Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rahardi Ramelan: "Saya Plong, yang Menerima Dana Sudah Mengaku"

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUNDAK Profesor Rahardi Ramelan seperti lebih ringan dari sebelumnya. Setelah mengungkap sebuah kesaksian penting Selasa dua pekan lalu, tersangka kasus korupsi dana Bulog Rp 54,6 miliar ini tampak lebih rileks. Ia banyak melempar canda. Tawanya pun lebar. "Beban berat kan sudah dilepas," kata teknokrat kelahiran Sukabumi 12 September 1939 ini, terkekeh. Kini giliran imbas dari pengakuan dia—yang mengaku keturunan Pangeran Samber Nyowo itu—yang menyambar ke mana-mana. Salah satunya bahkan kuat mengarah pada keterlibatan Ketua DPR Akbar Tandjung dan Partai Golkar. Tapi ada banyak hal yang masih samar. Untuk menyingkapnya, Karaniya Dharmasaputra dan Wenseslaus Manggut dari TEMPO mencoba menggali keterangan dari saksi kunci ini. Di-temui Sabtu pagi kemarin di kolam renang Senayan, selama dua jam Ketua Persatuan Renang Seluruh Indonesia ini menuturkan banyak kesaksian penting yang tak pernah terungkap sebelumnya. Berikut petikannya. Benarkah rapat pengeluaran dana Bulog Rp 40 miliar itu berlangsung di rumah Habibie dan bukan dalam rapat kabinet? Tidak benar. Keputusan itu dibicarakan dalam sebuah rapat kecil di Istana yang dihadiri oleh Presiden, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dan saya sendiri sebagai Kepala Bulog. Saat itu harga melonjak tinggi dan masyarakat kecil mengalami kesulitan. Ditanyakan apakah Bulog memiliki dana untuk membantu masalah ini. Kebutuhannya kira-kira Rp 40 miliar. Siapa yang meminta dana? Saya lupa dari siapa angka Rp 40 miliar itu muncul. Saya bilang pada bulan Maret itu Bulog hanya bisa mencairkan Rp 20 miliar. Sisanya tunggu bulan berikutnya. Kalau dana untuk Pak Wiranto itu malah dibicarakan secara khusus dalam sidang kabinet. Dana Rp 20 miliar dikeluarkan dalam bentuk cek dan diserahkan Ruskandar ke Akbar? Memang betul dalam bentuk cek. Perintah untuk mengeluarkannya dari saya, tapi yang menandatangani dan menyerahkan cek itu adalah Pak Ruskandar sebagai Deputi Keuangan Bulog. Tapi Akbar membantah menerima cek secara langsung. Laporan Ruskandar kepada saya, "Pak, ceknya sudah saya serahkan." Saya tanya diserahkan ke mana? "Kepada Mensesneg," kata Ruskandar. Saya percaya sekali pada keterangan Pak Ruskandar. Benarkah Akbar pernah memberikan kuitansi dan lalu menariknya kembali? Saya baru belakangan tahu bahwa tanda terima itu sekarang sudah tidak ada. Dulu ada. Menurut Ruskandar, ia diberi tahu kuitansi Rp 20 miliar tahap pertama itu akan ditukar dan dijadikan satu saja berupa satu tanda terima untuk Rp 40 miliar. Namun sampai sekarang itu belum diberikan. Tapi saya merasa plong karena yang menerima dana kan sudah mengakuinya. Artinya, Ruskandar dan saya tidak berbohong. Yang masih gelap itu kan arus pemanfaatan dana setelahnya. Kalau sisanya yang Rp 20 miliar? Juga diserahkan dalam bentuk cek ke Mensesneg. Lalu kenapa dipecah dalam jumlah Rp 2-3 miliar? Itu dipecah-pecah atas permintaan Mensesneg. Mungkin biar mudah saja. Benarkah itu lalu diserahkan ke sejumlah bendahara Golkar? Wah, saya tidak tahu. Dana itu digunakan untuk deklarasi Partai Golkar? Saya tidak tahu. Tanyakan pada yang menggunakannya, dong. Tapi dari dulu dana Bulog kan memang digunakan untuk Golkar? Justru di masa saya, itu hendak saya pangkas. Menurut Akbar, dana itu disalurkan melalui yayasan. Soal yayasan ini merupakan keputusan rapat? Tidak, tidak dibicarakan sama sekali. Jadi, kapan Anda pertama kali men-dengar soal yayasan ini? Saya baru mendengarnya setelah saya kembali ke Jakarta, setelah dijelaskan Pak Akbar. Benarkah Akbar pernah membujuk Anda untuk menggunakan skenario yayasan pada pertemuan 9 Oktober? Yang jelas, saya tidak bakal mau terlibat dalam pembuatan skenario semacam itu. Saya ingin supaya kebenaranlah yang pada akhirnya muncul. Benarkah sejak awal perkara ini telah direkayasa dan cuma menjebloskan Anda? Saya tidak mengerti soal itu. Hanya, saya terkejut sekali sewaktu dinyatakan sebagai tersangka. Apalagi dikatakan buron segala. Ruskandar, misalnya, pernah mengaku kepada Anda disekap empat bulan di Singapura. Saya tidak tahu. Lalu kenapa keterangan Ruskandar di kejaksaan sampai tiga kali berubah? Pada pemeriksaan ketiga, sebetulnya para penyidik mau mengonfrontasi saya dengan Pak Ruskandar. Mengapa? Karena awalnya Pak Ruskandar bilang cek itu dia berikan kepada saya. Padahal, dalam keterangan saya, cek itu diberikan Pak Ruskandar kepada Mensesneg. Tapi, syukurlah, akhirnya keterangan Pak Ruskandar diperbaiki dan sudah sejalan dengan saya. Anda pernah ditawari supaya perkara ini diatur cuma menjerat Ruskandar? Tidak pernah. Saya tidak akan pernah mengorbankan anak buah saya, kalau itu bukan kesalahannya. Sewaktu transit di Singapura, Anda di-tekan Wiranto, Setya Novanto, dan tim pengacara Akbar? Di Singapura saya memang bertemu dengan Pak Wiranto. Tapi itu kebetulan saja. Saat itu Pak Wiranto sedang mengurus sesuatu. Masa, ketemu teman tidak boleh. Soal pengacara Pak Akbar, saya tidak tahu. Katanya mereka memang bertemu dengan pengacara saya. Saya memang bertemu Setya Novanto. Bukankah Akbar yang meminta Anda menghindar ke luar negeri? Pak Akbar tidak pernah meminta saya untuk menghindar. Saya ke luar negeri atas rekomendasi Institut Teknologi Surabaya, Universitas Indonesia, dan Habibie Center. Tujuannya supaya saya mendalami kebijakan ilmu dan teknologi di Institut Teknologi Massachusetts, Boston, Amerika Serikat. Saya juga ke Jerman karena harus memberikan ceramah di beberapa kampus di sana. Nah, saat liburan musim panas pada 16 Juni hingga 8 Juli lalu, saya berlayar ke Eropa dengan kapal cruise. Karena itulah saya sulit dihubungi. Keluarga Anda pun tak bisa mengontak Anda? Ya, kadang-kadang memang sulit. Masa, Anda tidak tahu dipanggil kejaksaan? Saya tidak pernah tahu adanya panggilan itu. Jadi, tidak benar kalau diberitakan saya kabur. Bahkan, yang membuatkan visa saya keliling Eropa adalah konsul jenderal di New York. Dia tahu seluruh jadwal perjalanan saya. Masa, saya dibilang lari? Tapi Interpol hampir mengeluarkan perintah penangkapan. Saya pulang bukan karena takut red notice, tapi karena saya merasa memang saya harus pulang. Hanya, terus terang saja, saya memang terkejut sekali. Seolah-olah begitu berdosa dan berbahayanya saya ini. Masa, tidak satu pun kawan saya di Jakarta yang bisa menjelaskannya kepada kejaksaaan dan kepolisian. Di mana teman-teman saya selama ini? Saya merasa ditinggalkan, merasa dianiaya. Karena itu, Anda akhirnya membongkar kasus ini ke muka publik? Bukan, kalau tidak pulang, pembunuhan karakter terhadap diri saya berjalan terus. Saya harus menghentikannya. Anda berkonsultasi dengan Habibie? Saya tanyakan pada beliau apakah masih ingat pernah memerintahkan saya mengeluarkan Rp 40 miliar ke Mensesneg untuk keperluan Jaring Pengaman Sosial. Pak Habibie bilang masih ingat. Beliau bilang, "Pulang dan buka saja." Sebelum pulang Anda mengontak Bimantoro? Itu atas saran pengacara saya, O.C. Kaligis. Tengah malam saya menelepon Pak Bimantoro dari Boston. Saya jelaskan bahwa saya tidak bakal lari. Yang benar saja, masa saya lari? Saya belum bisa datang karena jadwal saya sangat padat. Malam itu juga saya menelepon Jaksa Agung, Pak Rachman. Saya sampaikan bahwa saya akan tiba di Jakarta tanggal 29 September. Pak Rachman bilang oke asal tidak lewat tanggal itu. Pada awalnya Anda memilih bungkam. Saya cemas. Jika saya berterus terang, akan ada implikasi politik yang sangat luas. Kepada para penyidik saya sampaikan, saya tahu siapa yang menerima uang itu. Tapi, karena itu menyangkut rahasia negara, saya belum bisa membukanya, kecuali jika para penyidik mau menerima tanggung jawabnya. Para penyidik itu diam saja. Lantas kenapa akhirnya Anda buka juga? Karena beban di pundak saya sudah terlalu berat. Berita media massa sudah sangat memojokkan saya. Saya berkonsultasi dengan Pak Bimantoro dalam kapasitasnya sebagai Kapolri. Beliau bilang, "Sudah, ceritakan saja." Saya juga bertemu Pak Hendropriyono se-bagai Kepala Badan Intelijen Negara. Saya sampaikan beban saya sudah terlalu berat, kalau saya buka bagaimana? Pak Hendro bilang, "Ceritakan saja pada penyidik. Biar setelah itu, yang lain-lainnya bukan urusan kamu lagi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus