Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bondan Winarno
KETIKA diminta menulis tentang fenomena ekonomi Cina, saya segera berselancar di jalur maya dan mengetik kata kunci ”foreign direct investment China 2006”. Hasilnya? Realisasi penanaman modal asing di negeri itu pada 2006 mencapai US$ 63 miliar—naik lima persen dari tahun sebelumnya. Lebih dari 44 ribu perusahaan dengan modal asing berdiri dalam setahun. Sekitar 10 persen dari modal baru itu tertanam di Shenzhen, kota ”zona ekonomi khusus” pertama di Kwangtung Selatan.
Ketika mengganti kata China dengan Indonesia, berita terbaru yang ditemukan berbunyi: ”Realisasi penanaman modal asing langsung antara Januari-Oktober 2006 anjlok 48 persen dari tahun sebelumnya.” Realisasi penanaman modal asing langsung pada 2005 di Indonesia mencapai US$ 5,9 miliar. Dalam tubuh berita itu dikutip pernyataan juru bicara Presiden, Dino Patti Djalal: ”Sometimes we are lucky, sometimes we are unlucky.” Dengan kata lain, rendahnya penanaman modal asing semata-mata nasib buruk.
Kembali ke laptop! Kata kunci ”merger and acquisition 2006 China” ternyata belum memunculkan statistik baru. Tetapi, pada 2005 terjadi 857 merger dan akuisisi terhadap perusahaan Cina dengan transaksi US$ 46,4 miliar. Tidak ada informasi yang berarti ketika kata kunci China diganti dengan Indonesia.
Sebelum 1978—yaitu ketika Deng Xiaoping mencanangkan ekonomi dan pasar terbuka—hampir tak ada penanaman modal asing di Cina. Tak mengherankan bila Cina sekarang disebut negeri yang paling pesat pembangunannya. Cina telah menjadi nomor dua—setelah Amerika Serikat—sebagai negara tujuan investasi terbesar di dunia. Padahal, sejak 2004 kita sudah mulai mendengar teori bahwa penanaman modal asing di Cina telah memasuki senjakala.
Mungkin sekali kita perlu mengubah cara memandang investasi. Ini benar-benar bukan persoalan nasib buruk atau nasib baik! Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia sejak 1997 pastilah tidak akan berkepanjangan bila tidak terjadi penarikan besar-besaran modal yang tertanam di Indonesia—termasuk dana lokal yang kabur ke luar negeri.
Dalam kenyataannya, kita memang tidak pernah satu kata dalam soal investasi. Ketika Singapura dan Malaysia melakukan investasi dengan membeli berbagai perusahaan dan BUMN Indonesia, isu politik pun bermunculan. Berbagai dalih yang seolah-olah nasionalistis selalu mengalahkan pertimbangan kemanfaatan. Salah satu contohnya adalah Garuda Indonesia. Kalau Belanda yang kaya raya ”rela” melepas KLM ke Prancis, kenapa kita masih berkukuh memiliki Garuda Indonesia seratus persen? Padahal, mestinya, dengan menerapkan aturan-aturan yang tepat, kita dapat menimba manfaat yang lebih besar dari Garuda Indonesia tanpa harus memiliki sepenuhnya.
Tindakan para pejabat kita pun sering membuat inves-tor ketakutan. Bayangkan, Kapolri malah minta para menteri terkait membatalkan kontrak karya dengan perusahaan tambang yang sebagian sahamnya dimiliki Malaysia. Kejadian baru ini memang sudah mempunyai preseden yang panjang, dan sayangnya tidak menunjukkan wajah Indonesia yang ramah bagi investor. Siapa mau menanam modal di sini bila setiap pejabat punya versi masing-masing untuk membatalkan kontrak?
Cina pun sempat mengalami pengempisan investasi melalui merger dan akuisisi (M&A), ketika pada 2004 mewajibkan semua M&A memperoleh persetujuan pemerintah pusat. Ketika realisasi M&A merosot drastis, kebijakan itu segera diubah. Cukup melapor, tidak diperlukan persetujuan yang notabene justru membuka katup korupsi.
Keberhasilan Cina, menurut banyak pengamat, terutama karena kemampuannya mengembangkan diri secara internal. Kebijakan yang salah segera dikoreksi. Dengar kata-kata Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew tentang Cina: ”Semua orang Cina menginginkan RRC yang kuat dan kaya, menjadi negeri yang makmur sejahtera dengan kompetensi teknologi menyamai Jepang dan Amerika Serikat.” Sense of destiny seperti itulah—bukan nasib baik atau nasib buruk—yang telah menjadi kekuatan dahsyat dalam mengintegrasikan Cina ke dalam ekonomi global.
Hingga saat ini, Cina telah berhasil melakukan dua transisi, yaitu: dari planned economy ke market economy, dan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Satu hal lagi yang masih harus dilakukan Cina untuk menyamai posisi Jepang dan Amerika Serikat adalah transisi dari sistem pemerintahan terpusat ke sistem governance yang lebih partisipatif. Dan ketika itu terjadi, Cina benar-benar akan menjadi kekuatan ekonomi dahsyat yang mungkin bahkan tidak terbayangkan pada saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo