INGAT Timbul Srimulat? Berkumis hanya cukup untuk menyumpal keluarnya ingus, dan dengan kain lap tersampir di pundak, seenaknya ia men-towel-towel majikannya. Namun, Irah atau Darti di Surabaya, juga Emma di Jakarta, agaknya, untuk sekadar tersenyum atas ulah rekan seprofesinya sebagai pembantu (buat Timbul. hanya dalam lawakan, tentu) pun tak bisa. Apalagi jika mereka ingin ikut-ikutan mentowel majikannya. Siapa yang menjamin bahwa nasib mereka tak lebih parah dari sekarang andai itu dilakukan? Ya . . . siapa yang menjamin nasib pembantu rumah tangga. Suatu golongan pekerjaan yang boleh dibilang -- menurut seorang dosen Hukum Perburuhan UI, Pardamaian Rajagukguk belum mendapat perlindungan hukum. Padahal, banyak yang menilau pekerjaan itu penting. Seperti diakui Novelis N.H Dini, misalnya, "Bagi wanita karier, perlu ada pembantu." Atau dalam istilah Menteri Lasiyah Sutanto, yang mempekerjakan empat pembantu, "Dengan adanya mereka, saya tak perlu memikirkan pekerjaan di rumah." Ya, hukum mana yang melindunginya. Dari desa terdesak kemiskinan, mereka dibawa famili atau para agen -- seperti Cik Lan di Magelang, Makde di Bandung atau keterampilan apa pun, mereka lalu menunggu datangnya orang yang -- kelak menjadi majikannya -- mau memberi "uang pangkal" pada agen (Rp 30 ribu di Jakarta). Mulailah 24 jam hidupnya bergantung pada keluarga induk semang. Ada yang nasibnya baik, macam Kartini di Menteng yang, dengan bonus, bisa mendapat Rp 100 ribu sebulan dari majikan Belandanya. Ada pula yang seburuk seperti ditulis W.S. Rendra dalam Sajak Bulan Purnama, "Babu-babu secara seksual menjadi pemuas dahaga sang majikan." Apa pun yang menjadi pertimbangan, beberapa lembaga lalu mengadakan pendidikan untuk para pembantu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (BPKS) Yogya atau Universitas Kristen Satyawacana Salatiga misalnya. Hanya cukup sebatas inikah yang dilakukan? Sementara para ahli hukum banyak yang menaruh perhatian pada belum tertampungnya "Inem-Inem" dalam wadah yang bisa memperjuangkan mereka. Adalah Rajagukguk yang menunjuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bab 7A sebagai rujukan, rapi, katanya, itu "hanya mengatur pekerjaan yang biasa dilakukan orang Eropa." Lain tidak. Yang masuk, paling kasar, ya, sopir. Soal pengaturan upah antara buruh dan majikan -- yang ada dalam bab yang sama -- juga tak bisa dipergunakan. Alasannya, ketika buruh tinggal serumah dengan majikan, sudah bukan merupakan buruh lagi. Ketidaktercakupan pembantu dalam kelompok buruh dibenarkan oleh Menteri Lasiyah. "Mereka tak termasuk tenaga kerja formal, baginya tak berlaku undang-undang tenaga kerja," ujarnya. Padahal, negara tetangga, Filipina, menerapkan pembantu sebagai tenaga kerja formal. Tentu saja pendapat-pendapat ini boleh didebat. Ketidaksetujuan atas pemisahan kedudukan pembantu dari kelompok buruh, di hadapan hukum, muncul dari Syahniar Mahnida, yang dikenal mengkhususkan diri pada bidang hukum perburuhan. "Buruh adalah mereka yang bekerja pada majikan dan menerima upah. Dalam penjelasannya, pembantu rumah tangga tak dikecualikan. Jadi, pembantu rumah tangga, ya, termasuk buruh." Tapi masih ada yang hendak dikemukakan Syahniar. Bila seorang pembantu rumah tangga tak mendapat gaji, atau bahkan diperlakukan sewenang-wenang, tak ada tempat untuk mengadu kecuali secara umum oleh polisi, tentu. Mereka tak dapat melaporkan penganiayaan yang mereka terima itu, misalnya pada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. "Sebab, mereka dianggap bukan buruh. Undang-Undang No. 12/1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja hanya menyebutkan bagi mereka yang bekerja pada perusahaan." Dan pembantu rumah tangga tidak bekerja pada perusahaan, melainkan pada keluarga orang lain. Itulah masalahnya -- suatu hal yang juga disebutkan oleh Menteri Tenaga Kerja Sudomo. Perlindungan bagi pembantu rumah tangga, menurut Menteri Sudomo, ya, oleh polisi. Andai kata gaji tak dibayarkan induk semang? "Mereka bisa melapor pada Departemen Tenaga Kerja." Namun, masih ada kesulitannya. "Sebagai menaker, saya tak bisa memeriksa atau mengecek apakah mereka diperlakukan baik atau tidak," kata Menteri yang punya 13 pembantu ini -- yang masing-masing dibayar dengan standar lulusan SMA. Celah-celah hukum yang bisa memerosokkan nasib pembantu rumah tangga memang masih menganga lebar. Ada yang mencoba menjembataninya, tanpa menunggu ditutupnya celah itu. Yenny Toisuta, pengelola pendidikan pembantu rumah tangga di Universitas Satyawacana, menawarkan bentuk kontrak kerja antara pembantu dan tuannya. Kontrak itu menyangkut gaji dan kenaikannya secara berkala, jam kerja, beban kerja, serta hak cuti yang menurut dia 12 hari dalam setahun. BPKS Yogya pun melakukan hal yang sama terhadap pembantu yang dididiknya dan disalurkannya. Menteri Lasiyah juga menganggap hal itu penting. "Kalau ada kontrak baru perlindungan hukum berlaku." Untuk sampai pihaknya bisa mengajukan rancangan perlindungan hukum para pembantu, Menteri Lasiyah mengaku tengah mengamati perlakuannya sendiri pada pembantu di rumah. Bagaimanapun, pembantu rumah tangga di Indonesia, menurut Sejarawan Onghokham, yang mendalami sejarah Jawa, bertumbuh dari tradisi masyarakat Jawa yang suka nderek atau ngenger. Hal ini pula yang mendorong Sosiolog Paulus Wirutomo untuk tidak mendekati persoalan pembantu rumah tangga hanya semata dari aspek hukum. "Saya melihat pembantu rumah tana di Indonesia bukan part time employment juga bukan full employment. Melainkan total employment," katanya. Ini, agaknya, disepakati Rajagukguk, "Hukum tidak bisa mengatur semuanya." Zaim Uchrowi, Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini