HAMPIR 500 ekolog dan ahli berbagai bidang ilmu lain dari dalam
dan luar negeri mengadakan Kongres Tlman Nasional ke-3. Bagi
Bali Beach Intercontinental Hotel di Sanur, tempat kongres itu,
kesibukan semacam itu susah rutin. Namun kongres itu sendiri
punya makna unik dari berbagai segi.
Sebelumnya pertemuan tentang taman nasional -- diselenggarakan
IUCN (Badan Internasional untuk Pelestarian Alam dan Sumber Daya
Alam dari PBB) setiap 10 tahun--selalu berlangsung di Amerika
Serikat, tempat lahirnya konsepsi taman nasional. Baru kali ini
kongres itu berlangsung di sebuah negara Dunia Ketiga. Ini
mungkin pertanda sudah mantapnya ide mengenai taman nasional di
seluruh dunia.
Tapi selain itu agaknya kongres di Bali juga mencerminkan
perkembangan lain: konsepsi baru mengenai pengelolaan wilayah
konservasi alam. Pertemuan pertama tingkat konperensi
berlangsung di Seattle, Washington, AS, tahun 1962. Yang kedua,
juga tingkat konperensi, di Clrand Teton National Park, Wyoming,
AS, tahun 1972. Kedua konperensi itu terutama menegaskan
konsepsi ideal Amerika Serikat tentang taman nasional. Yakni
suatu wilayah konservasi alam yang bebas dari pengaruh campur
tangan manusia. Jadi semacam museum alam yang isisihkan untuk
keperluan wisata dan ilmu pengetahuan.
Tapi konsepsi semacam itu bagi Dullia Ketiga agaknya sukar
diterima. "Kegiatan perlindungan dan pengelolaan ekosistem alam
tidak selalu sejalan dengan keinginan manusia dalam usaha
memenuhi kebutuhan," ujar Menteri Pertanian, Prof. Soedarsono
dalam pengarahannya pekan lalu. "Apalagi di negara-negara
berpenduduk padat seperti Indonesia. Juga Walter Lusigi, ekolog
dari Kenya menyatakan konsepsi semacam itu asing bagi rakyat di
Afrika. "Untuk melarang orang Amerika bercocok tanam di taman
nasional Yellowstone tak terlalu sulit, tapi melarang peternak
dari suku Masai memanfaatkan lahan di taman nasional Amboseli di
Kenya, persoalan lain lagi," ujar Lusigi.
Meski masih banyak penganut 'pemikiran lama' yang menginginkan
penyisihan wilayah yang luas "demi satwa liar" saja, penganut
konsepsi 'baru' juga semakin banyak. "Kita tnembutuhkan wilayah
pelestarian untuk menjamin pelestarian kita sendiri," ujar
Kenton R. Miller, dari Universitas Michigan, AS dan Ketua Komisi
IUCN tentang taman nasional dan wilayah terlindung. "Taman
nasional itu lebih dari sekedar tempat yang indah," ujarnya.
Strategi Konservasi Sedunia dari IUCN (1980), mendefinisikan
konservasi sebagai pengelolaan pemanfaatan biosfera oleh manusia
hingga bisa menghasilkan manfaat terbesar pada generasi sekarang
sambil mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan
harapan generasi mendatang.
Tapi para pejabat IUCN juga melihat, selama dasawarsa lalu
pimpinan gerakan taman nasional beralih dari AS ke Dunia Ketiga.
Peralihan ini bukan tak wajar. Dua-pertiga jenis satwa dan
tanaman di dunia terdapat di wilayah negara berkembang itu.
Agaknya sebabnya pemikiran tentang taman nasional yang lebih
maju justru berasal dari negara Dunia Ketiga itu, seperti
terlihat dalam puluhan makalah di Bali.
Betapapun pertemuan di Bali itu tak berkembang menjadi suatu
konfrontasi Barat-Timur. Ia lebih merupakan diskusi antara
gelombang baru dan penganut pemikiran lama. Sasaran utama
kongres lalah menemukan cara dan upaya memanfaatkan taman
nasional untuk menunjang perkembangan sosial dan ekonomis.
Pendekatan ini mengusahakan memanfaatkan pelestarian bagi umat
manusia.
Kongres di Bali membahas berbagai kasus dari seluruh dunia
tentang bagaimana wilayah alam terlindung sekarang paling tidak
bisa melayani kebutuhan penduduk setempat. Misalnya sebagai
wilayah pengendalian air, sumber hasil hutan dan kayu bakar,
tempat pengelolaan satwa liar yang bisa dimanfaatkan oleh
penduduk, sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi
pertanian, kehutanan dan industri obat.
Saat ini manfaat dari wilayah itu, termasuk yang terlimiung
sebagai suaka alam, dirasakan terutama oleh negara berkembang.
Misalnya berbagai jenis liar dari tanaman pokok seperti gandum
dan jagung, tumbuh di negara berkembang seperti Ethiopia dan
Meksiko. Jenis liar ini sangat penting untuk membiakkan jenis
unggul yang tahan hama dan berproduksi tinggi bagi petani Eropa
dan AS. Di AS saja sumbangan ini bernilai sampai US$ 700 juta
(Rp 469 milyar) setiap tahun. Juga obat-obatan berdasarkan
sumber di negara berkembang bernilai US$ 40 milyar (Rp 26,8
trilyun) di negara berkembang.
Agaknya keuntungan akhirnya dinikmati negara-negara kaya yang
memiliki te.knologi untuk membiakkan jenis tanaman unggul serta
mengembangkan obat-obatan. Negara berkembang yang memikul beban
biaya mengkonservasikan sumber alam itu kini agaknya mencari
jalan agar negara industri itu menyumbang "bagiannya yang
layak".
SELAMA di Bali, pihak Indonesia di Bali mengumumkan telah
meresmikan 11 wilayah lagi sebagai taman nasional dengan luas
total hampir 1,49 juta hektar. Ini memperluas lagi wilayah
konservasi alam sebanyak lebih 985 ribu hektar dari 5 taman
nasional yang diresmikan Maret 1980.
Selama lebih 20 tahun Indonesia sudah menggalang kerjasama
dengan IUCN, selain banyak ahli Indonesia menduduki berbagai
posisi dalam badan PBB itu. Tahun 1979 Indonesia merupakan
negara Asia Tenggara pertama yang menandatangani Konvensi
tentang Perdagangan Internasional Satwa Liar Langka (CITES) yang
dikelola IUCN. Tahun 1981 IUCN bersama WWF (Dana Satwa Liar
Sedunia) mengadakan perjanjian konservasi selama 5 tahun dengan
Indonesia. Dalam perjanjian ini bakal tersedia lebih US$ 1 juta
(Rp 670 juta) untuk melindungi berbagai sumber daya alam yang
unik serta membantu pengembangannya. Perjanjian itu juga
mengakui upaya konservasi itu harus bisa menunjang perkembangan
sosio-ekonomi dan sesuai dengan sasaran Strategi Konservasi
Se-dunia.
Kongres di Bali bertujuan ilmiah, tapi mau tak mau unsur politik
perlu muncul juga. Draft deklarasi kongres yang bakal diumumkan
pada penutupan 22 Oktober, mencatat: "untuk membangun suatu
jaringan luas wilayah alam terlindung di Dunia Ketiga, perlu
suatu penataan baru untuk menjamin pengalihan sumber dana dan
penyediaan bantuan teknis yang dipandang cukup." Artinya,
negara-negara maju yang selama ini memperoleh keuntungan dari
sumber daya alam di negara berkembang, harus ikut menanggung
beban upaya pelestarian wilayah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini