Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUSAHAAN farmasi terbesar di Australia, CSL Limited, mengumumkan temuannya paling mutakhir: sebuah vaksin yang bisa membuat manusia dewasa kebal terhadap flu burung. Berbicara di Melbourne, Australia, 30 Januari lalu, Dr. Andrew Cuthbertson, kepala riset CSL, dengan jumawa sesumbar: Australia siap menghadapi kemungkinan meledaknya wabah flu maut ini.
Setelah sukses diujicobakan pada manusia dewasa, kini fokus riset CSL adalah bagaimana memproduksi vaksin antiflu burung dalam jumlah banyak dan waktu pendek. ”Dengan basis virus dari Vietnam dan Indonesia, dua jenis virus flu burung yang jadi masalah di kawasan ini, kami bisa memvaksinasi seluruh penduduk Australia dalam enam bulan,” kata juru bicara CSL, Rachel David, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Selang beberapa hari, pada awal Februari lalu, kabar ini sampai ke telinga Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Keningnya langsung berkerut. ”Saya shocked,” katanya. ”Saya tidak pernah memberi izin kepada perusahaan Australia mana pun untuk memproduksi vaksin berdasarkan virus tipe Indonesia.”
Meski terkejut menerima kabar dari Melbourne, kegeraman Fadilah mengarah pada titik lain: markas besar World Health Organization (WHO), lembaga kesehatan dunia bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss. Indonesia menjadi anggota badan ini sejak 1950. Dari laboratorium WHO-lah perusahaan farmasi raksasa seperti CSL mendapat akses atas virus flu burung tipe Indonesia. Fadilah meradang. ”Stop pengiriman spesimen virus flu burung ke WHO!” katanya tegas. Dunia medis terkesiap.
Keputusan drastis Menteri Fadilah tidak datang dari langit. Sebenarnya, sejak pertengahan tahun lalu, hubungan antara Departemen Kesehatan dan WHO sudah memburuk. Sumber Tempo di departemen itu menuturkan, para peneliti yang bekerja di laboratorium rekanan WHO selalu menggunakan virus flu burung tipe Indonesia untuk berbagai riset tanpa pernah sekalipun meminta izin.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, Triono Soendoro, tak membantah cerita itu. ”Kami sudah protes,” katanya. Karena tidak ada respons yang memuaskan, akhir tahun lalu Menteri Siti Fadilah memutuskan untuk menghentikan total semua pengiriman spesimen virus flu burung berupa dahak dan cairan tubuh lain dari para penderita penyakit ini ke luar negeri. Keputusan ini tak diketahui publik sampai Fadilah mengumumkannya sendiri setelah insiden CSL pada pekan pertama Februari lalu,. ”Kami hanya ingin WHO lebih adil,” katanya. “Ini masalah harga diri.”
Pernyataan Fadilah bergaung luas karena disampaikan setelah penandatanganan nota kesepahaman antara Departemen Kesehatan dan Baxter Healthcare, sebuah firma pembuat vaksin yang bermarkas di Swiss, awal Februari lalu. Dalam perjanjian itu, kedua pihak sepakat bekerja sama membuat vaksin flu burung dari virus H5N1 tipe Indonesia. ”Vaksin itu akan diproduksi oleh Biofarma,” kata Triono. Biofarma adalah perusahaan farmasi milik negara yang punya pengalaman memproduksi vaksin di Tanah Air.
Penandatanganan kesepakatan dengan Baxter dan keputusan menyetop semua pengiriman vaksin ke WHO mengirim pesan perang ke Jenewa. Tak ayal, para petinggi lembaga itu terusik. Perang pernyataan pun berkobar di media internasional sepanjang pekan lalu.
”Kami amat menyesalkan tindakan Indonesia,” kata David Heymann, pejabat Asisten Direktur Jenderal WHO untuk urusan penyakit menular. Jumat pekan lalu, didampingi pakar epidemio-logi flu, Dr. Keiji Fukuda dan sejumlah pejabat WHO Indonesia, dia terbang langsung ke Jakarta, menemui Menteri Fadilah. ”Kami harus duduk semeja dan membahas tuntas masalah ini,” katanya di luar ruang pertemuan di lantai dua gedung Departemen Kesehatan. Setelah sembahyang Jumat, rapat genting itu pun dimulai.
SEJAK setengah abad silam, WHO mengembangkan mekanisme riset bersama untuk mengantisipasi tren mutasi virus penyebab flu di seluruh dunia. Sekrup utama yang membuat mekanisme ini efektif adalah kesukarelaan semua negara anggota WHO untuk mengirimkan spesimen virus flu yang berjangkit di wilayahnya, tanpa syarat.
Spesimen virus dari semua penjuru dunia selalu dikirim ke empat laboratorium rekanan WHO. Lokasinya di Atlanta (Amerika Serikat), London (Inggris), Tokyo (Jepang), dan Melbourne (Australia). Spesimen juga wajib dikirim ke laboratorium rujukan WHO di Hong Kong, Cina. Setelah tuntas diteliti, informasi soal virus ini lalu diberikan kepada industri farmasi, yang kemudian memproduksi vaksin yang cocok. Mekanisme inilah yang kini ditentang Indonesia.
”WHO khawatir aksi protes kita ditiru negara berkembang lain,” kata Triono Soendoro. Thailand, Vietnam, dan Cina adalah negara yang pernah mengajukan keberatan jika mekanisme ini diteruskan tanpa revisi.
Pangkal protes negara-negara berkembang ini sederhana. Mereka khawa-tir tidak mampu membeli vaksin yang dibuat berdasarkan virus yang berasal dari negara mereka sendiri.
Sekarang saja, ada tiga perusahaan farmasi besar yang tengah bersaing sengit menciptakan vaksin flu burung paling tokcer sedunia: CSL Limited di Australia, GlaxoSmithKline Plc di Eropa, dan Baxter Healthcare di Amerika Serikat. Riset panjang jelas membutuhkan biaya besar. Akibatnya: harga vaksin di pasar pun jadi mahal.
Triono menyodorkan hitung-hitungan sederhana: jika harga satu vaksin flu burung untuk manusia mencapai US$ 20, maka dibutuhkan US$ 200 juta atau kurang-lebih Rp 2 triliun untuk melakukan vaksinasi terhadap 10 juta penduduk Indonesia. ”Padahal, itu baru satu kali vaksinasi untuk kurang dari seperdua puluh penduduk kita,” katanya.
Alasan kedua di balik protes Departemen Kesehatan adalah soal hukum domestik. Pengiriman spesimen virus dari Indonesia ke WHO selama ini dilakukan tanpa ikatan yang jelas. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, pengiriman spesimen hanya bisa dilakukan jika laboratorium di Indonesia tidak mampu melakukan penelitian sendiri dan harus seizin Menteri Kesehatan. ”Selama ini, sebenarnya kami melanggar hukum demi solidaritas global,” kata Triono kecut.
Karena itulah, sekarang pemerintah mati-matian meminta kompensasi untuk semua vaksin yang akan dibuat berdasarkan virus tipe Indonesia. Departemen Kesehatan bahkan sudah menunjuk advokat Todung Mulya Lubis untuk menangani aspek hukum masalah ini.
”Kami ingin Indonesia diakui sebagai pemilik hak bersama atas vaksin yang dibuat dari virus kita,” kata Todung akhir pekan lalu. Dia kini sedang menyiapkan rancangan naskah kontrak kerja sama pemerintah Indonesia dengan perusahaan-perusahaan farmasi yang ingin menggunakan virus flu burung tipe Indonesia.
SETELAH lima jam lebih, akhirnya rapat maraton antara Departemen Kesehatan dan WHO itu pun rampung. Wajah-wajah letih para petinggi kedua lembaga melukiskan betapa alotnya perundingan. ”Sampai sakit perut aku,” kata Menteri Fadilah sambil membenahi kerudungnya.
Dia lalu menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia dan WHO sepakat akan mengadakan pertemuan Menteri Kesehatan se-Asia Pasifik, Maret depan, membahas mekanisme baru pemanfaatan bersama virus flu burung. ”Kami akan berusaha mencari cara agar negara berkembang mendapat manfaat setimpal,” kata David Heymann. Keduanya bersalaman erat dan saling tersenyum.
Selesai? Belum tentu. Satu soal belum jelas benar: kapan Indonesia akan mengirim kembali spesimen virusnya ke WHO. ”Kami percaya secepatnya spesimen sudah bisa dikirim,” kata Heymann. Menteri Fadilah melirik lawan bicaranya. ”Kalau aturan barunya belum ada, sampai titik darah penghabisan tetap no, no, no!” balas Ibu Menteri.
Kesepakatan tampaknya memang baru di atas kertas.
Wahyu Dhyatmika, Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo