Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM setahun, empat kali A Huang menyambangi tanah leluhurnya. Tak pernah pula ia melewatkan singgah di Ning-Bo, Provinsi Zhe Jiang, Cina. Di kota tua itu, para sahabat selalu siap menyambut. ”Yang paling saya takutkan, diajak minum hingga mabuk,” katanya. ”Dan celakanya, saya memang doyan minum,” A Huang terkekeh.
”Ritual” ini dijalani A Huang bukan untuk kesenangan belaka, melainkan sekalian berburu produk Cina. Teman minumnya adalah para bos pemilik pabrik pembuat perlengkapan kantor. Lewat acara ”minum-minum”, kata lelaki 37 tahun ini, urusan dagang pun jadi lebih lancar.
Sejak tujuh tahun silam, A Huang memang telah banting setir. Produk stationary jualannya, seperti gunting, cutter, dan stapler, tak lagi didatangkan dari Jepang atau Taiwan. Ia memilih seratus persen produk Cina. Kualitas produk cukup mumpuni untuk pasar kelas menengah, yang jadi target bisnisnya. ”Dulu buatannya memang kasar sekali,” katanya. Tapi, dengan adanya alih teknologi, berangsur membaik.
Alasan lain, harganya terbilang supermurah. Hargalebih murah 30 persen ketimbang produk Taiwan, bahkan 40 persen lebih rendah dibanding Jepang. Keunggulan ini khususnya terdapat pada produk berteknologi sederhana seperti alat perlengkapan kantor. Jepang dan Taiwan sulit menandingi, karena biaya hidup di sana sudah kelewat tinggi. Akibatnya, ongkos produksinya kian membubung.
Meski begitu, kata A Huang, berbisnis dengan pengusaha Cina gampang-gampang susah. Mereka tak mudah percaya kepada calon pembeli. Semua transaksi awalnya harus dibayar tunai. Nah, untuk memupuk kepercayaan itulah, ia rajin bertandang ke sana. ”Selain untuk mempererat hubungan, saya berburu barang murah tapi kualitasnya oke,” katanya.
Hasilnya, pembayaran kini bisa dilakukannya dua pekan setelah barang dikirim. Sekitar 25 kontainer ukuran 20 kaki berisi perlengkapan kantor diimpornya setahun dari enam pabrik di sana. Nilai per kontainer US$ 25 ribu-110 ribu (Rp 225 juta-990 juta).
Di bidang garmen, Cina juga menjadi sasaran para pemburu produk murah. Seorang pemilik factory outlet di Bandung mengaku dua bulan sekali bertandang ke sana. Sekali datang, ia memborong satu kontainer garmen seharga Rp 1 miliar.
Begitulah, Cina kini telah menjadi surga pemburu barang murah. Pedagang mancanegara bersaing memperebutkan barang impor di sana. Tak mengherankan, agar bisa menang dalam persaingan, ”Orang Arab pun fasih bercas-cis-cus bahasa Mandarin di sana,” kata A Huang.
Metta Dharmasaputra, Candraningrum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo