Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa Perguruan Tinggi Tidak Boleh Semena-mena Membebankan UKT kepada Mahasiswa

Uang kuliah tunggal (UKT) naik di beberapa perguruan tinggi negeri. Akibat subsidi kecil.

26 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEGADUHAN kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) dan iuran pengembangan institusi (IPI) di berbagai perguruan tinggi negeri mencuatkan kembali istilah komersialisasi pendidikan tinggi. Istilah komersialisasi pendidikan tinggi, sebenarnya, bisa bersifat positif karena mengandung makna bahwa perguruan tinggi mengkomersialkan hasil-hasil penelitiannya. Penelitian Putit, Hasan, Suki, dan Shahbodin (2014) menemukan komersialisasi berdampak positif terhadap kinerja perguruan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun komersialisasi pendidikan tinggi bisa bermakna negatif. Bentuknya bisa sekadar menjalin kerja sama dengan dunia usaha dan industri sampai kehadiran pemodal untuk mencari laba di perguruan tinggi. Menurut Meixue Gao (2021) dalam Journal of Higher Education Research, terbatasnya subsidi berkontribusi dalam mendorong komersialisasi di perguruan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesuai dengan konstitusi, setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan. Tapi, menurut Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang wajib dibiayai pemerintah adalah pendidikan dasar. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008, jenjang wajib belajar sampai sekolah menengah pertama atau madrasah tsanawiyah. Pemerintah meningkatkan lagi wajib belajar menjadi 12 tahun atau sampai tamat satuan pendidikan menengah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 19 Tahun 2016.

Walau jenjang perguruan tinggi tidak termasuk wajib belajar 12 tahun, pemerintah tetap wajib memberikan subsidi berupa bantuan operasional untuk perguruan tinggi negeri dan bantuan pendanaan bagi perguruan tinggi negeri berbadan hukum. Perguruan tinggi swasta juga mendapat bantuan melalui lembaga layanan pendidikan tinggi, misalnya untuk tunjangan fungsional dan profesi.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 menunjukkan alokasi 20 persen APBN atau Rp 665,02 triliun untuk pendidikan. Sayangnya, alokasi anggaran untuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi hanya 2,97 persen atau Rp 98,98 triliun, termasuk di dalamnya anggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebesar 1,11 persen APBN atau Rp 38,5 triliun saja.

Upaya mewujudkan pendidikan tinggi yang bermutu memang memerlukan biaya besar. Tapi biaya tersebut tidak semua harus dibebankan melalui UKT mahasiswa karena tiap perguruan tinggi negeri masih mendapat subsidi. Hubungan UKT, biaya kuliah tunggal (BKT) atau operational unit cost, dengan subsidi dapat dijelaskan dengan analogi matematika sederhana dengan rumus Harga = Biaya - Subsidi.

Harga adalah UKT yang dibayarkan oleh tiap mahasiswa. Biaya adalah BKT dikalikan semua mahasiswa sarjana dan vokasi di semua program studi. UKT gratis dapat terwujud ketika subsidi yang diterima perguruan tinggi negeri sebesar total BKT. Tapi selama ini yang terjadi adalah total BKT lebih besar dari subsidi yang diterima perguruan tinggi negeri. Dengan demikian, ada sebagian UKT yang masih ditanggung mahasiswa, yang nilainya akan makin kecil ketika perguruan tinggi negeri mampu mencari sumber pendanaan lain.

Undang-Undang Pendidikan Tinggi melindungi mahasiswa yang punya potensi akademik tinggi tapi memiliki latar belakang ekonomi tidak mampu. Jadi, meski subsidi yang mereka terima tidak mencukupi untuk menutup biaya operasional, perguruan tinggi tidak bisa semena-mena membebankan UKT kepada mahasiswa.

Dari sisi perguruan tinggi, dengan mempertimbangkan daya bayar dan kemampuan ekonomi mahasiswa, banyak pengelola perguruan tinggi negeri menetapkan UKT tertinggi tapi masih di bawah nilai BKT. Itu pun tidak semua mahasiswa membayar UKT tertinggi. Hal ini terjadi karena UKT dibuat berjenjang sesuai dengan kemampuan ekonomi tiap mahasiswa. Mahasiswa yang berpotensi memiliki kemampuan akademik tinggi tapi berlatar belakang ekonomi tidak mampu juga bisa mendapatkan beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah atau KIP Kuliah. Pada 2024, alokasinya Rp 13,9 triliun untuk 985.577 mahasiswa.

Selain dari subsidi pemerintah, perguruan tinggi negeri bisa mencari sumber pendanaan lain untuk membiayai kegiatan belajar-mengajar. Misalnya kerja sama dengan pihak lain. Masalahnya, tidak semua bentuk perguruan tinggi negeri bisa dengan leluasa memanfaatkan pendanaan kerja sama. Dibanding PTN satuan kerja dan PTN dengan pengelolaan keuangan badan layanan umum, PTN badan hukum yang paling fleksibel menggali sumber pendanaan selain dari UKT. Sebab, PTN badan hukum mempunyai otonomi yang paling luas.

Dengan otonomi tersebut, pemerintah menugasi perguruan tinggi negeri badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat, sesuai dengan Pasal 65 ayat 4 Undang-Undang Perguruan Tinggi. Sebelum diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024 dan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 54 Tahun 2024, ada perguruan tinggi negeri badan hukum yang kurang bijak menentukan besaran UKT dan IPI, atau yang sejenisnya, di jalur mandiri. Karena itu, sebenarnya, peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertujuan mencegah tarif UKT dan IPI yang tidak semestinya.

Berbagai kebijakan dan peraturan itu ditujukan untuk meminimalkan komersialisasi pendidikan tinggi dalam arti negatif dalam pengertian Meixue Gao (2021). Hal tersebut terlihat pada pembatasan UKT maksimal sebesar BKT, walau subsidi yang diterima terbatas. Besaran UKT dan IPI juga dikendalikan melalui rumus BKT yang ditentukan oleh peraturan serta keputusan Menteri Pendidikan.

Undang-Undang Pendidikan Tinggi melarang pemerintah mendorong komersialisasi perguruan tinggi negeri dalam arti mengubah orientasi perguruan tinggi mencari laba. Prinsip perguruan tinggi nirlaba mendorong saldo sisa lebih anggaran tidak boleh dibagikan kepada individu pengelolanya, tapi untuk pengembangan perguruan tinggi tersebut.

Untuk meminimalkan munculnya komersialisasi pendidikan tinggi dalam arti negatif, harus ada upaya untuk menyelesaikan akar masalahnya. Selama subsidi perguruan tinggi negeri tidak mencukupi untuk membiayai operasionalnya, perguruan tinggi akan membutuhkan partisipasi masyarakat dalam bentuk UKT dan IPI. Karena akar masalahnya adalah terbatasnya anggaran, solusi idealnya adalah menaikkan besaran subsidi yang mendekati atau setara dengan biaya operasional perguruan tinggi negeri. Bagaimana caranya?

Di sini peran parlemen harus memastikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengelola anggaran fungsi pendidikan secara proporsional. Ironisnya, saat ini Kementerian Pendidikan hanya mengelola 15 persen anggaran fungsi pendidikan. Setelah tahu akar masalahnya dan siapa yang bisa menyelesaikannya, akankah kita melihat kegaduhan UKT dan IPI serta mencuatnya isu komersialisasi pendidikan tinggi berulang tiap kali penerimaan mahasiswa baru? Seharusnya tidak ada lagi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Komersialisasi Pendidikan Tinggi"

Didi Achjari

Didi Achjari

Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus