Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Konsep baru dari bali

Baru kali ini kongres taman nasional berlangsung di dunia ketiga (Bali, Indonesia), membahas masalah lindungan terhadap satwa liar sampai melestarikan alam. (ling)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR 500 ekolog dan ahli berbagai bidang ilmu lain dari dalam dan luar negeri mengadakan Kongres Tlman Nasional ke-3. Bagi Bali Beach Intercontinental Hotel di Sanur, tempat kongres itu, kesibukan semacam itu susah rutin. Namun kongres itu sendiri punya makna unik dari berbagai segi. Sebelumnya pertemuan tentang taman nasional -- diselenggarakan IUCN (Badan Internasional untuk Pelestarian Alam dan Sumber Daya Alam dari PBB) setiap 10 tahun--selalu berlangsung di Amerika Serikat, tempat lahirnya konsepsi taman nasional. Baru kali ini kongres itu berlangsung di sebuah negara Dunia Ketiga. Ini mungkin pertanda sudah mantapnya ide mengenai taman nasional di seluruh dunia. Tapi selain itu agaknya kongres di Bali juga mencerminkan perkembangan lain: konsepsi baru mengenai pengelolaan wilayah konservasi alam. Pertemuan pertama tingkat konperensi berlangsung di Seattle, Washington, AS, tahun 1962. Yang kedua, juga tingkat konperensi, di Clrand Teton National Park, Wyoming, AS, tahun 1972. Kedua konperensi itu terutama menegaskan konsepsi ideal Amerika Serikat tentang taman nasional. Yakni suatu wilayah konservasi alam yang bebas dari pengaruh campur tangan manusia. Jadi semacam museum alam yang isisihkan untuk keperluan wisata dan ilmu pengetahuan. Tapi konsepsi semacam itu bagi Dullia Ketiga agaknya sukar diterima. "Kegiatan perlindungan dan pengelolaan ekosistem alam tidak selalu sejalan dengan keinginan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan," ujar Menteri Pertanian, Prof. Soedarsono dalam pengarahannya pekan lalu. "Apalagi di negara-negara berpenduduk padat seperti Indonesia. Juga Walter Lusigi, ekolog dari Kenya menyatakan konsepsi semacam itu asing bagi rakyat di Afrika. "Untuk melarang orang Amerika bercocok tanam di taman nasional Yellowstone tak terlalu sulit, tapi melarang peternak dari suku Masai memanfaatkan lahan di taman nasional Amboseli di Kenya, persoalan lain lagi," ujar Lusigi. Meski masih banyak penganut 'pemikiran lama' yang menginginkan penyisihan wilayah yang luas "demi satwa liar" saja, penganut konsepsi 'baru' juga semakin banyak. "Kita tnembutuhkan wilayah pelestarian untuk menjamin pelestarian kita sendiri," ujar Kenton R. Miller, dari Universitas Michigan, AS dan Ketua Komisi IUCN tentang taman nasional dan wilayah terlindung. "Taman nasional itu lebih dari sekedar tempat yang indah," ujarnya. Strategi Konservasi Sedunia dari IUCN (1980), mendefinisikan konservasi sebagai pengelolaan pemanfaatan biosfera oleh manusia hingga bisa menghasilkan manfaat terbesar pada generasi sekarang sambil mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan harapan generasi mendatang. Tapi para pejabat IUCN juga melihat, selama dasawarsa lalu pimpinan gerakan taman nasional beralih dari AS ke Dunia Ketiga. Peralihan ini bukan tak wajar. Dua-pertiga jenis satwa dan tanaman di dunia terdapat di wilayah negara berkembang itu. Agaknya sebabnya pemikiran tentang taman nasional yang lebih maju justru berasal dari negara Dunia Ketiga itu, seperti terlihat dalam puluhan makalah di Bali. Betapapun pertemuan di Bali itu tak berkembang menjadi suatu konfrontasi Barat-Timur. Ia lebih merupakan diskusi antara gelombang baru dan penganut pemikiran lama. Sasaran utama kongres lalah menemukan cara dan upaya memanfaatkan taman nasional untuk menunjang perkembangan sosial dan ekonomis. Pendekatan ini mengusahakan memanfaatkan pelestarian bagi umat manusia. Kongres di Bali membahas berbagai kasus dari seluruh dunia tentang bagaimana wilayah alam terlindung sekarang paling tidak bisa melayani kebutuhan penduduk setempat. Misalnya sebagai wilayah pengendalian air, sumber hasil hutan dan kayu bakar, tempat pengelolaan satwa liar yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk, sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi pertanian, kehutanan dan industri obat. Saat ini manfaat dari wilayah itu, termasuk yang terlimiung sebagai suaka alam, dirasakan terutama oleh negara berkembang. Misalnya berbagai jenis liar dari tanaman pokok seperti gandum dan jagung, tumbuh di negara berkembang seperti Ethiopia dan Meksiko. Jenis liar ini sangat penting untuk membiakkan jenis unggul yang tahan hama dan berproduksi tinggi bagi petani Eropa dan AS. Di AS saja sumbangan ini bernilai sampai US$ 700 juta (Rp 469 milyar) setiap tahun. Juga obat-obatan berdasarkan sumber di negara berkembang bernilai US$ 40 milyar (Rp 26,8 trilyun) di negara berkembang. Agaknya keuntungan akhirnya dinikmati negara-negara kaya yang memiliki te.knologi untuk membiakkan jenis tanaman unggul serta mengembangkan obat-obatan. Negara berkembang yang memikul beban biaya mengkonservasikan sumber alam itu kini agaknya mencari jalan agar negara industri itu menyumbang "bagiannya yang layak". SELAMA di Bali, pihak Indonesia di Bali mengumumkan telah meresmikan 11 wilayah lagi sebagai taman nasional dengan luas total hampir 1,49 juta hektar. Ini memperluas lagi wilayah konservasi alam sebanyak lebih 985 ribu hektar dari 5 taman nasional yang diresmikan Maret 1980. Selama lebih 20 tahun Indonesia sudah menggalang kerjasama dengan IUCN, selain banyak ahli Indonesia menduduki berbagai posisi dalam badan PBB itu. Tahun 1979 Indonesia merupakan negara Asia Tenggara pertama yang menandatangani Konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa Liar Langka (CITES) yang dikelola IUCN. Tahun 1981 IUCN bersama WWF (Dana Satwa Liar Sedunia) mengadakan perjanjian konservasi selama 5 tahun dengan Indonesia. Dalam perjanjian ini bakal tersedia lebih US$ 1 juta (Rp 670 juta) untuk melindungi berbagai sumber daya alam yang unik serta membantu pengembangannya. Perjanjian itu juga mengakui upaya konservasi itu harus bisa menunjang perkembangan sosio-ekonomi dan sesuai dengan sasaran Strategi Konservasi Se-dunia. Kongres di Bali bertujuan ilmiah, tapi mau tak mau unsur politik perlu muncul juga. Draft deklarasi kongres yang bakal diumumkan pada penutupan 22 Oktober, mencatat: "untuk membangun suatu jaringan luas wilayah alam terlindung di Dunia Ketiga, perlu suatu penataan baru untuk menjamin pengalihan sumber dana dan penyediaan bantuan teknis yang dipandang cukup." Artinya, negara-negara maju yang selama ini memperoleh keuntungan dari sumber daya alam di negara berkembang, harus ikut menanggung beban upaya pelestarian wilayah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus