya, dan memberikan ultimatum ini-itu, "Marahlah sampai mampus, karena kalian tak akan bisa mendikte Mesir." Dan kemudian terjadilah itu: nasionalisasi Terusan Suez, serbuan Israel, pengeboman Port Said, pendudukan kota-kota seputar Terusan. Bila bekas kolonel yang menjatuhkan Raja Farouk ini terkecoh oleh gerakan tentara Israel di Gurun Sinai, itulah karena ia punya obsesi atas infiltrasi Israel pada Jalur Gaza di tahun sebelumnya. Baru setelah bom berjatuhan, ia menyadari serangan tipuan tersebut. Maka, langsung, lewat radio, Nasser memberi komando kepada seluruh rakyat. "Kita akan bertempur mati-matian .... Kita akan bertempur atas nama kehormatan, kebesaran, dan kemerdekaan Mesir. Setiap orang adalah prajurit dari Kesatuan Tentara Kemerdekaan.... Kita berpegang pada semboyan ini: Bertempur terus, pantang menyerah ...." Semboyan itu dikumandangkan kembali oleh rakyat Mesir, ketika Nasser meninjau jalan-jalan sehabis pengeboman -- pengeboman yang tak cuma menghancurkan sasaran militer, tapi juga membawa korban rakyat sipil. Esoknya, Nasser memutuskan hubungan diplomatik dengan Inggris dan Prancis, dan menguasai semua perusahaan minyak Inggris di Mesir. Lalu mengharuskan semua warga negara Inggris dan Prancis mendaftarkan diri ke pemerintah daerah terdekat dalam waktu tiga hari -- yang, konon, berlangsung dengan sopan dan semua pihak saling membantu. Perintah terpenting Nasser adalah untuk menutup Terusan. Cuma, penutupan itu agak terlambat. Kapal-kapal Inggris telanjur masuk. Baru kemudian, kanal itu bisa ditutup dengan cara menenggelamkan 50 kapal di laut yang paling sempit. Akhirnya, memang, sementara kawasan strategis di Sinal dikuasai Israel, 1.100 tentara payung Inggris dan Prancis berhasil mendarat, dan tak lama kemudian 22.000 serdadu yang diangkut dengan 200 kapal perang kedua negara itu pun menduduki Mesir. Kalahkah Nasser? Koran Amerika The New York Times, 17 November 1956, menulis bahwa Nasser "memperoleh kemenangan politik sebagai ganti kekalahan militernya. Kedudukannya di negeri Arab justru makin kuat. Negara-negara Arab siap membantunya. Perimbangan kekuatan politik kini menunjukkan bahwa Inggris dan Prancis kehilangan kawan, kehilangan nama baik." Singkat kata, dunia memihak Mesir. Dan kemudian antara 6 dan 22 Desember dilakukanlah penarikan mundur pasukan pendudukan. Memang, menurut kesaksian seorang tentara Prancis, pendudukan sekitar sebulan itu sempat meninggalkan luka-luka yang biasanya terjadi dalam perang. Penjarahan dan perkosaan tak terhindarkan. Bendungan Aswan, yang merupakan prolog peristiwa, akhirnya selesai dibangun dengan bantuan keuangan dan para ahli Uni Soviet. Yakni pada 1971, setahun setelah Nasser meninggal karena serangan jantung. Sir Anthony Eden MALAM itu di kantor perdana menteri sedang ada jamuan makan malam untuk Raja Faisal dan Perdana Menteri Nuri es-Said dari Irak. Datang pesan dari Departemen Luar Negeri. Maka, Eden, tuan rumah, langsung mengubah acara, buru-buru mengakhiri perjamuan. Tak pelak lagi, itulah berita tentang nasionalisasi Terusan Suez. Sebelum acara bubar, PM Irak masih sempat menyatakan kemarahannya. Mengapa ia tak diberi tahu Nasser? "Serang saja dia, serang saja, dan sekarang," begitu dilaporkan. Ketika keluar dari gedung di Downing Street 10, London, mereka melewati patung dada Benyamin Disraeli, PM Inggris yang bertanggung jawab atas pembelian saham Terusan Suez dari penguasa Mesir pada 1875. Ketika itulah Said nyeletuk, "Yahudi tua itulah yang menimbulkan persoalan bagi Anda sekarang." Tak ada komentar dari Eden, veteran Perang Dunia I yang dikenal cermat dan jelas berbicara tapi kurang brilyan. Malam itu pula Eden mengumpulkan sejumlah menterinya, mengundang pula duta besar Prancis dan Amerika Serikat. Akhirnya, Eden memutuskan, "Orang Mesir telah meletakkan empu jari mereka pada tenggorokan kita.... Saya ingin merebut dan menguasai kembali terusan itu." Kebetulan, hubungan antara Nasser dan Eden memang buruk. Malam itu pula disinggung kemungkinan serangan militer. Komandan angkatan bersenjata Inggris di Mediterania, diminta siap siaga. Di Inggris, langsung saja Nasser disamakan dengan Hitler yang tentulah belum lama dilupakan orang. Tapi Eden, seorang yang suka pada detail, tak gegabah langsung memberi komando. Ia tahu, kekuatan Inggris di Timur Tengah tak seberapa. Diperlukan waktu mempersiapkan satu serangan terhadap Mesir. Perkembangan berlangsung cepat. Prancis dan Inggris bereaksi keras, dan siap melakukan serangan militer. Menteri Pertahanan Prancis, Bourges Maunoury, berbicara dengan wakil Israel, Shimon Peres, tentang waktu yang dibutuhkan tentara Israel menguasai Sinai. Dijawab, sekitar seminggu. Apakah Israel ingin ikut dalam satu penyerbuan ke Mesir. Jawabnya, ya. Sudah jadi rahasia di Israel, si mata satu Moshe Dayan, menteri pertahanan Israel, sangat ingin secepatnya menggebuk Mesir. Tapi, sementara aksi militer belum juga ditempuh, suasana berbalik. Partai Buruh di Inggris, yang memang tak menyukai Eden, menyarankan lebih baik berunding lewat PBB. Sejumlah demonstran meneriakkan perdamaian di sekitar Downing Street. Bahkan pers Inggris kini menanyakan, bila mereka mengkritik Hitler, apakah konsekuen bila "kita melakukan pembantaian dan pembalasan langsung". Eisenhower menyarankan dibentuk komisi perdamaian, antara lain beranggotakan Australia, Iran Etiopia, selain Amerika Serikat. Tapi misi ini gagal. Toh, Eden sejauh itu masih mencoba menahan emosi. Ia, sebagai upaya menarik simpati dunia dan khususnya negara-negara Arab, menegaskan perang sebagai alternatif terakhir. Sementara itu, persiapan sebenarnya makin jelas. Misalnya ia minta rencana penyerbuan yang paling aman. Dan betapa kacau kemudian pikiran perdana menteri itu tercermin dari anekdot berikut. Ia minta dikirimi cepat sebuah rencana yang sederhana, setelah empat rancangan penyerbuan ia tolak. Liddell Hart, sejarawan militer yang diberi tanggung jawab, dengan berani mengirimkan kembali rencana nomor satu. Dan langsung disetujui Eden. Hart menjelaskan sebenarnya itu bukan rencana baru, tapi rencana lama. Eden merah wajahnya, tiba-tiba menyambar tempat tinta di meja, menumpahkannya ke jas Hart. Si sejarawan tertegun sejenak, bangkit, mengambil tempat sampah, melemparkannya di atas kepala Eden, sebelum ia keluar. Dan penyerbuan ke Mesir tinggal soal waktu. Rencana penyerbuan dibicarakan di Sevres, Prancis, 22 Oktober. Dalam pertemuan Inggris, Prancis, dan Israel inilah serangan tipuan Israel diputuskan. Dan disepakati tentara Moshe Dayan akan mulai masuk Sinai 29 Oktober siang. Januari 1957 Eden keluar dari Downing Street 10. Jabatan yang diidam-idamkannya itu cuma di tangannya kurang dari dua tahun. Hingga meninggal, 1977, tampaknya Eden tetap yakin, politiknya terhadap Mesir benar. Guy Mollet Dialah yang menyebut tindakan nasionalisasi Terusan Suez mirip metode diktator Hitler. Dan ia langsung menjanjikan bahwa Prancis akan melakukan "pembalasan yang penuh dan keras". Mengikuti jejak Eden, Mollet pun jatuh pada Mei 1957, setelah 16 bulan sebagai perdana menteri. Kedua pimpinan negara besar ini memang saling mengagumi, dan itulah salah satu sebab Eden dan Mollet bisa berkomplot menggempur Mesir. Tapi, sasaran Mollet sebenarnya bukan Suez, melainkan Aljazair. Beberapa sejarawan menyebut Mollet sebagai seorang sosialis yang fasis. Ben-Gurion Pada mulanya PM Israel ini tak yakin Inggris berani melakukan serangan tanpa dukungan Amerika. Ia lebih percaya kepada Prancis. Sebenarnya, pada 1953 Gurion ingin pensiun dan menghabiskan masa hidupnya di tengah padang pasir nan sunyi. Tapi ia kurang percaya kepada penggantinya, Sharett, menteri luar negeri. "Sharett tak punya keberanian .... Zaman ini adalah masa generasi pertarungan," katanya kepada Sekretaris Kabinet. Maka, dibuktikanlah keberaniannya, melancarkan serangan di Jalur Gaza, 1955. Dengan itu ia ingin berkata kepada lawan-lawan politiknya di dalam negeri, juga kepada dunia, bahwa ia kembali berkuasa di Israel. Tampaknya, dari pihak penyerbu Israellah yang meraih keuntungan. Perang Suez menyebabkan Mesir setuju membuka Teluk Aqaba untuk kapal-kapal Israel. Pada 1963 Gurion mundur, digantikan oleh Golda Meir. Semangat masih menyala, dua tahun kemudian ia masih ikut pemilihan, tapi kalah. Baru ia benar-benar istirahat, sementara Dayan dan Peres, dua anak didiknya, memainkan peranan penting dalam sejarah Israel kemudian. Negarawan yang tampangnya mirip ahli atom Einstein ini meninggal di Negev, 1973. Dwight D. Eisenhower Presiden Amerika ini sungguh mengecam dua sekutunya, Inggris dan Prancis, dalam hal krisis Suez. Ia menyebut Perang Suez sebagai "perangnya Eden". Untuk itu, ia tak peduli apakah sikapnya didukung rakyat Amerika atau tidak. "Saya tak peduli sedikit pun, apakah saya akan terpilih kembali atau tidak karena sikap saya ini," katanya, delapan hari sebelum pemilihan presiden. Tapi ia memang terpilih kembali. Oleh Donald Neff, Eienhower dinilai paling berkepala dingin dalam menghadapi nasionalisasi terusan Suez. Mungkin karena Amerika memang jauh dari Suez. Sikapnya ini memperoleh simpati dari negara-negara Arab dan negara berkembang lainnya. Ketika Eden turun dari jabatannya, Eisenhower menulis surat. "Bila aku mengingat masa lalu, itu cuma untuk meyakinkanmu bahwa kekagumanku dan kecamanku terhadap kamu tak pernah hilang. Dan saya ikut sedih kamu tak lagi menjadi orang nomor satu. Mammie dan aku selalu berdoa agar kamu dan Lady Eden dikarunia usia panjang, selalu punya kesibukan, dan hidup bahagia." Eisenhower, ketika krisis Suez berlangsung, yang selalu mendorong semua pihak, termasuk PBB, untuk menyelesaikan segalanya di meja perundingan berdasar hukum-hukum internasional yang disepakati. Tapi ia sebenarnya juga marah kepada Nasser. "Nasionalisasi Terusan Suez tidak sama dengan pengambilalihan perusahaan minyak," kata Eisenhower. "Sebab, terusan itu benar-benar untuk kepentingan umum." Tentang Bendungan Aswan, bila Amerika tak bersedia membantu dengan dana, pesannya kepada John Foster Dulles, menlunya, "Manfaat bendungan itu perlu ditinjau kembali." Nikita Krushchev Uni Soviet memang tak terlibat langsung dengan krisis Suez. Dan agak aneh. Waktu itu, sebagai Ketua Partai Komunis Uni Soviet, Krushchev menganggap tindakan Nasser soal biasa. ". . . seperti yang sering terjadi di Amerika Selatan. Kami tak ingin banyak terlibat dengan itu." Repotnya, sementara Krushchev menyerukan perdamaian dunia, Juli tahun 1956 itu pula tentara Negeri Beruang ini menggilas Hungaria. Dan hubungan Uni Soviet-Mesir memang kemudian erat. Nasser minta bantuan Negeri Merah itu, antara lain untuk menyelesaikan Bendungan Aswan. Ketika serangan terhadap Mesir berlangsung, Bulganin, PM Uni Soviet, menulis surat kepada Eden, Mollet, dan Ben-Gurion. Kecaman terkerasnya memang kepada Israel, yang telah "melakukan tindakan imperialistis."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus