Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Problem orang tua, senja yang muram

Masalah perawatan orang usia lanjut di as dan negara-negara barat yang biasa di tempatkan di rumah jompo dengan biaya yang cukup mahal, rumah jompo bisa dianggap sebagai post terakhir yang menakuntukan. (sel)

19 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA merasa dadanya sakit. Lalu terjatuh, ketika berusaha berdiri dari kursi. Terjatuh lagi ketika, setengah merangkak, mencoba mencapai telepon. Lalu terkapar semalaman. Tetapi hari masih berlanjut baginya. Nenek ini, berusia 80 tahun, belum lagi sampai pada ajalnya. Seorang adiknya kebetulan berkunjung ke situ -- persis besoknya -- dan menemukannya sedang berjuang melawan serangan jantung ringan. Sesudah itu dokter melarang nenek ini untuk hidup sendirian. Itu sebuah kisah Amerika. Bisa juga disebut kisah khas negara-negara Barat. Mengapa nenek 80 tahunan itu, yang sudah beberapa kali mendapat serangan jantung, masih berusaha hidup sendirian di sebuah apartemen. Mengapa anak-anak, saudara, atau para famili begitu tega? Nenek itu kemudian memang tinggal bersama anak wanitanya, berusia 49 tahun dan sudah berkeluarga. Tetapi bukan tak ada problem. Si nyonya rumah bekerja. Karena itu, untuk keperluan sang nenek, didatangkan seorang perawat. Gaji perawat di sana bukan main-main: US$ 400 seminggu. Tapi sang nenek konon rewel -- menurut anaknya. Maklum orang tua. Perawat demi perawat berhenti -- tak tahan, atau dipecat sang nenek sendiri. "Setiap kali ada saja alasannya," kata anaknya mengadu. Maka tak ada jalan lain: ibu lanjut usia itu dipindahkan ke rumah jompo. Mula-mula ke rumah jompo yang tanpa pelayanan khusus (sang nenek masih bisa mengurusi dirinya sendiri), dan kemudian, ketika ia mulai linglung, ke rumah jompo dengan perawatan. Yang terakhir itu hampir tak bisa dibedakan dari rumah sakit. Di sini pula seorang penghuni sama sekali kehilangan kebebasannya: diperlakukan sepenuhnya sebagai orang papa. "Kapan aku bisa keluar dari sini, dan mengurusi diriku sendiri?" tanyanya setiap kali. Ia tak berani menawar kemungkinan untuk kembali tinggal bersama salah seorang anaknya. Ia tahu mereka semua sibuk. Amerika Serikat, dan sejumlah negara maju, memang menghadapi masalah yang bagi kita bisa terdengar janggal: bagaimana mengurus orang-orang lanjut usia. Problemnya: perkembangan jumlah mereka itu "mengkhawatirkan". Catatan Biro Sensus AS menunjukkan, pada 1980 kelompok usia lanjut (65 tahun ke atas) meningkat persentasenya sampai tiga kali -- dihitung dari 1900. Itu terutama karena, tentu saja, kemajuan pengobatan menghadapi penyakit usia lanjut -- bila dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, misalnya. Dewasa ini orang tua yang mendapat serangan jantung atau patah tulang masih dapat melanjutkan hidupnya kendati dengan kondisi yang sangat lemah. Dari 26 juta orang berumur 65 ke atas, 40% ternyata menderita cacat jasmani -- atau mental -- kronis. Dan di sana mereka itu tetap hidup. Tahun 1965 pemerintah AS menurunkan dana khusus sebesar US$ 1 milyar untuk mencegah berbagai penyakit orang tua. Program ini berhasil. Dan 18 tahun kemudian -- sekarang ini -- sukses itu membuahkan akibat lain: tuntutan perawatan. Dan pemerintah agaknya tidak sigap menjawab masalah itu. Satu contoh: saat ini lebih dari 50% orang tua yang tidak menderita penyakit apa pun terpaksa bermukim di rumah sakit. Masalahnya: rumah jompo penuh. Orang harus menunggu satu dua tahun untuk mendapat tempat. Sebaliknya, 25% tempat tidur di rumah sakit umum ternyata masih kosong. "Masalah usia lanjut kini sudah sampai ke masa krisis," ujar Claude D. Pepper, anggota parlemen dari Partai Demokrat dan ketua Komisi Kesehatan dan Perawatan Usia Lanjut. Wakil rakyat itu beranggapan, bila Amerika Serikat tidak memperhatikan masalah ini, setiap orang Amerika akan kehilangan keyakinannya menghadapi masa tua. Ini, dianggap Pepper, akan "mengendurkan daya produksi nasional." "Ketakutan terbesar di Amerika Serikat, dewasa ini, adalah menjadi tua, kehilangan pikiran, dan dicampakkan ke rumah jompo," ujar dr. Robert N. Butler, ketua Bagian Geriatrik Mt. Sinai Medical School, New York. Ketakutan ini, menurut dia "Melebihi ketakutan pada kanker." * * * Walau ayahnya berumur 85 tahun dan ibunya 78 tahun, seorang dokter yang tinggal di New York, berusia 45 tahun, bisa hidup damai dengan kedua orangtuanya selama hampir 20 tahun -- sejak si ayah berusia 65 tahun. Tiga tahun yang lalu sang ayah mendapat stroke, serangan jantung ringan. Dan, tiba-tiba pula, sang ibu memperlihatkan gejala pikun yang serius. "Pikiran ayah saya sebenarnya masih cukup baik, walau badannya lemah. Sedangkan Ibu, kendati pikun, tubuhnya masih sehat," ujar dokter itu. "Tetapi Ibu mulai melakukan hal-hal seperti meletakkan lap di kompor menyala. Ayah, yang sebenarnya masih sadar penuh, tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegahnya." Masalah pun timbul. "Kami membicarakan kemungkinan memisahkan mereka. Saya dan istri saya mengambil Ayah, sedangkan adik perempuan saya kami minta mengambil Ibu." Kendai begitu, saudara perempuan sang dokter ternyata menolak. Ia bilang ia tak sanggup mengatasi tingkah laku ibunya, dan khawatir "kena tekanan batin". "Karena saya dan istri saya bekerja, kami tak dapat mengambil keduanya," ujar dokter itu pula. Rumah jompo kemudian merupakan penyelesaian. Dan mereka memilih sebuah rumah jompo di New York -- menunggu beberapa lama, sampai dua orang penghuninya meninggal. "Kami beruntung, karena saya staf pada rumah sakit setempat yang bertanggung jawab pada masalah kesehatan di rumah jompo itu," kisah si dokter. Ada kenyataan lain. Di samping mempunyai daftar menunggu yang cukup panjang, rumah jompo di AS juga terkenal tidak ramah. Kebanyakan hanya mau menerima orang gaek yang sudah papa, dengan alasan mereka tidak rewel -- itu pun dengan catatan: mereka masih bisa membayar ongkos perawatan. Padahal orang berusia lanjut yang sudah begitu itu harusnya ditempatkan di rumah sakit jompo dengan perawatan khusus, atau di rumah sakit. Juga biaya perawatan di rumah jompo tidak murah. Rata-rata US$ 1.500-US$ 2.000 sebulan. Di samping itu, sudah menjadi rahasia umum, rumah jompo menarik semacam sumbangan -- sebenarnya tidak sah -- berupa uang muka, sebesar US$ 10.000. Alasannya, tunjangan pemerintah tidak cukup. Baik para calon penghuni maupun anak-anak mereka yang tak mau repot itu tak punya pilihan lain kecuali membayarnya. Tak jarang seorang tua terpaksa menguras seluruh tabungan yang disimpannya bertahun-tahun, untuk sebuah masa akhir yang tak berada di tengah anak-cucunya sendiri. Dan, ketika tabungan habis buat pembayar biaya bulanan, ketika anak-anak mereka pun tak sanggup -- atau tak mau -- membayar, muncullah tragedi lain. Orang-orang yang tak punya duit lagi memang mendapat tunjangan pemerintah. Tapi karena jumlahnya pas-pasan, rumah jompo yang normal biasanya tidak tertarik. Dan mereka pun dicampakkan ke rumah jompo dengan perawatan khusus atau ke rumah sakit. "Biasanya tidak diperlukan waktu lama untuk mengubah status seorang penderita dari perawatan biasa ke perawatan khusus," kata Mary B. Barret, 68 tahun, seorang pensiunan profesor. Yang jadi masalah: rumah jompo khusus itu konon sebuah neraka. Kendati terdapat sejumlah perbaikan dalam sistem perawatan rumah-rumah seperti itu, penempatan orang tua di tempat yang begini jelas merupakan keterpaksaan yang mengandung makna kesewenang-wenangan dan pengabaian. Tanpa daya para keluarga melihat orangtua mereka semakin jatuh ke lembah kepikunan. Tak ada kegiatan yang sehat di tempat seperti itu. Gunjingan antarperawat dan hardikan terhadap penghuni konon hal biasa. Katakan sajalah tak ada -- atau kurang -- rasa kemanusiaan. "Ada banyak pengaduan tentang perawat kesehatan yang tidak becus," kata Mary B. Barret. "Tapi pengurus rumah jompo senantiasa menghindar membicarakannya." Sebagian besar dari "ketidakadilan" itu dituliskan Barbara Silver Stone dan Helen Kandel Hyman dalam buku You and Your Aging Parents. Apa kata mereka kepada para orang tua calon penghuni? "Anda bukan hanya menyerahkan rumah tangga dan harta benda Anda, tapi ternyata juga kemerdekaan Anda. Rumah jompo adalah pos terakhir yang menakutkan." Tak aneh bila orang tua di Amerika Serikat sebagaimana orang tua di negeri mana pun, sebenarnya lebih suka menetapkan "pos terakhir" itu di rumah masing-masing. Ikhtiarnya: mendatangkan perawat ke rumah -- bagi yang kaya, tentu. Atau mengandalkan pekerja sosial dan badan-badan sosial -- dengan catatan, karena mereka itu hanya menjenguk sewaktu-waktu, si orang tua bisa mati tak ketahuan. Betapapun, untung juga bahwa menurut catatan statistik, 84% orang tua di AS tak lagi punya tunggakan rumah. Artinya kredit rumah mereka, yang sering boleh dicicil sepanjang hidup, sudah lunas. Yang dramatis, persis pada saat beban cicilan hilang, dan rumah menjadi hak milik sah, sang pemilik harus meninggalkan sarang yang dipersiapkannya seumur hidup itu. Memang ada sejumlah organisasi sosial yang mencoba membantu para usia lanjut, seperti sudah disebut. Organisasi itu tidak hanya menyediakan perawat yang mengunjungi mereka, malahan kadang-kadang secara bergilir mengirimi makanan, misalnya. Namun, di samping pelayanan mereka itu terbatas siang hari -- dan tidak tiap hari, tentu -- organisasi pelindung ini umumnya pilot-project yang dibiayai pemerintah, yang kenyataannya hilang-hilang timbul. Di New York, misalnya, sejumlah proyek dihentikan karena dianggap tidak mengenai sasaran: banyak orang tua, atau keluarga mereka, yang menyalahgunakan pelayanan gratis itu. Dari survei terungkap, tiga perempat orang tua yang memperoleh santunan organisasi itu ternyata bukan yang berhak mendapatkannya. Soalnya, "Banyak keluarga yang ingin melepaskan tanggung jawab mereka atas orangtua sendiri yang berusia lanjut," ujar Robert S. Brill, direktur salah satu proyek percobaan di New York. Toh ada juga organisasi yang tersisa -- yang umumnya bergerak di lingkungan-lingkungan sempit. Jumlah klub semacam ini cukup banyak: sekitar 800 di tiap negara bagian. Program bantuannya, kendati terbatas, kadang-kadang unik. Misalnya menyelenggarakan paket wisata. Atau mengusahakan keringanan tiket bagi keluarga yang bersedia berlibur bersama orangtua mereka yang berusia lanjut. *** Di tengah retorika bahwa orang Amerika umumnya mengabaikan orangtua mereka, penelitian toh menunjukkan bahwa para anggota keluarga tetap merupakan pemberi perawatan terbesar. Dari para orang tua yang mempunyai keluarga -- 25% dari mereka dinyatakan tak punya keluarga -- 80%-nya hidup dekat atau bersama anak-anak mereka. Tetapi, memang, perubahan sosial dan ekonomi telah mengubah pula sikap keluarga Amerika. Misalnya, karena sebagian besar wanita Amerika juga bekerja, peran tradisional anak wanita atau menantu wanita sebagai pemberi layanan lalu hilang sama sekali. Lagi pula rumah-rumah dan apartemen sering terlampau kecil untuk menampung lebih dari satu keluarga. Patut pula dicatat, mobilitas kerja tak jarang memaksa keluarga Amerika berpindah-pindah. Di samping itu, boleh kita tambahkan, karena orang Amerika umumnya hanya beranak satu dua orang, bahkan ada yang tak mau anak sama sekali (dan ini problem kita pula di masa depan), maka tak ada istilah "pembagian anak": satu anak dititipkan pada nenek di kampung, misalnya, dan bersekolah di sana. Atau, setidak-tidaknya, di Amerika boleh dikatakan sudah tak ada "sanak famili", "karib kerabat", atau "kaum", dalam pengertian sebuah ikatan yang akrab seperti di kalangan kita. Karena di Amerika -- dan Eropa -- pengertian "keluarga" hampir-hampir sudah terbatas hanya pada rumah tangga (sehingga seorang anak yang diadopsi pun harus diputuskan hubungannya dengan orangtuanya yang asli), tak heran bila di sana berkembang citra: usia lanjut adalah gangguan yang sering merusakkan suatu rumah tangga. Dalih mereka yang tak suka merawat orangtua sendiri, padahal sebenarnya bisa, ialah: takut melakukan kesalahan. Di sana orang sering bilang, kursus merawat bayi ada, tapi kursus merawat orang tua tidak ada. Padahal, alasan sebenarnya: takut orangtua itu menjadi beban. Dan itu pula kekhawatiran orang-orang tua sendiri -- takut menjadi beban anaknya. Paula Brandis, 86 tahun, misalnya. Ia tinggal di Kittay House, sebuah rumah jompo yang terbilang baik di Bronx, New York. Padahal ia mempunyai anak di Ann Arbor, Michigan -- dengan rumah yang cukup mewah. Tak ada keinginannya sedikit pun untuk tinggal di rumah anaknya. "Tentu saja enak tinggal bersama anak sendiri," katanya, "tetapi mereka 'kan harus bekerja, dan saya harus duduk sendirian di rumah yang besar." Orang tua itu menambahkan, kawan-kawannya di rumah jompo di Bronx lebih penting ketimbang anak-anaknya. Adapun Elizabeth Bartsch terpaksa tinggal sendirian di rumahnya, setelah suaminya meninggal di pangkuannya dua tahun lalu. Sebenarnya sulit bagi sang nenek untuk tinggal sendirian. Usianya sudah 83, dan ia menderita amnesia. Karena itu, anaknya yang baik hati memintanya meninggalkan rumahnya di Cresshill, New Jersey, dan pindah ke rumah si anak di Woodcliff -- sekitar 15 mil. Allan, putra laki-laki itu, mengunci rumah ibunya, lalu mengantarnya berpamitan pada para tetangga. Tapi, 14 bulan kemudian, Nenek Bartsch kembali ke New Jersey. Ia tak betah. "Dia sulit sekali menyesuaikan diri di rumah kami," kata sang putra. "Dia selalu merasa mengganggu kami, karena selalu ingin melakukan sesuatu menurut caranya sendiri." Agak berdiplomasi, Nenek Bartsch bilang, ia hanya tak suka pada lingkungan baru. Ia senang di New Jersey karena daerah itu dikenalnya. "Saya masih mempunyai sepasang kaki yang baik," katanya. Yang sebenarnya terjadi, Nenek Bartsch tak cocok dengan menantunya. Dan ia khawatir ketakcocokan itu akan meretakkan rumah tangga anaknya. "Rumah saya bukan rumahnya. Dua wanita dalam satu rumah, itu soalnya," ujar sang putra kemudian, lebih jujur. Dulu memang ada pendapat, mengurus orangtua adalah masalah kaum wanita. Pendapat itulah yang kini luntur di Amerika. Para wanita merasa tak bisa membagi waktu. Terlalu repot mengurus anak-anak, masih ditambah lagi mengurus orangtua. "Dengan kata lain, saya merasa ditipu," ujar seorang wanita yang tak mau namanya disebutkan. "Kita dibatasi mempunyai anak -- dianjurkan mempunyai anak dalam jumlah kecil saja. Tapi setelah anak-anak itu dewasa, kerepotan lain datang: harus mengurus orangtua." Memang, orangtua sering rewel. Pada usia lanjut, seseorang acap menjadi ekstrem: yang dulunya otoriter kepada anak-anaknya, misalnya, pada masa tua akan menjadi lebih keras. Dan anak-anak, yang sekarang sudah bukan bocah-bocah lagi, yang sudah melihat kerapuhan jasmani orangtua mereka, akan merasa diperlakukan sewenang-wenang. Lalu murka. Apalagi kalau istrinya, atau suaminya, pada dasarnya memang tidak akrab. Dr. Robert J. Weiss, ahli jiwa dari Universitas Columbia, membandingkan kaum lanjut usia dengan para remaja. "Mereka sebenarnya ingin bebas, tetapi secara fisik sudah tak bisa melakukan keinginan mereka," katanya. Seperti remaja, menurut Weiss, orang berusia lanjut umumnya tak dapat menilai kelemahannya sendiri. "Mereka menjadi marah karena dibatasi anak-anak mereka." Tetapi Dr. Barry Gurland, ahli jiwa dan direktur Centre for Geriatric and Gerontology New York, menyatakan bahwa rasa protes pada sang anak sebenarnya sering diiringi rasa bersalah. "Setiap bulan, setiap minggu, setiap hari, saya meliat ibu saya mati perlahan-lahan," ujar seorang wanita dengan nelangsa. Tapi ketika ibunya meninggal, dengan jujur wanita itu mengakui, ia lega. Bukan cuma karena ibunya lepas dari penderitaan, tapi juga karena ia sendiri terlepas dari beban. Nah, dalam keadaan emosional yang campur aduk itulah wanita ini merasa bersalah. Tetapi, di mana pun juga di dunia, suatu keadaan tidak boleh dipukulratakan. Di pedalaman Amerika misalnya, hubungan anak dan orangtua masih terasa manusiawi. Frank Tugend, pensiunan buruh tambang Pennsylvania, bahagia karena anak-anak dan cucu-cucunya hidup bersama-sama. Ketika ia uzur dan menderita penyakit, keluarganya tidak mencampakkan dia ke rumah jompo atau ke rumah sakit. Frank Tugend bilang kepada anak-anaknya, ia ingin mengakhiri hidupnya di rumah. Para anak dan menantu meluluskan permintaan itu. Dan Frank benar-benar menutup masa senjanya dengan tenang di rumah, ditunggui semua anak dan cucu. Masa uzur Frank lebih menjadi istimewa karena Mark dan Dan Jury, cucu-cucunya, membuat sebuah dokumentasi lengkap -- berwujud foto-foto dan rekaman pembicaraan. Tahun 1976 dokumntasi itu dibukukan, dengan judul Gramp. Beberapa dari foto itu menjadi ilustrasi tulisan ini, dan Anda bisa melihat. *** Perasaan orang Amerika -- dan masyarakat Barat umumnya -- terhadap orangtua sebenarnya belum berubah jauh. Tapi cara hidup, kesibukan, dan struktur masyarakat mendesak mereka ke sebuah sudut yang sulit. Di sana orang lanjut usia malah secara formal dihormati. Bis-bis di Amerika, misalnya, menyediakan tempat khusus di bagian depan untuk orang lanjut usia bersama penumpang yang cacat, hamil, atau sakit -- dan tak seorang pun, yang tak termasuk kategori itu, berani duduk di situ tanpa diam-diam dipelototi para penumpang lain. Namun, memang, itu lebih merupakan sopan santun umum -- bagi orang Barat yang diketahui sangat sadar etiket. Bila bis berhenti, dan seorang tua tertatih-tatih turun, orang-orang akan berdiri tertib di belakangnya -- tapi dari mereka akan terdengar suara decap dan desah, menunjukkan kekesalan. Karena itu orang gaek biasanya akan turun paling akhir -- dan bis akan dengan setia menunggu. Juga di jalan umum, atau ketika memasuki pintu toserba, mereka akan menepi dulu sampai yang gagah-gagah pada lewat. Tak jarang kelihatan, di satu kota di Eropa, serombongan orang tua -- mungkin dari rumah jompo -- berjalan di trotoar dengan mengambil bagian yang paling pinggir, beruntung-untung satu per satu seperti para petani di galengan sawah, agar lalu lintas tidak "terganggu". Di kereta api bawah tanah, di New York, misalnya, seorang lanjut usia tak akan berani naik pada jam-jam sibuk -- tentu saja. Tapi ia pun harus hati-hati justru bila kereta kosong: bisa menjadi bulan-bulanan anak-anak berandalan, yang suka mempermainkan orang tua di gerbong-gerbong sepi semata-mata untuk kesenangan, sambil menikmati ketakutan mereka. Jumlah anak brandalan selalu tak sebanyak popularitas mereka, tentu saja, dan di samping itu ada polisi -- kalau kebetulan tahu. Tapi fiil seperti itu, yang tidak terbayangkan (atau belum?) di kalangan remaja kita, boleh mewakili ekses paling buruk dari proses industrialisasi tanpa keberhasilan dari segi pemeliharaan rohani -- paling tidak di kota-kota metropolitan, tempat masyarakat pasca-industri menunjukkan cirinya yang paling keras. Bukan sifat dasar suatu bangsa, tentunya. Seorang muda kota besar Eropa yang ditanya, "Mengapa orang tua di sini seperti tak dihormati," mula-mula terkejut. Kemudian, katanya, "Kita 'kan akan mendapat perlakuan seperti itu pula nanti, bila kita tua?" Jadi, sudah wajar. Fair. Tidak aneh bahwa mereka tidak berkata, misalnya, "Bersikap baiklah kepada orang tua, seperti Anda sendiri senang diperlakukan dengan baik pada waktu tua." Apalagi kepada orangtua sendiri, sebagai balas budi, seperti diajarkan agama. Malah banyak dari kita yang percaya, seperti orang Cina, adanya orangtua di rumah akan mendatangkan berkah. Mungkin Anda lalu akan bersyukur. Atau bangga. Tapi benarkah kita tidak sedang menghadapi problem, di zaman yang berubah ini? *** BOKS SEKARAT DI MASA TUA JOHN Lee Maden seorang pahlawan yang terbuang. Ia seorang veteran Perang Dunia II. Namun pada masa tua terhempas dan dilupakan: menjadi gelandangan dan alkoholis kelas berat. Bendera Amerika yang disampirkan pada peti jenazahnya pada upacara pemakaman secara militer -- di Miami, 1975 -- tak lebih dari formalitas, seperti seorang petugas sensus mencoret nama pada sebuah daftar. Tak ada renungan mengenang jasanya, tak ada tangis mengiring kepergiannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus