Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mencegah yang haram masuk mulut

Majelis ulama indonesia belakangan ini sibuk merencanakan labelisasi makanan halal. ada masalah, bagaimana meneliti halal-haramnya hewan potong dan daging impor.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKELOMPOK wartawan berbuka puasa di sebuah warung ayam goreng, salah satu warung langganan mereka. Entah kenapa, selama ini mereka tak pernah pesan kepala ayam goreng. Baru kali itulah ada yang pesan. Dan begitu datang pesanan, langsung semuanya saja menghentikan makan ayam, hanya menghabiskan nasi dengan tahu goreng dan sambal. Adapun soalnya, berdasarkan penglihatan mereka, leher ayam yang mengikut kepala ayam pesanan itu ternyata mulus. Dalam analisa para wartawan itu, ayam tersebut tak disembelih. Ini haram. Sejak itu, mereka tak lagi makan di warung tersebut. Peristiwa ini terjadi awal tahun 1980-an. Kejadian tersebut memberikan gambaran bahwa makanan di kalangan umat Islam tidak hanya halal dari jenis hewannya, tapi juga pada cara pemotonganya. Artinya, hewan potong seperti ayam, sapi, atau kerbau, akan berubah statusnya menjadi haram bila hewan tersebut mati karena tercekik, terbentur, jatuh, ditanduk, diterkam binatang buas, dan tidak disembelih atas nama Allah. "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya..."(Al Maidah, ayat 3). Dengan kata lain, di Indonesia, negara yang mayoritas muslim ini, soal kehalalan makanan, baik produk yang sudah diolah maupun mentah seperti daging ternak, adalah soal serius. Agaknya, itulah yang membuat Majelis Ulama Indonesia belakangan ini giat melakukan penyuluhan tentang makanan halal. Misalnya, dengan mengadakan seminar dan lokakarya tentang sertifikasi dan labelisasi makanan halal. Terakhir, lokakarya tentang sertifikat daging halal dilakukan akhir Januari lalu. Tampaknya, ujung dari segala kegiatan ini adalah untuk menghilangkan keragu-raguan masyarakat terhadap makanan yang akan dibelinya. "Itulah tujuan utama kami," kata Prof. Dr. Hajah Aisjah Girindra, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Ini bukan berarti, selama ini, belum ada label halal pada kemasan makanan. Di pasar, banyak ditemukan produk makanan olahan yang sudah memasang label halal. Itu, menurut K.H. Hasan Basri, Ketua Majelis Ulama Indonesia, dicantumkan sendiri oleh perusahaan yang bersangkutan. Jadi, pelabelan halalnya bukan dari Majelis Ulama Indonesia, alias masih diragukan kebenarannya. Untuk menangani masalah yang cukup pelik ini, MUI Pusat dibantu oleh Lembaga Pengkajian Pangan MUI, lembaga yang memiliki tenaga ahli dari Institut Pertanian Bogor, antara lain. Lembaga tersebut akan melakukan audit ke tempat produsen yang mengajukan sertifikasi halal. Selama audit berlangsung, menurut Profesor Aisyah, produsen diminta memberikan informasi yang jujur dan jelas tentang produk mereka. Di samping itu, tim audit Lembaga Pengkajian Pangan MUI juga mengambil sampel secara acak untuk diuji di laboratorium. Lalu hasil dari audit dan analisa laboratorium itu diserahkan ke MUI sebagai bahan pertimbangan untuk mengeluarkan fatwa halalnya. Setelah itu, berdasarkan fatwa MUI, lembaga tersebut mengeluarkan sertifikat halal untuk produk makanan itu. Artinya, makanan tersebut di samping tidak mengandung babi atau bahan yang terbuat dari lemak babi atau alkohol, juga berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam. Setelah membayar biaya sertifikasi, perusahaan tersebut berhak mencantumkan label halal pada barang produksinya. Tampaknya, kebutuhan akan sertifikasi halal ini cukup mendesak. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat luas, tapi juga oleh para produsen makanan atau minuman olahan, pengusaha restoran, dan hewan potong. Lebih-lebih sejak heboh lemak babi pada tahun 1988, ketika sejumlah produk makanan disebut-sebut dicampur lemak babi. Jadi, tak mengherankan bila banyak produsen makan olahan yang meminta MUI untuk segera mengeluarkan sertifikat halal atas produk mereka, seperti yang diceritakan K.H. Hasan Basri. Itu bisa dimaklumi. Soalnya, "Hal itu berpengaruh pada pemasaran produk mereka," kata K.H. Hasan Basri. Dengan adanya sertifikat halal di tangan mereka, lapangan pemasarannya menjadi terbuka luas. Adakah sanksinya untuk produsen yang tidak mencantumkam label halal pada produk mereka? Sanksi memang belum ada, baik itu bagi produsen yang tidak mencantumkan label halal maupun yang berbohong. Mereka itu, menurut K.H. Hasan Basri, hanya akan dinasihati. "Biarkan masyarakat konsumen sendiri yang menghukum mereka," kata Hasan Basri. Di Malaysia, negara tetangga yang lebih dulu menerapkan sertifikasi halal ini, perusahaan makanan yang mengelabui konsumen dalam soal halal dan haram ini akan diajukan ke pengadilan dan didenda. Tampaknya, tak ada masalah bagi Lembaga Pengkajian Pangan MUI untuk mengecek halal atau tidaknya suatu produk makanan atau minuman olahan. Tapi, bagaimana mengecek halal-haramnya dengan daging hewan potong? Memang sulit mengecek, apakah hewan itu disembelih sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Apalagi, jumlah hewan potong terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Biro Pusat Statistik, kebutuhan akan daging potong meningkat dari 897.000 ton tahun 1987 menjadi lebih dari 1,2 juta ton tahun 1992. Ini tentu belum termasuk daging potong liar, yang konon cukup banyak beredar, misalnya di Surabaya belum lama ini. Untuk sementara ini, Lembaga Pengkajian Pangan MUI akan memberikan kriteria halal kepada rumah jagalnya, sebagai tahap pertama untuk mengontrol kehalalan daging hewan potong. Hewan tersebut harus disembelih menurut syariat Islam. Antara lain, dengan menyebut asma Allah, disembelih dengan alat penyembelihan yang tajam sehingga bisa memutuskan urat-urat lehernya dengan cepat, dan harus dipotong pada lehernya. Harap maklum, dalam masalah pemotongan hewan ini memang pernah muncul kekhawatiran di masyarakat. Itu terjadi pada pertengahan tahun 1970-an. Masyarakat gelisah karena daging yang dijual di pasar-pasar Jakarta disembelih dengan mesin. Untuk menghilangkan kegelisahan itu, setelah melakukan penelitian ke rumah jagal, MUI mengeluarkan fatwa: hewan yang dipotong dengan mesin adalah halal. Soalnya kini, bagaimana mengecek kehalan daging sapi yang diimpor? Meskipun jumlahnya kecil dan hanya terdapat di tempat tertentu, misalnya di hotel atau restoran besar, ini juga dipertanyakan. Untuk mengatasi hal itu, Lembaga Pengkajian Pangan MUI merencanakan meminta bantuan, misalnya ke pusat Islam di negara yang mengekspor daging tersebut untuk mengamati cara pemotongan hewan di negaranya. "Bila lembaga itu memberikan rekomendasi, kita akan menerimanya sebagai daging halal" kata Aisjah Girindra, guru besar IPB Bogor. Masalahnya, bila di negara itu tak punya pusat Islam, atau pusat Islamnya tak punya akses untuk memeriksa penjagalan hewan potong itu, bagaimana?Julizar Kasiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum