TAK semua orang menyukai Jimmy Carter. Tak semua orang suka pada
seorang yang terlampau banyak senyum meringis dan tiba-tiba jadi
presiden Amerika. Amerika adalah negeri besar dan kaya - dan
orang memang tak mudah bersimpati kepada sesuatu yang besar dan
kaya dan tersenyum terus-menerus. Mencurigakan.
Tapi mungkin sebab itulah Jimmy Carter diamat-amati dan disimak.
Orang memperhatikannya bahkan sejak mulai pagi itu, di rumahnya
di kota kecil Plains, setelah isterinya membikin dadar telor dan
Jimmy menggoreng ham, dan keduanya sarapan, lalu siap berangkat
ke Washington D.C., setelah mematikan kran dan listrik dan
menitipkan rumah. Hari itu ia dilantik jadi presiden.
Pidato pelantikannya tak mengesankan. Yang mungkin diingat orang
ialah bahwa ia, orang Kristen salih dari Georgia ini, mengutip
Wasiat Lama, pada ucapan Mikah tentang keadilan, belas-kasih dan
kerendahan hati.
Menurut ceritanya sendiri kemudian, ia sebetulnya ingin mengutip
ucapan Sulaiman - tentang perlunya rakyat merendahkan hati,
berdoa, dan berpaling dari perbuatan jahat mereka. Tapi staf
Carter menentang itu. "Seolah-olah anda, begitu terpilih jadi
presiden, menghukum orang lain di negeri ini", begitu kritik
mereka. Mereka tak mau Carter tampil sebagai Sulaiman dan
mengatakan bahwa "semua orang Amerika jahat".
Carter mengalah. Tapi mungkin ia tetap merasa: semacam pengakuan
dosa perlu bagi orang Amerika kini. Di sebuah pidato ringkas 27
Jauari 1977, di depan Annual National Prayer Breakfast ke-25,
ia berkata, bahwa salah satu buku yang sangat berkesan padanya
adalah The Ugly American. Buku ini, menurut Carter, bercerita
tentang "orang-orang dari negeri kita sendiri, yang seraya
merasa unggul tanpa dasar, menimbulkan kekacauan di mana-mana di
dunia, dan dengan sikap yang megah meremehkan orang lain karena
mereka bukan orang Amerika".
Bagi Carter, Amerika telah banyak berbuat salah. Memang inilah
saatnya bangsa itu merasakan apa yang dirasakan bangsa Eropa
sehabis perang dunia. Setelah melalui rawa-rawa Indocina dan
liku-liku gelap skandal Watergate, mereka seakan bicara seperti
penyair Soebagio Sastrowardojo dalam Daerah Perbatasan: "Lewat
dosa hanya kita bisa dewasa".
Dewasa memang satu proses pertemuan (kadang pahit) dengan diri
sendiri. Mungkin dari sinilah kita bisa menebak, kenapa banyak
bangsa baru yang belum mampu menderita dalam kritik, dan melihat
tangannya sendiri yang bergetah kotor. Si bekas terjajah, yang
baru dijahanami orang lain. seolah yakin kesucian telah terjamin
di pihaknya.
Tapi sampai kapan? Sampai kekerasan dan pembunuhan baru, sampai
dosa berulang lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini