Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

"kampung naga" rumah-rumah para leluhur

Masyarakat kampung naga desa neglasari, terkenal sangat patuh memegang tradisi, adat istiadat dan kepercayaan, sebagai warisan leluhurnya, yang sampai sekarang masih tetap bertahan.(sel)

19 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU sarung-sarung itu dilemparkan ke tepi sungai, lebih dari seratus lelaki tampak telanjang bulat. Berlarian mereka terjun ke Sungai Ciwulan yang airnya cokelat. Menerjang arus di tengah serakan batu-batu besar, tubuh mereka tampak tenggelam lalu muncul lagi di permukaan sungai yang lebarnya sekitar 15 meter itu. Mereka menggosok bagian badan di atas pusar dengan leuleueur, cairan dari campuran akar dan buah tertentu. "Memakai sabun pada peristiwa ini dilarang," ujar seorang lelaki yang masih menggosok badannya dengan cairan berwarna merah muda itu. Setelah menyelam sekali lagi dan menggosok badan, kali ini tanpa leuleueur, mereka naik ke darat. Tanpa mengeringkan badan, mereka pada menyambar kain yang mereka campakkan tadi. "Kami baru melakukan bebersih," ujar Djadja Sutedja, 54 tahun, kuncen -- pemimpin adat -- di Kampung Naga. Itu merupakan awal rangkaian upacara hajat sasih -- penghormatan kepada leluhur, dilakukan enam kali setahun. Kampung itu terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, 30 km dari Tasikmalaya dan 26 km dari Garut, Jawa Barat. Dan upacara itu berlangsung pada pekan ketiga bulan Maret lalu, bertepatan dengan pertengahan Jumadil Akhir. Dari udara, rumah-rumah kampung yang gigih mempertahankan keaslian ini tampak bak tenda-tenda hitam, berdiri kukuh, semuanya sejajar dalam posisi timur-barat. Ketinggian permukaan tanah yang berlapis-lapis membuat formasi rumah semakin menarik -- terasa ada ritme. Di antara rumah-rumah menyembul warna hijau, warna daun-daunan. Formasi rumah-rumah ini bahkan terlihat jelas dari tepi jalan raya Tasikmalaya-Garut -- yang hanya sekitar 500 meter di selatan kampung, dan lebih tinggi dari kampung sekitar 75 meter. Karena itu, untuk mencapai rumah-rumah yang mempunyai ketinggian sekitar 488 meter di atas permukaan air laut ini orang harus melewati sekitar 500 anak tangga. Terbuat dari batu yang dilapis semen, tangga itu menuruni bukit yang terjal dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Dari muara tangga terbentang jalan batu di antara sawah-sawah. Indah, memang. Sungai Ciwulan, yang biasa digunakan untuk bersuci, mengalir di sisi kampung sebelah utara hingga ke timur. Sedangkan di arah barat dan timur, perbukitan yang dimanfaatkan untuk persawahan berdiri mengepung. Selain 94 rumah penduduk, di kampung yang di luarnya dilingkungi kolam ikan itu terdapat sebuah masjid, satu balai kampung, dan satu bangunan yang disebut Bumi Ageung. Ketiga bangunan itu menjadi pusat formasi rumah-rumah. Di muka masjid terdapat lapangan yang biasa dipergunakan anak-anak bermain. Di masjid, balai kampung, dan lapangan itu kontak sosial penduduk terjalin. Rumah pimpinan adat, kuncen, terletak di sebelah kiri masjid. Sekeliling kampung dipagari bambu dan pepohonan lain, hingga batas pinggirnya jelas kelihatan. Di tepi kolam-kolam ikan terdapat saung lisung, tempat menumbuk padi, leuit, tempat menyimpan padi, serta ruangan-ruangan kecil yang terbuat dari anyaman bambu dan dialiri air pancuran, yang berfungsi sebagai kamar mandi, wc, dan tempat cuci pakaian. Tak ada penduduk yang punya kamar mandi pribadi. Di sekitar kolam itu pula dibangun kandang kerbau atau kambing. Daerah ini termasuk wilayah kotor, sedangkan daerah tempat tinggal dan bangunan umum merupakan wilayah bersih. Ini memang kampung orang Islam, yang kehidupan sehari-harinya akrab dengan air (berwudu, mencuci najis, mandi), sehingga yang kotor dan yang bersih memang tidak bercampur baur. Lebih dari itu, adanya kolam, pancuran, leuit, saung lisung, rumah kuncen, masjid, lapangan, bale, dan rumah suci, "Menunjukkan ciri-ciri pola perkampungan khas Sunda," yang terakhir ini ujar Drs. Suhandi S.H.M., dosen Jurusan Anthropologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Sekitar 335 orang tinggal di Kampung Naga itu. Mereka mengaku keturunan Sembah Dalem Singaparna. Konon, moyang ini dahulu prajurit Mataram yang malu pulang setelah gagal menyerbu Batavia pada zaman Sultan Agung. Selain lebih dari 300 orang yang kini berdiam di dalam, ratusan keturunan lainnya berada di luar kampung. Dan kelompok itu sendiri mereka sebut Sa Naga, artinya sekampung Naga, seadat Naga. Orang-orang Sa Naga terkenal sangat patuh memegang tradisi. "Pikiran saya sedang ruwet hari ini," ujar Lukanta, 54 tahun, sambil mengenakan sarungnya kembali. Badannya yang hitam kurus itu masih basah. "Saya kehabisan uang." Berjemur sebentar di sinar matahari pagi yang belum menyengat, ketua RT Naga selama 11 tahun itu bergumam, "Tapi saya tak berani meninggalkan upacara." Bersama puluhan lelaki Sa Naga yang lain, Lukanta duduk bersila di masjid yang terletak di tengah-tengah perkampungan. Dan seperti orang-orang lain ia pun memakai jubah putih yang panjangnya sampai ke lutut, menutup sebagian kain sarung pelekatnya. "Seperti pada waktu mandi, memakai celana dalam sekarang juga tidak boleh," ujarnya. Ia membetulkan totopong, ikat kepala dari batik di kepalanya. Tadi ia sudah berwudu, dan sekarang tak henti-hentinya merokok. Gulungan kecil yang terbuat dari tembakau dan daun enau kering itu disedotnya. Sesekali dibetulkannya beubeulit, ikat pinggang dari kain putih, yang melilit pinggangnya yang kecil. Masjid kampung Naga yang berukuran sekitar 5 x 10 meter itu kini tampak bernada putih oleh warna jubah belacu yang dikenakan orang-orang. Di sana-sini asap rokok bertempias mencari udara yang lebih bebas. Di samping kanan orang-orang yang bersila itu tergeletak sapu lidi bertangkai kayu -- cukup panjang. Mereka menunggu saat berangkat ke makam Eyang Singaparna yang terletak di pucuk bukit, hanya sekitar satu kilometer dari masjid. Di barat rumah ibadah itu terdapat bangunan lain -- besar, menjulang cukup tinggi, dan memang berdiri di tanah dengan permukaan yang lebih tinggi dari tanah masjid. Berukuran sekitar 3 x 6 meter, rumah beratap ijuk itu berdinding anyaman bambu yang disebut sasag -- potongan bambu yang dianyam berselang-seling horisontal dan vertikal. Sekeliling bangunan itu dipagari bambu. Dan penggunaan pagar bambu ini ternyata mempunyai maksud. "Bangunan yang keramat memang selalu kami pagari bambu," ujar Lukanta. Di latar belakang rumah besar itu tampak pohon-pohon tinggi dan rimbun. Bangunan yang disebut Bumi Ageung itu memang membersitkan misteri. Dan memang, di Bumi Ageung inilah senjata pusaka Kampung Naga -- berupa tombak dan keris disimpan. Sehari-hari bangunan ini ditunggui seorang wanita yang sudah tak haid lagi. Dari sini pula, ternyata, sesajen upacara diambil. Djadja Sutedja, sang kuncen, keluar pertama kali. Membawa anglo kecil berisi kemenyan terbakar, ia berjalan paling depan. Di belakangnya, lelaki yang dianggap tetua kampung mengiringnya dengan membawa tampah berisi lemareun. "Itu sesajen untuk Eyang Singaparna," ujar Lukanta -- sambil memperinci lemareun yang antara lain: sirih pinang, kapur, gambir, tembakau, dan daun saga. Konon Eyang memang suka ngalemar, alias punya hobi makan sirih. Sambil terus berkisah Lukanta tegak berdiri, sementara yang lain-lain sudah ada yang berjalan ke luar. Bertelanjang kaki, dan menyandang sapu lidi, mereka menuju makam Eyang Singaparna itu. Berbaris satu-satu. "Sekarang kami akan membersihkan makam dengan sapu ini," ujar Lukanta, lalu lenyap di belokan. Mereka menempuh jalan yang sempit, berbelok tajam, dan menanjak. Sementara itu anak-anak kecil tetap saja bermain bola di lapangan di muka masjid. Perempuan-perempuan menyaksikan semuanya itu dari depan rumah sambil berceloteh. Memasuki makam seorang diri, di tengah bau dupa yang keras, kuncen melakukan unjuk-unjuk meminta izin kepada Eyang Singaparna -- menghadap ke arah barat. "Barat itu kiblat," ujarnya seusai upacara. Semua acara berjalan lancar. Ayat-ayat Al quran dibaca begitu pembersihan makam dengan sapu lidi selesai dilakukan. Yang menarik, sebelum acara berakhir para peserta berjalan ngagengsor -- sambil jongkok -- menyalami kuncen satu per satu, dan terus keluar. Kuncen-lah orang terakhir yang meninggalkan makam. Dan kini masjid kembali didominasi warna putih. Para pengikut upacara dengan jubah putih mereka kembali duduk, setelah menyimpan sapu lidi di para-para rumah ibadah itu. Pemandangan selanjutnya: lewat jendela yang sempit, ratusan tumpeng yang berisi nasi dan lauk pauk serta buah-buahan mengalir masuk, dan mengalir ke hadapan tuannya masing-masing. Tumpeng-tumpeng itu disiapkan oleh kaum perempuan. Dan perempuan tidak mereka bolehkah untuk ke masjid, itulah sebabnya. "Kami memohon berkah agar diberi keselamatan dan rezeki yang cukup," ujar Sahidin, 65 tahun, keturunan Naga yang tinggal di Desa Caliyang, enam kilometer jaraknya dari Kampung Naga. Polisi desa yang sudah pensiun ini mengaku menghabiskan Rp 2.500 untuk membuat nasi tumpeng "Saya selalu taat kepada adat nenek moyang," ujarnya, sambil mengunyah ikan emas dan nasi putih. "Kepatuhan mereka pada adat memang mengherankan," ujar Suhandi, dosen antropologi yang tadi, yang juga pernah meneliti kampung ini. "Seminggu tiga hari mereka melakukan upacara nyepi." Waktu nyepi itu, hari Selasa, Rabu, dan Sabtu, mereka akan membisu jika ditanya tentang riwayat nenek moyang dan Kampung Naga. Kepatuhan lain: "Mereka tak berani menyebut Kecamatan Singaparna di Tasikmalaya." Djadja Sutedja sendiri mengemukakan, "Nama itu sama dengan nama leluhur kami. Kami menyebut kecamatan itu Galunggung." Padahal, hanya sekitar 500 meter dari mereka pengaruh peradaban modern sudah terasa. Jalan besar yang menghubungkan Tasikmalaya dengan Garut itu setiap hari ramai dilewati kendaraan bermotor yang memungkinkan orang melompat sekaligus ke kehidupan modern. Pergi ke kota, paling tidak. Lihatlah gaya hidup masyarakat di luar Kampung Naga sendiri, sepanjang jalan raya itu. Rumah tembok, pesawat televisi, mobil, pakaian warna-warni, dan kegairahan untuk mengejar materi. "Kami mempunyai falsafah hidup," ujar Djadja Sutedja membela diri. Falsafah itu: Teu Saba, Teu Soba. Teu Banda, Teu Boga. Teu Weduk, Teu Bedas. Teu Gagah, Teu Pinter. Artinya: "Kami dianjurkan menjauhi kehidupan harta dan tidak merasa lebih dari yang lain," katanya. Tentu itu hanya terjemahan borongan. Lalu ia mengunyah dodol buatan sendiri. Gaya hidup yang tak saing bersaing memang kelihatan di kampung yang luasnya cuma 1,5 hektar ini. Sekitar 94 rumah di situ tampil hampir serupa baik bentuk maupun bahannya. "Termasuk jenis rumah panggung," ujar Suhandi. Dengan denah empat persegi panjang, rumah-rumah itu tegak disangga kerangka utama dari tiang-tiang kayu. Berukuran masing-masing sekitar 10 x 10 cm, jumlah tiang utama pada sisi bangunan yang memanjang selalu lima buah. "Untuk memenuhi persyaratan lima katimbang," ujar Djadja. Ia tidak menerangkannya. Hanya, "Dari nenek moyang kami dulu sudah begitu." Di bagian bawah tiang ada alas batu yang menghubungkan tiang dengan permukaan tanah. Batu yang disebut tatapakan itu berfungsi pondasi. Dan di atas tatapakan, berjarak sekitar 60 cm dari tanah, dibentangkan lantai rumah dari papan kayu suren atau rasamala atau dari palupuh. Yang terakhir ini batang bambu yang dibelah, kemudian dipukul, hingga bisa digelar bagai tikar. Dinding terbuat dari anyaman bambu. Terdapat dua jenis anyaman. Pertama kepang, bentuknya seperti anyaman gedeg di Jawa Tengah. Kedua anyaman sasag. Pada anyaman rasag, bagi dinding bambu yang vertikal kadang-kadang letaknya agak berjauhan. Gunanya untuk menghemat bahan. Anyaman sasag itu memang selalu dipakai pada bagian luar dinding, sedangkan untuk penyekat ruang dalam dan penutup langit-langit anyaman kepang. Menurut Suhandi, kolong antara permukaan tanah dan lantai itu berfungsi mengatur suhu dan kelembaban udara. Tapi ada pula kegunaan lain. "Kami di sini menyimpan alat-alat pertanian, dan juga ternak," ujar Djadja. "Yang khas dari arsitektur Kampung Naga adalah atapnya," ujar Suhandi, yang bersama Dirjen Pariwisata meneliti rumah-rumah tradisional di Jawa Barat. Bentuk atap rumah kampung ini segi tiga, baik dipandang dari muka maupun belakang. Dihubungkan segi empat panjang, atap itu membentuk limas segitiga memanjang dan terdiri dari dua bagian: belahan kiri dan kanan. Pada garis pertemuan dua belahan itu, kiri dan kanan yang memanjang -- pada sisi luar rumah biasa dipasang gelang-gelang yang membentuk setengah lingkaran, menyerupai tanduk. "Orang menyebutnya macam-macam," ujar Suhandi, "gapit, cagak gunting, ada pula yang menyebut capit hurang." Gelang-gelang itu dibuat dari bambu -- kadang-kadang juga kayu -- yang dibungkus dengan ijuk. Kegunaannya agar air tak merembes ke dalam, melainkan tersalur lewat bambu atau kayu sepanjang gelang-gelang. Fungsi yang lain: aspek kepercayaan. Yaitu sebagai simbol. Bumi dan langit dan semua isinya, termasuk penghuni rumah, merupakan kesatuan jagat raya. Nah. Atap-atap rumah yang terdiri dari tiga bagian memanjang itu disebut suhunan panjang. Bahan penutupnya dibuat dari rumbia, di atasnya dilapiskan ijuk. "Itu warisan leluhur. Kami tak berani menggantinya dengan genting, meskipun mudah didapat di sekitar kampung," ujar Sutedja, yang baru tiga tahun lalu memperbaiki rumahnya. Dengan gotong-royong, rumah Kuncen yang berukuran sekitar 6 x 6 meter itu dibangun selama dua minggu. Kalau ditaksir biayanya sekitar Rp 1 juta barangkali. Tapi Djadja tak begitu yakin -- sebab kebanyakan bahan, bambu, ijuk, dan kayu, mudah didapat di situ. Terhadap bangunan baru itu pun Djadja Sutedja tak berani melanggar aturan dalam pembagian ruangan. "Apa saja yang digariskan leluhur kami turut," katanya. Maka, pada rumah seluas 54 m2 itu terdapat ruang-ruang yang sama dengan rumah-rumah lain: tepas, pangkeng, tengah imah, dapur, dan pandaringan. Pada prinsipnya, ruang di rumah Kampung Naga terbagi dalam tiga bagian: depan, tengah, dan belakang. Menurut Suhandi pembagian itu sesuai dengan pandangan orang Naga terhadap dunia: dunia atas, tengah, dan bawah. Bagian depan rumah disebut tepas atau emper. Ini biasa digunakan untuk menerima tamu, dikenal sebagai daerah pria. Fungsi spiritual ruang ini untuk "menyaring pengaruh-pengaruh buruk" yang mungkin masuk ke dalam rumah. Tamu, dalam bahasa Sunda tatamu, artinya: yang ditata dan dijamu, seorang yang harus dihormati. Kata yang lain semah, artinya: ngahesekeun nu boga imah. Ngahesekeun adalah menyukarkan. Maka kalimat itu berarti, menyulitkan yang punya rumah. Toh mesti dihormati. Penghormatan itu dilakukan di bagian depan rumah. Ruang tengah atau tengah imah merupakan daerah netral, bisa digunakan pria atau wanita. Kegiatan semacam selamatan, meletakkan jenazah sebelum dimakamkan, bermain bagi anak-anak dilakukan di sini. Di tepi tengah imah terletak pangkeng atau kamar tidur. Ini bagian rumah yang sakral, menurut Suhandi, "Sebab itu anak-anak dilarang bermain di pangkeng." Kamar tidur kuncen Djadja Sutedja berukuran sekitar 2 x 3 meter. Di ruang yang terbuat dari bilik yang dicat kapur itu terletak sebuah tempat tidur berkasur. Berseprei kain putih, dengan bantal dan guling yang juga ditutup kain putih. Di atas kerangka kayu yang memanjang terletak foto Kuncen dan foto anak-anaknya. Pintu penghubung pangkeng dan tengah imah hanya ditutup sehelai kain. Tak ada daun pintu. Di bagian belakang rumah terdapat pawon, dapur. Inilah kawasan wanita. Lelaki hanya diperkenankan masuk untuk keperluan sekadarnya, seperti mengambil makanan, misalnya. "Lelaki dilarang bercakap-cakap di dapur," ujar Sutedja. "Itu tidak baik." Tapi bagian belakang yang benar-benar tabu bagi lelaki adalah goah atau pandaringan. Tempat penyimpanan padi ini hanya boleh dimasuki kaum hawa. "Tempat padi 'kan tempatnya Dewi Sri. Jadi hanya perempuan yang boleh masuk," kata Sutedja pula. Dalam satu hal ada kesamaan mutlak: semua rumah memanjang pada jurusan barat-timur. Masyarakat Naga tak berani menentang kodrat alam, menurut Suhandi lagi. Arah barat-timur, katanya, adalah arah jalannya matahari. Dengan begitu pintu masuk berada di sebelah selatan atau utara. Bila rumah mempunyai dua pintu masuk, letak keduanya harus di arah yang sama. Pintu itu sendiri terbuat dari kayu atau bambu. Tapi khusus pintu dapur harus dibikin dari anyaman sasag. "Selain ketentuan leluhur, bila ada bahaya api di dapur lekas ketahuan," Djadja memberi penjelasan. Anyaman sasag yang terbuat dari lonjoran batang bambu itu punya celah-celah dan tembus pandang. Daun jendela di rumah Naga masa kini sudah banyak yang menggunakan kaca, baik nako maupun kaca biasa. Seperti di rumah Kuncen Sutedja, misalnya. Beberapa bidang di tepas-nya terbuat dari kaca dan nako. "Sepengetahuan saya kaca tak dilarang. Mungkin bahan ini dulu belum ada," katanya. Yang menjadi pantangan adalah ini: mengecat rumah. "Kalau hanya mengapur tidak apa-apa." Warna, selain putih, yang pernah digunakan adalah cokelat lumpur. "Itu waktu zaman perang kemerdekaan dulu. Katanya supaya tak kelihatan dari pesawat musuh." Jarak rumah yang satu dengan yang lain sangat berdekatan, bahkan ada yang hampir berhimpit. Halaman depan, yang lebarnya sekitar dua meter juga berfungsi sebagai jalan panghubung. Batas-batas rumah dibuat dari batu, dijajar mengelilingi bangunan. Di muka tepas dan pintu dapur terdapat dua anak tangga dari bambu, yang mereka sebut galodog. Tangga ini punya fungsi sosial juga rupanya. Berbincang-bincang antartetangga sering dilakukan di sini. Atau mengerjakan kerajinan anyaman bambu, seperti baboko, kukusan, dan nyiru. Kedudukan kuncen sangat tinggi di mata masyarakat Naga. Seperti dikatakan Suhandi, kuncen dianggap memiliki kekuatan yang berlebih dari orang kebanyakan -- termasuk menjadi penghubung manusia dengan kekuatan-kekuatan luar, misalnya arwah leluhur. Tapi "Sampai kini, setelah menjadi kuncen lebih dari 20 tahun, saya belum pernah mengalami hal-hal gaib," ujar Sutedja dengan jujurnya. Ia juga mengaku tak kuat berpuasa karena sakit maag. "Saya hanya pernah sekali mengalami ilapat (mimpi). Yaitu waktu hendak diangkat menjadi kuncen." Padahal sebelum menjadi kuncen pemuda Djadja Sutedja acuh tak acuh mengikuti upacara. Waktu pengangkatan itu pun usianya masih sangat muda sekitar 32 tahun. Ia mengaku tak tahu banyak adat-istiadat. "Saya hanya sempat belajar sebentar dari kuncen lama. Beliau keburu meninggal." Lagi pula, buku tentang sejarah Kampung Naga ikut terbakar sewaktu gerombolan Kartosuwirjo membakar kampung. "Kami sekarang kepeuremen obor," alias kehilangan jejak. Toh semuanya kelihatan berjalan lancar. Kesulitan ekonomi rupanya tak hanya dialami Lukanta, si ketua RT. Kuncen sendiri tak luput. "Bapak ini tidak bekerja. Dagang atau ke kantor juga tidak," ujarnya, sambil memegang kepalanya yang sudah memutih rambutnya. "Hanya tani. Itu pun kadang-kadang. Tapi rezeki yang mengatur 'kan Tuhan." Pernah anaknya yang laki-laki -- sekolah di SLTP -- tak mau masuk, "Gara-gara saya tak bisa bayar uang sekolah." Toh bapak delapan anak ini menolak uluran tangan pemerintah sewaktu hendak menjadikan Kampung Naga obyek wisata. "Tempat wisata itu 'kan biasa digunakan maksiat. Nanti banyak perempuan berkeliaran di sini." Memang, bila Kampung Naga dijadikan obyek wisata, keuangan penduduk akan membaik. "Tapi apa gunanya uang, jika adat-istiadat rusak?" katanya, agak sengit. Dalam pemilihan lurah beberapa waktu yang lalu, Sutedja terpilih menduduki jabatan itu. "Saya menangis. Sebenarnya saya akan mengadakan kenduri jika saya tak terpilih." Lho? "Kalau jadi pejabat, saya akan terpaksa berbohong. Menipu kuitansi, misalnya. Wah, ya. Kalau terpaksa, yah, tidak apa-apa, saya kira," ujarnya. Ia tersenyum, memperlihatkan giginya yang besar-besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus