JUDY seorang anak 4 tahun bermata cerah. Ketika teman-temannya sibuk bermain, ia cuma berdiri menyendiri memandangi mereka. Siapa pun yang melihat dia, tentulah akan berpikir Judy mungkin tak suka bergaul. Lebih dari itu, anak itu boleh jadi akan mengalami hambatan bermasyarakat. Tapi, ketika ia diminta ikut dalam "permainan kelas", tiba-tiba sikap acuh tak acuhnya lenyap. Kemudian disimpulkan, anak itu ternyata memiliki kemampuan bergaul lebih daripada teman-temannya. Itu terjadi suatu hari di taman kanakkanak di kampus Universitas Tufts di Medford, Massachusetts, AS. Yang disebut "permainan kelas" sebenarnya satu dari sejumlah permainan yang diciptakan oleh Proyek Spektrum, proyek bersama dua universitas ternama Harvard dan Tufts. Dan TK tersebut memang dijadikan laboratorium penelitian perkembanan kecerdasan. Begitulah dilaporkan dalam lembaran khusus pendidikan surat kabar The Ne York Ttmes, 12 November lalu. Itulah upaya para ahli psikologi di Amerika untuk memperbaiki tes kecerdasan atau populer disebut tes IQ. Sudah sejak awal 1970-an validitas tes tersebut oleh sebagian ahli diragukan. Tes kecerdasan, kata sejumlah ahli, cuma mengukur kemampuan verbal dan matematika seorang siswa. Dengan kata lain, kemampuan yang dibutuhkan untuk memahami dan menjawab pelajaran dan tes sekolah. Padahal, tantangan dalam hidup membutuhkan banyak hal selain kecerdasan. Tes kecerdasan, kata para ahli itu, sungguh tak bisa dipakai sebagai alat pengukur untuk keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Sebuah proyek mengikuti perkembangan anak-anak usia 11 tahun yang menurut tes IQ sangat cerdas (nilai mereka di atas 135) dicanangkan pada 1921. Mereka diikuti perkembangannya dari tahun ke tahun. Pada 1977, 56 tahun kemudian, 1528 responden warga negara AS tersebut tak seorang pun yang berprestasi, misalnya melahirkan penemuan ini dan itu. Mereka cuma dinilai telah bekerja baik di bidang masing-masing -- dari profesor, ahli hukum, dokter, sampai dengan kenglantar pos, juru tulis, dan pedagang kecil. Menurut Howard Gardner, salah seorang pimpinan Proyek Spektrum dari Universitas Harvard, tes kemampuan verbal dan matematika memang tak cukup. Dari eksperimen proyek ini di TK si Judy tadi, ia menemukan beberapa kemampuan yang harus pula diteskan. Yakni kemampuan mengapresiasi ruang, mengapresiasi musik, mengapresiasi gerak lentur tari atau olah raga. Lalu, kemampuan membina hubungan antarpribadi, dan kemampuan memahami kemudian mewujudkan bisikan nalurinya secara tepat. Dan dari hari ke hari, Gardner masih menemukan faktor-faktor yang lain. Terakhir, setidaknya 20 kemampuan perlu dibuatkan tesnya guna melengkapi tes kecerdasan, katanya. Itu bila memang dibutuhkan sebuah tes guna memperoleh gambaran kemampuan seseorang dalam menghadapi hidup. Umpamanya diperlukan mengetes kemampuan kepemimpinannya, toleransinya terhadap sikap orang lain, kemampuan menyelesaikan konflik, dan kepiawaian analisa sosialnya. Ada perbedaan besar antara menjawab soal-soal pelajaran dan tantangan hidup, kata Dr. Robert Stenberg, rekan Gardner dari Universitas Yale. Yang pertama, katanya, persoalannya sudah jelas. Sedangkan dalam hidup, soalnya itu sendiri harus ditemukan sendiri. "Apakah soalnya mencari pasangan hidup atau pekerjaan baru, yang pertama-tama adalah menemukan pertanyaan untuk diri sendiri itu," katanya. Dan, katanya lebih lanjut, begitu seseorang melangkah mencoba menemukan persoalannya sendiri, ia akan dihadapkan pada sejumlah pilihan. Sementara bila orang itu telah mengambil tindakan memecahkan persoalan, sulit diketahui apakah itu jawaban yang terbaik. Dan kini, ada upaya membuat soal atau pertanyaan di dalam kelas yang lebih mencerminkan masalah dalam hidup. Penelitian Gardner dengan Proyek Spektrumnya itu mungkin tak akan cuma menghasilkan bentuk tes kecerdasan (atau apa pun namanya) yang hasilnya lebih memberikan gambaran kemampuan seseorang. Tapi, bisa jadi, akan mengawali satu revolusi kurikulum pendidikan. Dengan 20 faktor kemampuan yang ditemukan Gardner lewat TK si Judy, ahli psikologi dari Universitas Harvard itu itu bisa jadi akan mengubah apa itu rumusan berbakat, cerdas, dan kreatif. Kabar bagus bagi para orangtua yang sering heran mengapa anak mereka yang hasil tes kecerdasannya tinggi, dan angka rapornya mengagumkan, ternyata gagal dalam hidup -- dan tak bahagia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini