Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua bulan sekali, Her-man Mawardi melanglang ke Guangzhou—sebuah permata bisnis yang riuh di selatan Cina. Di sana, pedagang gesper dan tas impor dari Pasar Asemka, Jakarta Pusat, itu mengaduk-aduk toko langganannya di aneka pusat grosir. Selama sepekan, itu saja yang dia lakukan. ”Saya belanja barang satu kontainer untuk di-jual lagi di Indonesia,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Guangzhou adalah besi berani yang menarik tukang belanja dari berbagai belahan bumi. Denyut perniagaan amatlah terasa di kota ini—begitu pengakuan Herman. Setiap hari, jutaan orang hilir-mudik. Mereka bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga para pedagang yang mengalir dari Eropa, Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika. Seperti Herman Mawardi, tujuan mereka sama, berburu produk murah made in China.
Harga barang yang serba miring adalah daya pikat utama dari ibu kota Provinsi Guangdong ini. Semua jenis barang bisa ditemui di puluhan pusat grosir dengan berbagai spesialisasi produk. ”Toko-toko di pusat grosir rata-rata punya pabrik sendiri,” tutur Herman.
Pelabuhan serta infrastruktur yang bagus, ribuan pabrik, serta jutaan tenaga kerja murah membuat Guangzhou mudah membangun jaringan perniagaannya. Pemerintah giat menggaet investor dengan menjadikan kota berpenduduk 10 juta jiwa lebih ini kawasan ekonomi khusus. Izin usaha? Tak perlu bertele-tele. Pajak penghasilan perusahaan dikikis dari 33 persen menjadi 15 persen saja.
Pemerintah juga serius membenahi Huangpu Harbor. Pelabuhan ekspor-impor Guangzhou ini punya rekor tersendiri. Kini berusia 1.000 tahun, Huangpu adalah dermaga terbesar di selatan Cina. Pada 2001, kapasitas kargonya 121 juta ton. Dari jumlah itu akan dikerek menjadi 450 juta ton per tahun. Jalan raya lebar dan bertingkat terus diperpanjang serta diperluas untuk mempermudah transportasi..
Terletak di tepi Sungai Delta, Guangzhou memiliki sekitar 3.200 pabrik. Dari sini lahirlah berbagai macam produk, seperti mesin, kapal, semen, baja, bahan kimia, otomotif, elektronik, furnitur, hingga pupuk. Juga, baju, mainan, kerajinan, batu permata, perhiasan.
Ribuan pabrik itu disokong oleh tenaga buruh yang murah meriah. Mereka datang berduyun-duyun dari desa-desa di selatan Cina sejak 1990-an untuk mencari kerja. Pada 2004, pasokan buruh sempat berkurang karena mereka pindah. Alasan mereka, Guangzhou membayar buruhnya terlalu murah, yakni 600 yuan per bulan atau Rp 690 ribu dengan waktu bekerja 10–12 jam per hari. Kondisi kerja pun buruk tanpa kontrak dan tanpa jaminan sosial. Setiap ruang asrama dijubeli oleh 8–16 orang.
Kekurangan buruh sudah bisa diatasi tahun lalu. Hasil penelitian Li Youhuan, profesor ekonomi di Akademi Ilmu Sosial Guangdong, menjelaskan bahwa buruh sudah lebih betah di Guangzhou karena ada perbaikan upah dan kesejahteraan. Pemerintah daerah telah menaikkan upah minimum menjadi 780 yuan atau Rp 900 ribu per bulan. Kondisi asrama juga diperbaiki, ruangan dilengkapi AC.
Menurut Wu Qikai, Deputi Direktur Guangzhou Labour Market Service Centre, perbaikan upah memang perlu dilakukan bagi kota industri seperti Guangzhou. Apalagi, seperti halnya Shanghai, Fujian, dan Beijing, kota ini telah menjadi ikon Cina. Dari sini mengalirlah produk massal yang memenuhi pasar domestik 1,3 miliar penduduk serta pasar ekspor.
Peran Guangzhou sebagai kota produk murah belum terkikis dibanding kota-kota bisnis lain yang sudah mahal, umpamanya Shanghai, Shenzen. Sebutan ”harga Cina” (baca: harga murah) di Guangzhou masih menggema di latar perdagangan dunia.
Ahli investasi Cina, Ken Davies, meramalkan kejayaan produk murah ini tidak akan berlangsung lama. Upah buruh terus naik sehingga produk Cina, menu-rut Davies, tak lagi kompetitif, selain impor yang akan berhenti. Ramalan ini mestinya melegakan banyak negara di Uni Eropa dan Amerika yang kian puyeng karena dilanda barang murah made in China.
Heri Susanto, Xinhua, AFP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo