NASIONALISASI Terusan Suez, apa pun penilaian orang, kenyataannya inilah tindakan radikal Gamal Abdul Nasser yang mengubah peta dunia. Musim panas 1956, tepatnya pada HUT Revolusi Mesir, 23 Juli, kanal lalu lintas internasional yang memisahkan Mesir dan kawasan Timur Tengah pindah tangan dari Suez Canal Company, perusahaan milik Inggris-Prancis, ke tangan Mesir. Peristiwa ini tentu tak begitu mengundang perhatian dunia, bila saja kemudian tidak pecah yang disebut Perang Suez. Tiga bulan kemudian, Inggris dan Prancis, dengan dukungan Israel, mengagresi Mesir dalam operasi militer paling kontroversial sejak Perang Dunia II. Karena agresi itu, karier Perdana Menteri Inggris, Sir Anthony Eden berakhir. Akibat yang lebih serius, hubungan Inggris-Prancis dan Amerika Serikat jadi gawat. Tidak ada satu peristiwa penting pun yang tak diburu media cetak. Tapi, hampir semua laporan ditulis dari sudut pandangan Barat -- demikian pula tentang Perang Suez. Mohammed Heikal, wartawan Mesir terkenal dan bekas pemimpin redaksi A/Ahram, membeber-ulang rentetan peristiwa tersebut, seperti yang ia saksikan dan alami di Kairo, 30 tahun kemudian. Heikal memang terlibat langsung dalam peristiwa Suez, baik sebagai editor surat kabar Al-Ahram maupun sebagai sahabat Nasser yang ditemui dan menemuinya atau berbicara dengannya melalui telepon saban hari. Karena itu, penulisan kembali Perang Suez dan pendudukan Mesir oleh Inggris dan Prancis selama hampir 2 bulan ini punya sudut pandang berbeda daripada yang pernah ada. Heikal, yang merekam semua kejadian dan dokumen penting tentang hari-hari yang kritis itu, sempat berkata pada Nasser, "Suatu hari Anda dan saya akan duduk terbungkuk dan menuliskan semua kejadian ini." Jawab Nasser, "Tidak. Andalah yang akan melakukannya sendirian. Siapa saja yang mengemban tugas seperti yang saya pegang sekarang, tak bisa tidak, ia menyulut lilin pada kedua ujungnya." Dan memang begitulah kejadiannya, Nasser terbakar "api revolusi" yang dinyalakannya sendiri. Heikallah, akhirnya berhasil merealisasikan kata-katanya, lewat buku Cutting the Lion's Tail: Suez through Egyptian Eyes yang diterbitkan Andre Deutsch Oktober lalu. Bagian penuturan Heikal yang dicuplik di sini disalin dari The Sunday Times Magazine, 12 Oktober 1986. * * * Nasser telah berada di kantor pukul enam pagi, dan tampak sibuk. "Aku seperti menjadi perwira staf kembali," ujarnya belakangan. "Aku menulis pendekatan keadaan dari sudut pandang lawan-lawan kita -- PM Inggris Eden, Menlu Prancis Pineau, dan PM Israel Ben-Gurion." Hasilnya, lima halaman pandangan Eden, satu halaman Pineau, sedangkan pandangan Ben-Gurion dihilangkan (dengan sengaja) dan tinggal beberapa baris. Menurut Nasser, Eden lemah -- lemah wataknya, lemah posisinya dalam partai dan pemerintahan, dan lemah kedudukannya sebagai tokoh negeri. Maka, Presiden Mesir itu menduga, seperti umumnya orang-orang yang pada dasarnya lemah, Eden akan tertarik melakukan tindakan kekerasan. Lebih dari itu, dengan tindakannya tersebut, Eden mungkin menduga akan memperoleh dukungan opini umum dalam negeri, juga dari pemerintah Amerika. Bila itu terjadi, dukungan tersebut akan menjadi tamparan yang menggetirkan bagi tokoh utama nomor dua Amerika waktu itu, Menlu John Foster Dulles. Bila memang begitulah Eden, tulis Nasser, ia harus bertindak sangat cepat. Karena itu, Nasser memperkirakan, periode paling berbahaya bagi Mesir adalah pada beberapa hari pertama setelah pencanangan nasionalisasi Terusan Suez. Setelah itu, katakanlah pada 10 Agustus, risiko Mesir terkena serbuan bersenjata tinggal 90 persen. Begitu Agustus berlalu, risiko menurun menjadi 80 persen. Dalam bulan September itu, ancaman akan turun lagi, tinggal 60 persen. Paruh pertama Oktober, kemungkinan adanya serbuan pasukan asing merosot sampai 40 persen. Lalu, pada paruh kedua bulan yang sama, anjlok lagi sampai 20 persen. Dan, kemudian, berkat mobilisasi opini dunia yang sungguh diharapkan dan diyakini oleh Nasser terjadi, risiko ancaman invasi dari luar benar-benar akan mencapai titik nol. Seperti telah disebutkan, Nasser mengumumkan nasionalisasi Suez pada 23 Juli. Tanggal tersebut adalah hari peringatan Revolusi 1952, yang dalam tahun-tahun berikut digunakan untuk menyampaikan pidato politik penting. Agaknya, tidak ada hari lain, menurut penilaian Nasser, yang paling sesuai untuk menunjukkan kepada dunia aksi paling revolusioner rezim baru itu. Karena itu, beberapa hari sebelumnya, Nasser merasa perlu memberitahukan isi pokok pidatonya kepada kabinet. Ini mungkin terasa luar biasa bagi para pengamat Barat. Sebab, selama ini belum pernah para menteri diberi tahu lebih dahulu tentang keputusan menentukan yang telah diambil Presiden -- hal yang tak seorang pun di Dunia Ketiga menganggapnya ganjil. Di negeri-negeri sedang berkembang, setiap keputusan yang sedikit atau banyak berkaitan dengan masalah keamanan hampir selalu ditetapkan oleh seorang yang berada di puncak. Para menteri diminta datang ke vila Nasser pada pukul lima. Kendati mereka merasakan ada sesuatu yang istimewa yang bakal disampaikan, tak seorang pun bisa menduga. Pagi itu, saya kebetulan sedang menghabiskan waktu dengan berenang-renang di pantai. Salah seorang menteri senior muncul, lalu ikut menceburkan diri ke laut -- yang membuatku agak tercengang, karena saya tahu ia bukan pencandu renang. Ia dengan susah payah mengekoriku. Kami akhirnya sampai di sebuah gundukan batu karang, agak jauh dari pantai, dan istirahat di situ. Mungkin dirasanya tempat ini cukup aman, Menteri itu memuntahkan uneg-uneg-nya. "Ceritakan, apa sebenarnya yang hendak dikatakan oleh Presiden?" Nasser mengatakan kepada para menteri yang sudah pada kumpul bahwa ia telah mengambil jalan menyimpang, dan sebenarnya ia ingin minta pendapat mereka. Tapi, katanya lebih lanjut, karena ia sepenuhnya yakin akan ketepatan jalan pikirannya, dan kebijaksanaan itu berada di luar lingkup instansi yang dibawahkan para menteri, ia tak memerlukan pendapat mereka lagi. Kemudian, Nasser mengumumkan Suez Canal Company akan diambil alih. Semua menteri terpaku dan terperangah di tempat duduknya. Banyak di antara mereka lulusan berbagai universitas Barat dan nasionalisasi bukanlah jenis permainan politik yang mereka harapkan. Usai Nasser berbicara, hanya seorang menteri bertepuk tangan. Sebagian besar lainnya -- tercermin dari berbagai pertanyaan yang mereka ajukan -- cemas memikirkan bahaya mengancam yang akan menyusul tindakan itu. Seorang menteri menawarkan, apakah tidak lebih baik tindakan itu dilakukan tahap demi tahap. Misalnya mengambil dulu separuh panjang kanal, ketimbang sekaligus seluruhnya. Jawab Nasser, risikonya sama saja. Begitu pertemuan usai, para menteri bersiap pulang. "Ke mana kalian hendak pergi, Tuan-tuan," kata Nasser tiba-tiba. Mereka menjawab, ingin ke Lapangan Menshiyeh, siap mendengarkan pidato Nasser. "Tidak," kata Presiden. "Masih terlalu awal. Anda sekalian tetap berada di rumah ini sampai kita semua berangkat bersama ke Lapangan." Hari itu, sebelum fajar merekah, Mahmud Younis, bekas perwira militer kepercayaan Nasser, berangkat ke Kairo. Orang itulah yang diberi tugas melakukan operasi pengambilalihan berbagai instalasi Suez Canal Company. Tim yang akan mengambil alih kantor pusat disiagakan di dalam mobil-mobil di dekat Shepherd's Hotel. Dan begitu matahari meletikkan sinarnya yang pertama ke bumi Mesir, ia dan sejumlah perwira dengan hati-hati menggerakkan tim Kairo di sekitar sasaran, memeriksa setiap rinci operasi. Selesai, Younis kembali ke Ismailia. Yang dilakukannya kemudian, mengundang gubernur Provinsi Ismailia, Port Said, dan Suez ke kantor Komando Wilayah Timur, Jenderal Ali Ali Amer (belakangan dipromosikan menjadi panglima tertinggi). Ketiga perwira yang mengepalai tiga tim pengambil alih juga diminta hadir. Para gubernur menerima perintah dengan tercengang dan gusar. Siapa Younis, si tukang perintah itu? Apa maunya? Jangan-jangan orang itu hanya mengigau? Tapi, ketika perintah diulang sekali lagi oleh Ali Ali Amer (kendati ia pun tak menyadari pentingnya perintah), para gubernur merasa lebih baik menurut. Younis berbicara kepada tu juh orang yang dipanggil menghadap, "Saya akan menyampaikan pemberitahuan yang sangat penting kepada Anda sekalian," katanya. "Dan ini merupakan rahasia tingkat tinggi. Jika ada, siapa pun membocorkan sepatah kata saja, saya tak ragu-ragu untuk menembak," -- ia mencabut pistolnya, menggebrakkannya ke meja. Lalu katanya, semua kantor Suez Canal Company akan diambil alih. Tak sepatah pun kata nasionalisasi ia ucapkan saat itu. Begitu ia menyelesaikan pengarahan, para hadirin langsung menyambutnya dengan riuh. Pagi itu, Younis dipesani Nasser agar segala sesuatunya diawasi benar-benar hingga berjalan seperti yang direncanakan. Komando untuk bergerak akan diberikan lewat kata sandi dalam pidatonya. Yakni nama belakang orang Prancis si empunya ide terusan, yang patung besarnya masih mendominasi pintu masuknya: Ferdinand "de Lesseps". Khawatir kalau-kalau ia tak mendengar kata sandi bila hanya mendengarkan satu radio, Mahmoud Younis mengelilingi dirinya dengan sejumlah pesawat radio di markas besar Komando Wilayah Timur. Nasser tidak menyiapkan pidato peringatan Revolusi yang akan ia berikan, kecuali beberapa catatan. Ia memulai dengan meninjau kembali sejarah Mesir, perjalanan bangsanya yang selama berabad-abad dieksploitasikan oleh tirani berganti tirani baik asing maupun bangsa sendiri. Setelah bicara sekitar setengah jam, presiden itu kemudian mengingatkan khalayak akan tindakan Khedive (raja kecil) Said yang telah mengontrakkan Terusan Suez kepada pihak asing. "Tapi," katanya, "de Lesseps memaksakan persyaratan kepada Khedive. Saya bukan Khedive, dan saya tidak ingin menerima serenceng persyaratan itu." Dengan kata sandi telah diberikan, Mahmoud Younis dan timnya langsung bergerak melakukan aksi. "Karena itu," kata Nasser lagi, "kalian harus mengetahui dekrit yang telah diteken oleh presiden republik ini. Yakni, pasal satu, Compagnie Universelle du Canal Maritime de Suez harus dinasionalisasikan dan dialihkan kepada negara berikut seluruh kekayaan dan tanggung jawabnya." Sejenak, seperempat juta orang yang berdesak-desak di Lapangan Menshiyeh terdiam, seperti tidak percaya. Baru kemudian, arti penting kata-kata Presiden tercerna jelas. Hiruk-pikuk pun meledak dan berkembang, pecah meluap di semua desa dan kota di seluruh negeri. Soalnya, seperti biasanya, seluruh rakyat Mesir pagi itu mendengarkan pidato sang pemimpin revolusi. Maka, tak seorang pun di Mesir yang benar-benar lelap malam itu. * * * Senin, 28 Oktober 1956, saya menerima panggilan telepon untuk menghadap Nasser. "Sesuatu yang sangat ganjil sedang terjadi," katanya. "Orang Israel berada di Sinai dan mereka tampaknya seperti siap bertempur melawan gundukan pasir, karena mereka menduduki posisi-posisi kosong. Kita harus memantau ketat apa yang sedang berlangsung. Tampaknya, mereka ingin meniupkan badai pasir. Saya tidak dapat memahami semua ini. Saya harap Anda bisa datang. Nasser berada di kantor dengan Panglima Amer. Ia, seperti juga semua yang hadir, terperangkap suasana bingung. Serangkaian laporan masuk berisi ihwal aksi pasukan Israel di tepi Terusan Suez. Jika ini gerakan perang Israel, agak aneh, tidak terbetik berita tentang kegiatan mereka di udara. Sementara itu, hanya dilaporkan adanya iring-iringan tank dan kendaraan militer darat. Juga tak terdengar serangan terhadap AU Mesir. Sikap siaga segera diputuskan. Brigade Infanteri Kedua berkekuatan kurang dari satu batalyon, diperintahkan menyeberangi Terusan Suez dan menghabisi setiap penerjun Israel begitu terlihat batang tenggorokannya. Kedua, Divisi Tempur Keempat digerakkan menyeberangi kanal, pada pagi berikutnya, dalam kondisi siap tempur. Belakangan baru diketahui metode tersembunyi di balik kegilaan Israel itu. Agar ancaman tertuju ke arah Terusan terlihat realistis, pasukan lsrael, paling tidak, harus melakukan serangan tipuan ke arah itu. Gerakan militer palsu ini memang menguntungkan bagi intervensi Inggris-Prancis, dan bagi serangan kedua Israel. Di Kairo, petunjuk pertama bahwa suatu rencana yang lebih besar sedang digelar datang pada hari Selasa. Pada pukul 11 masuk laporan bahwa pesawat Canberra dan Valiant sedang melakukan misi pengintaian di Danau Bardawil di Sinai, Suez, dan Port Said. Itulah pesawat-pesawat Inggris. Nasser meminta saya menemui Raymond Hare, duta besar AS, untuk mengungkapkan hasil observasi kami. Hare punya dugaan, barangkali, Inggris mengkhawatirkan nasib para ahli sipil di kawasan Terusan, yang bisa terperangkap akibat pertempuran yang mungkin terjadi. Ketika jawaban Hare kusampaikan kepada Nasser, sahutnya, "Itu tidak mungkin." Pada pukul 6 (pukul 4 petang waktu London) datang ultimatum Inggris-Prancis. Yakni agar Mesir, dalam waktu 12 jam, membiarkan pasukan Inggris-Prancis menduduki kawasan Terusan demi "Memisahkan negeri-negeri yang berperang". Kalau tidak, mereka akan mendudukinya dengan kekerasan. Berita tentang ultimatum diterima dengan keheranan, mendekati ketidakpercayaan. Persekongkolan Inggris dan Prancis serta Israel ternyata menampar kami secara terang-terangan. Ini memang kemungkinan yang tak diperhitungkan. Sebab, mestinya, betapapun haus perangnya PM Inggris Eden, ia harus mendengar pertimbangan teman-temannya di Irak dan negeri-negeri Pakta Baghdad lainnya. Di samping itu, gengsi dan kepentingan Inggris di Timur Tengah bisa hancur tak tertolong jika Eden terperosok ke dalam dosa tak berampun -- bersekutu dengan Israel untuk menyerbu sebuah negeri Arab. Ultimatum keluar pada pukul 6 petang 31 Oktober. Saat itu, Nasser berada di rumahnya di Heliopolis, sedang menerima dubes Indonesia. Ia mendengar suara bom jatuh menggelegar di atap kediamannya. Sasaran mereka boleh jadi Al-Maza, pangkalan udara militer, tapi yang terjadi adalah berjatuhannya bom-bom di dekat bandara internasional. Serangan Israel, pada akhirnya, menjadi bagian dari suatu kerja sama yang lebih besar, bertujuan memancing pasukan Mesir masuk ke Sinai dan membiarkan kawasan Terusan tak terjaga. Lalu, giliran pasukan Inggris-Prancis menduduki Terusan, dan dengan demikian membuka jalan menuju Kairo. Nasser meninggalkan kediamannya menuju kantor panglima angkatan bersenjata. Di sini ia bertemu dengan orang-orang bingung dan gagasan yang semrawut. Semua orang berbicara bareng-bareng. Nasser meminta diadakan sidang. Salah Salem, salah seorang dari kelompok Opsir Bebas yang memimpin revolusi hingga membawa Nasser ke puncak kuasa, yang pertama-tama angkat bicara. "Gamal," katanya, "Anda telah banyak berdarma bakti untuk negeri ini. Kini tiba waktunya bagi Anda untuk melakukannya kembali -- darma bakti yang terakhir. Yang harus Anda lakukan adalah pergi ke Kedubes Inggris dan menyerahkan diri kepada Treveryan sebelum ia pergi." Jawab Nasser, "Sayakah yang mereka inginkan?" "Ya," jawab Salah Salem, "Itu yang dikatakan Eden." "Inikah yang diyakini sebagai utang darah pribadi antara Eden dan saya?" kata Nasser lagi. "Jika memang itu soalnya, saya tentu akan pergi dan menyerahkan diri. Tapi, apakah bukannya ada suatu alasan yang lebih besar?" Ini menjernihkan suasana. Beberapa orang kemudian bicara. Dr. Fawzi (Menlu) mengatakan, ia memang tak berhak melangkahi kesiap-siagaan angkatan bersenjata. Namun, jika mereka ingin menghadapi Inggris dan Prancis serta Israel, cara terbaik bukanlah dengan memberikan perlawanan macam apa pun. Melainkan dengan mencari penyelesaian politik. Fawzi berbicara layaknya seorang diplomat berpengalaman. Nasser tak mengacuhkan usul itu, malah ia segera memerintahkan semua orang ke luar ruangan kecuali mereka yang punya kaitan langsung dengan kemiliteran. Nasser baru kembali ke rumah pada larut malam. Ia telah mengambil dua keputusan pokok. Pertama, Mesir harus menangkal kekerasan dengan kekerasan. Melakukan tindakan yang berbeda berarti menyerah dan mengkhianati bangsa-bangsa Arab lainnya yang telah memberikan dukungan nyata kepada Mesir. Lebih dari itu, opini dunia akan menguntungkan Mesir, bila dunia melihat sebuah negeri kecil dikeroyok tiga kekuatan militer terbesar di muka bumi. Keputusan kedua adalah menarik diri dari Sinai. Jelas sudah, gerakan militer Israel di gurun itu cuma sebuah perangkap. Nasser memberi komando penarikan Divisi Tempur Keempat dari sisi seberang Terusan. Jenderal Amer memprotes dengan berdalih bahwa tentara Mesir tidak akan pernah mundur. "Soalnya bukanlah bagaimana mati secara herois," kata Nasser. "Tapi, bagaimana berjuang dengan herois." Jawab Amer, "Tapi, Gamal, beberapa bulan lalu, ketika berkunjung ke akademi militer, saya melihat para perwira memberi kuliah tentang cara menarik diri. Saya berdiri di depan kelas dan berkata kepada mereka bahwa sejak saat ini tidak bakal ada instruksi penarikan diri." Amer tampaknya tak mampu mengendalikan diri. Ia malah berkata, tidak ada yang akan mematuhi perintah mundur. Nasser sebenarnya ingin menarik seorang jenderalnya itu dari pos di kawasan tersebut. Tapi, yang kemudian dilakukannya hanyalah pergi ke kamar operasi, mengangkat telepon, dan ia sendiri yang menyampaikan komando kepada para perwira senior di Divisi Keempat. Setelah memberi tahu siapa dirinya, Nasser kemudian menjelaskan kepada mereka mutlak perlunya segera dilakukan penarikan mundur pasukan, kalau mereka tidak ingin terjerumus dalam perangkap musuh. Beberapa tindakan lain diambil pada hari itu juga. Aset berbagai perusahaan Inggris dan Prancis dibekukan, dilarang dipindahkan atau dialihkan. Tidak diperbolehkan memperlakukan secara kasar orang Inggris dan Prancis, sebab banyak di antaranya yang telah menetap sangat lama di Mesir. Juga diputuskan tidak akan ada pernyataan perang terhadap Inggris dan Prancis. Ini berarti kedua negara besar itu diperlakukan sama seperti Israel, termasuk menolak kapal-kapal mereka melintasi Terusan -- tindakan yang dinilai berlebihan, pada masa itu. Segera diumumkan bahwa negara dalam keadaan perang. Ini memang sebuah risiko, menyrempet sejumlah komplikasi hukum. Keputusan itu bukan saja memerlukan tinjauan ke depan tapi juga keberanian yang besar. * * * * * Rencana Inggris-Prancis menyerbu Mesir, dengan nama sandi Musketeer I dan Musketeer II, menjadi kontradiksi politik dan militer yang campur aduk. Hampir semua yang terlibat di dalamnya merasa bahwa perang seharusnya telah berakhir satu dekade sebelumnya. Bagaimana menjelaskan pengeboman Port Said dengan meriam-meriam besar armada Inggris? Kota yang tak terlindungi ini bukanlah Tembok Atlantik Hitler. Atau menduga bahwa angkatan udara Mesir bisa dikalahkan dalam waktu seminggu? Tapi angkatan udara itu bukan Angkatan Udara Jerman yang dipimpin Goering. Tapi tak terjadi pertempuran darat. Salah satu keputusan penting Nasser, setelah bom berjatuhan di Kairo, adalah tidak melibat diri sedikit pun dalam perang udara. Ia menyadari, bagi Mesir keselamatan para penerbangnya lebih penting ketimbang pesawat-pesawatnya. Seperti yang dijelaskannya ketika ada yang bertanya tentang keputusan tersebut, "Kami memiliki 120 penerbang tempur terlatih baik, dan 250-260 orang lainnya yang sedang dalam pendidikan. Jika mereka saya kirim melawan kombinasi pasukan AU Inggris-Prancis, saya bisa jadi gila. Pada tahap tertentu nanti, Inggris dan Prancis akan ditarik -- mungkin setelah satu-dua bulan. Sementara itu, kami masih harus bersiaga menghadapi Israel selama bertahun-tahun di muka, dan kami memerlukan semua penerbang yang dapat kami cetak. Pesawat bisa diganti dalam semalam, tapi memerlukan bertahun-tahun melatih seorang penerbang." Akibatnya, banyak pesawat tempur yang hancur di landasan, tapi ada juga yang selamat diungsikan ke Sudan dan Arab Saudi. Banyak orang Inggris dan Prancis, yang memegang posisi penting, berharap Nasser menerima ultimatum mereka. Mereka mengira, jika bom telah dijatuhkan akan timbul kepanikan di jalan-jalan Kairo dan kota utama lainnya, dan, karena itu, Nasser akan berpikir-pikir tentang kedudukannya. Jika ia bersikukuh menolak ultimatum, mereka yakin, ia akan digeser oleh orang-orang yang lebih bersikap realistis di sekelilingnya. Mereka berharap akan muncul kelompok-kelompok orang liar yang merampok dan membakar, ketika orde negeri itu porak-peranda. Itu tak terjadi. Setiap warga negeri ternyata bisa mengendalikan diri tidak timbul kepanikan dan menyalahgunakan keadaan. Dunia disuguhi dengan sejenis keajaiban dari sebuah negeri kecil yang dicoba kangkangi oleh kekuatan tangguh -- dan teror yang diharapkan timbul ternyata tidak muncul. Dan kenyataannya, Inggris dan Prancis tidak segera mendarat seperti yang diancamkan dalam ultimatum. Malah mereka menundanya sampai empat hari, membuat kesempatan baiknya untuk menduduki sepanjang Terusan, dan karena itu bisa menghadapkan dunia pada fait accompli, hilang. Seperti yang kemudian terjadi, ketika pendaratan dimulai, dunia menyaksikan pemusnahan luluh-lantak sebagai akibat pengeboman dari laut. Tidak ada wartawan perang di front -- dan sesungguhnya, tidak ada front -- pada saat itu. Tapi, foto-foto banjaran rumah dan toko yang ambruk berkeping-keping, dan penduduk yang tewas, termasuk beberapa gambar mencekam yang diambil seorang juru foto Swedia dikirim ke Beirut, dan dari sana dibawa ke London. Foto-foto tadi kemudian dibeberkan di depan MPR Inggris, dan melahirkan pengaruh yang cukup besar. Sejumlah kopinya juga dikirim ke PBB. Penundaan empat hari itu juga memungkinkan Mesir mendapat sahabat yang tangguh, Uni Soviet, dan memberi kesempatan kepada negara itu menetapkan peran yang mungkin dimainkannya. Orang Rusia senantiasa segan menetapkan langkah pasti dukungannya terhadap negeri lain, sebelum mereka meyakini tiga hal. Yaitu: apakah partai (komunis) di negeri lain akan mendukung penuh? Adakah opini dunia di belakangnya? Dan tampaknya, bila mereka ikut campur tangan dalam kasus ini, tak akan ada tantangan. Ketika pasukan Inggris-Prancis akhirnya mendarat di Suez, menjadi jelas bagi Moskow bahwa jawaban bagi tiga pertanyaan tadi adalah "ya". Dubes Mesir di Moskow, Mohamed el-Kouni, saling bersapa dengan Krushchev (waktu itu memimpin Soviet bersama Marsekal Bulganin) pada suatu resepsi, Jumat malam 2 November. Pemimpin Soviet itu mengagumi sikap Mesir yang penuh heroisme dalam menolak ultimatum Inggris-Prancis, dan kemampuannya bertahan terhadap agresi. Sayang, katanya, negeri komunis itu tidak memperoleh jalan untuk membantu Mesir secara militer. "Kami sedang mengerahkan opini dunia," adalah hal paling menyenangkan yang dijanjikan Krushchev. Empat hari kemudian, petang Selasa 6 November, Kouni diterima Menlu Soviet yang menyerahkan naskah ultimatum yang telah dikirimkan kepada Inggris, Prancis, dan Israel. "Kami telah mengambil sikap yang amat teguh, Tuan Dubes," kata sang menlu, "Dan kami berdiri di sisi Anda dalam menentang agresi." Orang Rusia melihat ekspedisi Suez adalah aksi militer yang gagal. Inggris dan Prancis terpecah, keduanya gusar karena dipungkiri oleh Amerika Serikat. Sementara itu, opini dunia begitu kerasnya mengecam mereka. Maka, pada malam Senin 5 November, ultimatum dalam bentuk pesan dari Bulganin terkirim kepada PM Inggris Eden, PM Prancis Mollet, dan PM Israel Ben Gurion. Yan ditujukan kepada Eden dan Mollet mengisyaratkan kemungkinan penggunaan senjata nuklir terhadap kaum agresor. Sedangkan yang tertuju kepada Ben Gurion bersifat lebih mengancam. Antara lain begini: "Memenuhi kehendak yang lain, bertindak atas instruksi luar negeri, pemerintah Israel secara kriminal dan tak bertanggung jawab mempermainkan nasib perdamaian dan nasib rakyatnya sendiri. Mereka menyemaikan benih kebencian terhadap negara Israel di antara rakyat-rakyat Timur tanpa mempertimbangkan masa depan Israel sendiri, yang dapat mencelakakan eksistensi Israel sebagai sebuah negara." Ada kecenderungan untuk tidak memperhitungkan dampak peringatan orang Rusia itu. Maka, di Inggris, perbedaan pendapat yang mempengaruhi kabinet untuk menerima gagasan gencatan senjata pada hari berikutnya, 6 November, telah berakibat mengeringnya poundsterling. Sementara itu, Amerika menolak menyangga mata uang Inggris itu bila gencatan senjata tidak disepakati. Menurut Golda Meier, Menlu Israel 1956, pidato persetujuan Ben Gurion terhadap persyaratan penarikan pasukan dari Sinai "Jelas dilakukan untuk menanggapi ancaman Soviet". Para pemimpin Israel lainnya, termasuk Peres dan Eban (duta besar Israel untuk AS), setuju saja. Seperti kata Yitzhak Navon, kepala kantor perdana menteri, "Ancaman Soviet kami tanggapi dengan sungguh-sungguh. Kami mendapat informasi bahwa itu benar-benar nyata." Kendati Inggris dan Prancis berupaya sekuat tenaga menunda penarikan diri dari Mesir. orang-orang yang merasa sebal dengan pendudukan itu dengan geramnya terus mendorong-dorong pelaksanaannya. Akhirnya, 22 Desember, pasukan pendudukan terakhir hengkang. Keputusan paling menentukan dalam masa karier Nasser itu terbukti seluruhnya benar dan dibenarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini