Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jawa yang Menari Thailand

Retno Maruti menggelar lima repertoar tari klasik Jawa di Gedung Kesenian Jakarta. Ceritanya mengandung pitutur, renungan, cinta, dan banyolan lokal.

26 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia tidak membawakan karya cipta-annya sendiri. Dalam repertoar Bancak Doyok, ia menjadi Bancak, seorang punakawan, abdi setia Raden Panji Inu Kertapati dari Kerajaan Kediri. Ya, Bancak yang naik panggung Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) sendirian. Di antara gamelan laras pelog patet enem, suaranya me-lantunkan parikan: enak jadi pembesar, hidupnya terjamin.

Malam itu, pertengahan bulan lalu, dalam Bancak Doyok, Retno Maruti, 58 tahun, berpasangan dengan Surip Handayani yang menjadi Doyok. Para penonton pun tahu, repertoar itu ha-nya satu dari lima nomor yang telah dipersiapkan dosen Institut Kesenian Jakarta itu. Dalam pertunjukan bertajuk Portraits of Javanese Dance itu, ia memang hendak bercerita tentang perjalanan tari klasik Jawa melalui tari klasik Jawa. Maruti menyeleksi repertoar, memilih penari, bahkan melakukan rekonstruksi gerak. Suatu perjalanan yang dinamis.

Lihatlah Nusantoro, salah satu dari tarian lama yang direkonstruksi Ma-ruti. Oleh-oleh Gusti Haryo Prabu Winoto, putra Sri Susuhunan Paku B-uwono IX, yang diciptakan pada 1955, sepulangnya dari lawatan ke Bangkok. Sebuah karya yang nyaris tak ditampilkan lagi. Gerakan-ge-rak-annya hanya tersimpan dalam me-mori sejumlah orang yang dulu pernah menarikannya. Maruti menelusuri ingat-an itu, me-nyimak, mencatat dan mencatat. Hasilnya: tarian yang tidak se-penuhnya Jawa.

Nusantoro adalah kombinasi gerak-an tari tradisional senusantara de-ngan gerakan tari tradisional Thailand. Ma-lam itu, Nusantoro ditampilkan pe-nari Andreas Sigit Sartono dan Guntur Kusumo dengan gangsaran dan ladrang Nusantoro sebagai pengiringnya. Salah satu ”barang impornya” adalah banyaknya gerakan ngayang—gerak yang jarang ada dalam Jawa Klasik. Juga, kostumnya yang menggunakan warna khas Thailand: ku-ning dengan irahan (topi) runcing di ba-gian atasnya, tanpa baju, berkalung ulur, dan celana tiga perempat.

Soedarsono, budayawan yang juga peneliti seni pertunjukan Indonesia, pernah berkesimpulan: secara garis besar perkembangan seni pertunjuk-an tradisional Indonesia sangat dipengaruhi kontak dengan budaya besar dari luar negeri. Itu bukan gejala baru sama sekali. Setelah Nusantoro, ada lagi Wireng Gisruh, juga Prawiro Woro yang gerakannya keindia-india-an.

Ada Nusantoro melintasi batas ne-geri, ada juga Klana Sembunglangu yang melampaui batas waktu. Tari Klana menceritakan Prabu Klana Sewandana yang sedang kasmaran de-ngan Dewi Sekartaji. Sang Prabu punya seorang abdi setia, lucu, kadang ko-nyol. Sembunglangu namanya. Da-lam cerita, Sembunglangu tempat cu-rahan hati Prabu Klana. Wajah-nya dicat putih—wajah tanpa ekspresi. Tu-buhnya yang tanpa kostum digambari kaos singlet. Dalam ba-nyolannya, Sembungla-ngu sempat menari breakdance, rap, bahkan rock. Penata gerak Klana Sembunglangu me-madukan gaya Yogya dengan gaya Solo, termasuk angkatan kaki si penari.

Terakhir, tari Kumala Bumi karya Rury Nostalgia, putri tunggal Maruti. Inilah repertoar yang menggunakan pakem dasar bedhaya dengan sem-bilan penari putri. Kos-tumnya merah-putih dengan model busana Cina; rambut disanggul ke atas dengan hiasan stik mungil dan monte berbentuk pita. Masing-masing penari membawa dua kipas berwarna merah. Pada adegan pe-rang, mereka memainkan-nya dengan membuka tu-tup kipas itu dengan gerakan serempak hingga menimbulkan suara ”srok-srok”.

Secara keseluruhan per-tunjukan itu memang indah dan menarik. Maruti cermat mengemas pethi-lan tari itu dengan konsep pertunjukan wayang. Dari mulai tampilnya para kesatria, goro-goro, sampai adegan perang (da-lam tarian Kumala Bumi). Sayang, stem-pel klasik Jawa atau tradisionalnya semakin ke belakang semakin luntur, tertutup kostum glamor dan gerak rancak para penari. Maruti memang tidak membawakan karya-karyanya sendiri.

L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus