STING bukan cuma musik. Dalam nama itu terkandung pula film, opera, lingkungan hidup, dan suku terasing. Penyanyi pop jenis inilah yang manggung di Jakarta Hilton Convention Center, Sabtu pekan lalu. Ia meloncat ke Jakarta sehabis menggedor Singapura dua hari sebelumnya dalam acara keliling yang disebutnya sebagai The Summoner's Travel. Jarang, penyanyi pop yang tetap melambung sampai belasan tahun. Tak banyak musisi yang bertahan harganya setelah muncul grup dan musisi yang baru, segar, dan lebih menarik. Di antara yang sedikit itulah Gordon Matthew Sumner, nama asli Sting, berada. Mungkin karena itu, baru-baru ini ia ditawari tugas mengocok gitar dalam grup Beatles yang akan dibentuk lagi. Jadi, jangan heran, ia yang melenting dengan The Police-nya pada akhir 1970-an tetap disambut riuh rendah lebih dari 10 tahun kemudian, di Jakarta. Beberapa hari sebelum Sabtu pekan lalu, tiket pertunjukannya sudah sulit dicari -- meski tentunya para tukang catut punya andil pula. Dilahirkan di daerah miskin kawasan industri Wallsend Northumberland, Inggris, sekitar 41 tahun lalu, Gordon tumbuh sebagai anak berbakat yang tertekan. Orang tuanya, yang bekerja sebagai pemerah susu dan penata rambut, mendidiknya dalam lingkungan Katolik Yesuit yang kolot. Masa-masa itu dirasakannya sangat pahit dan membuat Gordon selalu ingin melarikan diri. Tapi ia, yang pernah tiga kali menjuarai lomba lari 100 meter di daerahnya, kenyataannya tak pernah kabur. Ia malah terus sekolah sampai menamatkan pendidikan guru di Northern Counties Teacher Training College, dan mengajar di sebuah SMP. Entahlah apa yang diperolehnya dari dalam kelas. Yang jelas, setelah bertemu Steward Copeland, bekas penabuh drum grup Curved Air, ia meninggalkan murid-muridnya. Ini tentu tarikan dari Copeland, yang merasakan adanya bakat luar biasa yang terpendam dalam diri Gordon. Dan ternyata langkah ini, seperti diketahui, pas. Bersama Copeland itulah ia, ketika itu sudah bernama Sting, mendirikan The Police, dan segera saja melambung. Kuncinya, dari segi "manajemen", adalah ide tentang "kelompok yang irit modal tapi padat energi." Dari soal musiknya, The Police mencampur alternatif: mencari musik rock yang cukup manis tapi tak mendayu seperti Eagles, cukup kasar tapi tak seliar Rolling Stones, dan cukup eksperimental tapi tak senjelimet Pink Floyd. Kebetulan, musik The Police klop dengan suasana perubahan musik pop Inggris pada waktu itu. Punk rock, yang lahir dari kegilaan kaum berandalan yang disebut punk, sampai di puncaknya. Musik ini dilatarbelakangi pengangguran besar-besaran, ketimpangan ekonomi antarkelas yang runcing, serta "lelucon" monarki Inggris yang terus hidup bermewah-mewah. Mereka mengidentifikasi diri dalam kelompok-kelompok yang mengecat rambutnya berwarna-warni, menggunakan peniti sebagai giwang, dan rantai WC sebagai kalung. Kerja mereka hanya mabuk- mabukan dan berkelahi dari bar ke bar, menghabiskan uang hasil melacur dan membegal untuk membeli heroin. Tentu saja, musik mereka begitu sinting bagi rata-rata orang. "Kami tak ingin menyanyi, kami cuma ingin bikin ribut," teriak mereka. Coba, grup punk rock seperti The Damned dan Sex Pistol mempunyai pemain bas yang hanya bisa memainkan dua akor. Diperlukan "kegilaan" juga untuk menikmati lagu-lagu aliran ini. Sting dan Copeland sudah cukup muak dengan kesintingan punk rock. Mereka menginginkan bentuk musik anti kemapanan yang tetap masih enak didengar. Segera, sebagian pengamat musik pop mengangkat The Police di barisan baru pasca-punk rock yang disebut new wave. Sebagian yang lain melihat rentak dasar musik The Police dekat pada irama reggae Jamaika, lalu menyebutnya sebagai regatta de blanc atau reggae putih. Dan The Police mencantumkan sebutan itu sebagai judul salah satu albumnya. Yang jelas, apa pun sebutan musiknya, The Police ngetop. Mungkin, musik The Police memang mudah diterima semua orang. Pada dasarnya akor-akor lagu ciptaan Sting dan Copeland, seperti Roxxane, Message in a Bottle, So Lonely, Walking on the Moon, dan Don't Stand So Close to Me, termasuk standar. Hanya saja, komposisi melodinya menggerayang ke mana-mana pas dengan lirik-liriknya yang mengejutkan. Coba dengar, seseorang merasa kesepian terdampar di pulau terpencil, melemparkan ke laut sebuah botol berisi surat SOS agar ada yang menyelamatkannya dari kesendirian. Esoknya, ia menjumpai ratusan ribu botol yang sama berserakan di pantainya. Ia sendiri, tapi bukan dia sendiri saja yang sendiri. Itulah Message in a Bottle. Itulah Sting, pemuja dua sastrawan besar Inggris James Joyce dan D.H. Lawrence. Ditambah dengan vokal sopran Sting yang melankolis, hingga lagu ini menjadi himne kaum urbanis yang letih. Sampai akhir 1983, diperkirakan The Police berhasil menjual "kesunyian" tak kurang dari 40 juta kopi di pasar rekaman. Dan diperkirakan Sting sendiri menggaet duit US$ 15 juta. Ia bukan lagi si Gordon yang miskin. Bisa jadi, The Police menganut pikiran "berhentilah sebelum kamu pudar". Ketika grup ini merasa tak punya tantangan lagi, tak kreatif lagi, mereka membubarkan diri. Itu terjadi pada awal tahun 1984. Dan dunia baru pun dirambahnya. Disutradarai David Lynch, Sting berperan dalam Dune, sebuah film fiksi sains beranggaran US$ 400 juta, terbesar sepanjang sejarah. Perannya: kaisar galaksi yang bengis. Ini bukan sekadar pelarian dari musik. Para kritikus film sempat mengacungkan jempol atas perannya sebagai pedagang gelap semasa Perang Dunia II dalam Plenty (tahun 1985). Sting dianggap mampu mengimbangi lawan mainnya waktu itu, seorang aktris berat: Merryl Streep. Tapi hadir di depan khalayak secara tak langsung, lewat rekaman seluloid, tampaknya tak memuaskannya. Awal tahun 1990, ia pun meloncat ke pentas opera di Broadway, New York. Dalam Threepenny Opera yang disutradarai John Dexter, ia memerankan Macheath secara gemilang. Tapi, mesti buru-buru dicatat, Sting tetap setia pada "istri" pertamanya. Bubar The Police, ia berkarier solo, dan muncullah album solo pertamanya, The Dream of the Blue Turtles (tahun 1985), dan setahun kemudian, Bring on the Night. Inilah dua album jazzy yang dimaksudkannya untuk menghapuskan kesan musik ska The Police. Mungkin Sting tak ingin nebeng kekhasan The Police meski ia salah satu kuncinya. Lalu, setelah kedua orang tuanya meninggal, Sting mencoba meluaskan konteks musiknya. Ia bersahabat dengan kepala suku Indian di belantara taman nasional Xingu, Brasil, seusai sebuah konser di Rio de Janeiro, tahun 1987. Raoni, demikian nama kepala suku itu, kemudian berpesan agar Sting membantu menjaga hutan supaya bumi tak jadi mati. Itulah awal berpihaknya Sting pada kepedulian lingkungan hidup. Dan dalam dua album berikutnya, ia berubah. The Soul Cages (tahun 1991) dan Ten Summoner's Tale (tahun lalu), musik Sting terasa bebas, mencoba menemukan dirinya sendiri. Dengar Fields of Gold, tentang ladang gandum keemasan di sekitar rumahnya. Masa kecilnya kembali muncul, dan tampaknya memberikan makna. Dan Sting makin tak peduli pada jenis musik. It's Probably Me bernuansa blues, dan Love is Stronger than Justice berbau kantri. Pokoknya, inilah Sting, tak peduli bila kamu tak paham. Dengar dua baris dari Epilogue (Nothin' about Me) "Atur mikroskopmu dan katakan apa yang kau lihat. Tetap saja kau tak tahu tentang aku."Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini