MASALAH perbatasan bagi Indonesia relatif tidak demikian besar. Sebab, negara kita adalah kepulauan, dan batas-batasnya adalah alam, yakni laut. Hanya di Irian Jaya dan Kalimantan, Indonesia memiliki batas daratan yang cukup panjang. Karena manusia biasanya tinggal di darat, perbatasan darat dianggap relatif lebih memusingkan. Para tetangga kita di daratan Asia Tenggara dapat bercerita baik. Menurut para ahli sejarah Asia Tenggara, konsep perbatasan yang tegas seperti di Barat tidak dimiliki oleh kesatuan-kesatuan politik tradisional di kawasan ini. Negara dalam konsep tradisional adalah ibu kota -- khususnya keraton, dan secara lebih khusus lagi tahta (Jawa: Siti Inggil). Sampai kini, misalnya, orang di sekitar Yogyakarta atau Surakarta, kalau ke kota, mengatakan bahwa mereka pergi ke negari. Negara (negari) identik dengan kota (keraton). Makin jauh sebuah daerah berada dari keraton, makin jauhlah pengaruh kerajaan. Banyak daerah di antara pusat-pusat kota-keraton yang tidak bertuan, atau bertuan dua, tiga, bahkan lebih. Dengan sedirinya, perebutan pengaruh politik di daerah perbatasan atau pinggiran besar sekali. Konsepsi tradisional mengenai negara, dengan keraton sebagai pusat dan bukan wilayah, mempunyai berbagai sebab dari konsekuensinya. Negara tradisional adalah lemah bila dibanding negara modern -- tidak memiliki birokrasi, tentara, dan lain-lain untuk menduduki daerah taklukan: Fungsi keraton/negara terhadap daerah sebagian besar sebagai perantara dengan dunia luar, serta sebagai pusat budaya dan pusat metropolitan. Tentu ada fungsi-fungsi lain -- seperi perlindungan. Sebaliknya, keraton hidup dari upeti. Bagaimanapun, pentingnya keraton sebagai pusat budaya, hiburan, dan kerohanian adalah karena masalah-masalah ini jauh lebih mudah diorganisasikan dan memerlukan biaya jauh lebih sedikit daripada birokrasi ataupun tentara yang efisien. Dalam sejarah Indonesia, contoh klasik hubungan pusat-daerah seperti yang digambarkan itu diberikan oleh Mataram. Keadaan politis kerajaan-kerajaan atau kesultanan maritim kiranya tidak banyak berbeda dengan keadaan Mataram, tapi mengenai Mataram ada lebih banyak bahan. Dari saat berdirinya Mataram, kira-kira akhir abad ke-16 sampai tahun 1670-an, di Jawa terdapat juga Kerajaan Banten di pesisir Jawa Barat, VOC di Batavia, dan Giri serta Surabaya. Yang terakhir itu masih merupakan pusat politik yang kuat, yang menjadi pusat oposisi terhadap Mataram dari kekuatan-kekuatan di pesisir, khususnya Jawa Timur, sampai kira-kira 1640-an -- ketika dihancurkan oleh Sultan Agung. Setelah Banten dan kekuatan Jawa Timur runtuh, VOC di Batavia merupakan pusat politis dan ekonomis kuat yang lambat laun menguasai Jawa Barat dan pesisir, khususnya sejak abad ke-18. Kendati begitu, daerah pesisir, juga beberapa di Jawa Barat, masih sering sowan ke keraton-keraton di Jawa Tengah dengan membawa sekadar upeti atau oleh-oleh untuk Susuhunan dan para pangeran lain. Para bupati daerah-daerah itu juga masih sering mencari istri dari keraton. Memang semua ini tidak punya efek politis dan ekonomis terlalu besar, tapi dapat menjengkelkan para pejabat Belanda dan memberikan wibawa kepada keraton-keraton itu. Keadaan di atas menyerupai status loyalitas ganda. Jauh lebih membahayakan bagi Mataram adalah rival-rivalnya di pedalaman daripada yang pesisir. Pada akhir abad ke-17, Trunojoyo, yang dianggap sebagai pemberontak oleh Mataram dan sekutunya, VOC, memusatkan diri di Kediri dan dihancurkan di sana. Tidak lama sesudahnya suatu pusat pemberontakan berdiri lagi di Jawa Timur -- dipimpin Untung Surapati dan keturunannya, di sekitar Blitar-Malang sampai ke Pasuruan. Adanya Untung Surapati menjadikan daerah-daerah antara kedua pusat ini suatu daerah kacau yang klasik di Asia Tenggara. Loyalitas para bupati antara kedua pusat tidak saja ganda, tetapi sering berpindah-pindah. Para pengacau politik dan kriminil mengambil kesempatan penuh dari keadaan ini, dan antara kriminalitas dan politik di perbatasan hampir tidak ada beda. Priayi atau pengeran yang tidak senang kepada raja Mataram menyokong kampak-kampak alias para bandit atau mendirikan gerombolan bersenjata sendiri, dan ikut serta mengacau baik pihak Untung Surapati maupun Mataram, atau menunggu setiap perubahan angin politik apa pun. Tidak ada kerajaan tradisional yang dapat menyelesaikan keadaan perbatasan atau rival-rival politik dan militer. Yang dilakukan kerajaan tradisional untuk menghilangkan ancaman rival adalah pembasmian total. Daerah musuh diduduki, kemudian dihancurkan sebagai permukiman manusia, dan orang-orang yang ditaklukkan diangkut sebagai tawanan keraton untuk menambah jumlah penduduk kerajaan. Jadi, bukan luas wilayah, tetapi jumlah orang yang menjadi ukuran kekuatan. Misalnya, ketika Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua keraton Surakarta dan Yogyakarta -- pembagian itu bukan berdasar wilayah, tetapi jumlah cacah -- keluarga petani yang merupakan kesatuan pajak dan militer. Tidak selalu dilakukan politik bumi hangus, karena perang juga dapat berakhir dalam kompromi -- dengan akibat yang kalah mengirimkan anggota-anggota penguasa ke keraton yang menang untuk diawasi di sana dan dijamin kelakuan baiknya. Sering lalu terjadi pengikatan lebih lanjut -- perkawinan antara sandera politik dan keluarga raja, seperti keluarga raja Surabaya yang dikalahkan Sultan Agung setelah lima tahun dikepung. Masalah perbatasan di Asia Tenggara daratan, bahkan dengan pemerintahan modern, baik kolonial maupun nasional, menyerupai masalah di Jawa abad ke-18 yang terbagi antara Mataram VOC dan Untung Surapati. Karena negara modern meliki kebijaksanaan dan kepentingan ekonomi masing-masing, paling sedikit penyelundupan di perbatasan menimbulkan aspek kriminalitas tinggi, dengan warna pembangkangan politis terhadap pusat dan hukum yang berlaku. Ini tidak saja di Asia Tenggara, tetapi juga di Eropa dan Amerika. Perbatasan Muangthai dengan Burma, dengan Malaysia, dan dengan Laos-Kamboja tidak saja ramai dan rawan kini, tetapi sudah sejak sebelum 1900. Sebenarnya, studi mengenai masalah perbatasan Muangthai -- di selatan dengan Malaysia, di barat dengan Burma, dan di timur dengan Indocina -- sangat menarik. Ia mengungkapkan tidak saja konflik politik ekonomis, tetapi juga ideologis atau budaya yang dianut masing-masing pemerintah pusat. Dalam abad ke-19, sebelum Inggris menciptakan negara yang kini menjadi Malaysia, berbagai kesultanan Malaysia di utara yang berbatasan dengan Muangthai (Kedah, Kelantan, dan lain-lain) setiap tahun sowan ke Bangkok -- tunduk kepadanya secara formal -- dengan menyerahkan upeti "bunga emas". Itu terdiri dari beberapa pot bunga yang disepuh dengan emas -- upeti yang jauh lebih rendah nilai uangnya dibanding biaya resepsi yang harus dikeluarkan istana Bangkok. Inggris, yang seperti negara-negara kolonial Barat lain menciptakan batas-batas negara Asia Tenggara, memasukkan daerah-daerah Malaysia Utara itu ke dalam wilayahnya dan menghentikan upeti "bunga emas". Walaupun demikian, daerah perbatasan kedua negara sejak British-Malaya sampai Muangthai modern tetap rawan. Dahulu, secara tradisional pergolakan daerah di situ dilihat dari ketidakberhasilan kerajaan tradisional menundukkan daerah perbatasan pada zaman modern, ada unsur-unsur ideologis yang timbul, di samping politik-ekonomis. Seperti gerombolan komunis yang berasal dari gerakan-gerakan anti-Jepang di Malaysia, atau para separatis Islam di Muangthai Selatan -- berhubung dengan berdirinya Malaysia merdeka yang masyarakatnya beragama Islam, dengan pemerintah pusat yang formal mendukung Islam, sedangkan daerah Muangthai Selatan beragama Islam. Kalau di perbatasan Muangthai-Malaysia baru hari-hari ini ada aspek ideologis-budaya, di perbatasan Muangthai-Indocina sudah sejak dahulu sudah sejak abad ke-19 sudah sangat budaya atau ideologis sifat masalahnya. Asia Tenggara dapat dibagi dalam dua peradaban besar: peradaban Indic (India) -- yang terdiri dari Indonesia, Muangthai, Burma, Laos (?), dan Kamboja -- dan peradaban Sinic (Cina), khususnya Vietnam. Kalau Laos dapat dikatakan daerah pegunungan yang tidak menentu dan bersifat unik, Kamboja adalah Indic. Tapi dalam abad ke-19, sejak awalnya, dengan berdirinya negara kesatuan kekaisaran Vietnam yang berpusat di Hue, Kamboja tunduk baik kepada Vietnam (Sinic) maupun Bangkok (Indic). Dengan singkat, pertentangan Muangthai dan Vietnam dalam abad ke- 19 memiliki aspek ideologis -- dan bulan-bulanan pertarungan ini adalah Kamboja. Kamboja sendiri secara ideologis lebih dekat dengan Muangthai, tapi secara politis lemah, dan raja-raja Kamboja dalam abad ke-19 dinobatkan baik oleh wakil Bangkok maupun wakil Hue. Ketika Prancis mengkolonisasikan Vietnam, kedudukan di Kamboja diganti olehnya, dengan menyingkirkan pengaruh Bangkok sama sekali atas Kamboja. Kekaisaran Cina, di bawah Dinasti Quing memang sejak lama memiliki tuntutan-tuntutan atas Vietnam yang demikian banyak dipengaruhinya. Tapi tuntutan itu dapat ditolak oleh Vietnam yang bersatu, yang kemudian diteruskan dengan politik melepaskan Vietnam dari pengaruh Cina oleh Prancis. Tetapi pada masa lampau saingan ideologis ini, seperti antara Muangthai dan Vietnam, sebenarnya hanya menempati tingkatan nomor dua. Lebih penting adalah saingan politis antara pusat-pusat kerajaan, seperti antara Ayuthia/Bangkok (Muangthai kini) dan Ava (Burma) di pedalaman Burma. Keduanya beragama Budha, dan raja masing-masing menuntut gelar dan kedudukan Cakravatin atau satu-satunya raja dunia (deva-raja). Dalam abad ke-18 Burma yang unggul dan dapat menghancurkan pusat Kerajaan Muangthai di Ayuthia, tetapi Thailand dalam waktu singkat dapat mendirikan pusat baru, di Bangkok. Sedangkan gangguan dari Burma terhenti oleh perang Burma melawan Inggris yang berakhir dengan kekalahan Burma dan didudukinya Birma oleh Inggris, yang antara lain menyebabkan pengstabilan perbatasannya dengan Muangthai. Kesimpulannya, perbatasan di Asia Tengara bukan suatu yang tradisional. Masalah perbatasan adalah masalah politis antarnegara. Di Barat sendiri konsep perbatasan timbul demi kepentingan defensif dan peperangan. Kendati begitu, masalah perbatasan kadang memiliki aspek ideologi dan budaya. Yang menentukan perbatasan adalah elite politik, bukan rakyat. Perbatasan negara-negara Asia Tenggara diciptakan oleh elite politik kolonial. Terbentuknya batas-batas Muangthai, yang tidak mengalami kolonialisme secara formal, adalah hasil Prancis dan Inggris yang memerlukan daerah netral di antara koloni-koloni mereka: Burma (Inggris) dan di Indocina (Prancis). Batas-batas Indonesia pun sebenarnya hasil kepentingan Inggris dan Nederland. Sebaliknya, sejak munculnya nasionalisme di Asia Tenggara, termasuk Indonesla, perbatasan negara-negara Asia Tenggara mendarah daging pada masyarakat seperti antara lain terungkap pada Sumpah Pemuda 1928. Tetapi baik di negara modern maupun Dunia Ketiga dan tradisional, perbatasan tetap tempat rawan, tempat pembangkangan politik dan budaya serta banditisme, karena perbedaan sistem politik antara dua negara yang bersangkutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini