Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUTIR hewan berukuran 0,5-8 milimeter telah melejitkan Rahayu Suhardjono nyaris ke puncak tertinggi karier akademisnya. Selama puluhan tahun terakhir, Yayuk—demikian ia dipanggil—meneliti serangga mungil itu, collembola namanya. Tak mengherankan jika peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu menjadi satu-satunya ahli collembola di Asia Tenggara.
Di dunia ini hanya ada 179 pakar collembola. Dan di antara yang sedikit itu, Yayuk makin spesial karena mengkhususkan diri menelisik sang ”ekor pegas”—nama lain collembola—yang hidup di gua-gua kapur. Di luar gua, collembola biasa hidup di air, sawah, dan semacamnya.
Dengan disertasi Collembola Pulau Bali dan Lombok pula Yayuk meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia. Kini, dengan latar belakang keahliannya itu, juga berdasar asas senioritas, Yayuk menunggu giliran dikukuhkan sebagai profesor riset.
Ketertarikan anak bungsu dari tiga bersaudara ini pada serangga sudah mulai sejak bocah. Lebih suka pada kegiatan lapangan, Yayuk kecil banyak mengeksplorasi alam. Dengan bercelana pendek, dia kerap memanjat pohon, menangkap jangkrik dan ulat sutra.
Kegiatan masak-memasak? ”Orang tua lebih percaya pada dua kakak perempuan saya,” katanya tersenyum. Untunglah, ayahnya tak risau akan polah tingkah si bungsu.
Kecintaannya pada serangga mendorong Yayuk belajar di Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah sarjana muda, dia ikut seleksi LIPI yang ketika itu membutuhkan peneliti. Di lembaga ini dia mengkhususkan riset pada collembola dan serangga tanah.
”Ekor pegas ini menjadi penyeimbang ekosistem,” katanya. Ketika musim tanam selesai, collembola menjadi makanan alternatif kumbang, tawon, dan predator lainnya. Hewan pemburu inilah yang kelak menyantap hama perusak padi. ”Jadi, tidak perlu lagi menggunakan insektisida untuk membunuh hama.”
Ekor pegas yang hidup di darat dan air juga berperan sebagai perombak (decomposer) bahan organik. Di luar negeri, hewan ini menjadi pengendali penyakit yang disebabkan jamur, karena collembola memang senang menyantap jamur dan sisa dedaunan. Ekor pegas juga bisa menjadi indikator hayati kondisi tanah, baik tingkat kesuburan maupun pencemarannya.
Pada 2001 Yayuk bagai menemukan pencerahan. Ketika itu, bersama teman-teman, ia meneliti Gua Petruk di Jawa Tengah. Ternyata, kehidupan bawah tanah membuatnya jatuh hati. Sejak itu Yayuk memfokuskan studinya tentang ekor pegas yang hidup di gua. Nyaris seluruh gua kapur di Indonesia telah ia jelajahi. ”Udaranya sejuk dan makhluknya cantik-cantik,” katanya.
Menurut Yayuk, gua paling menakjubkan berada di daerah Maros. Menaranya unik dan menjulang tinggi. Sungai bawah tanahnya besar, dan ornamen di dalamnya—stalagtit dan stalagmit—indah sekali. Rangkaian gua di wilayah ini juga memiliki biodiversitas tertinggi se-Asia Pasifik. ”Gua ini paling terkenal di dunia untuk kelompok gunung kapur,” katanya.
Tapi, di sana pula Yayuk didera trauma. Persisnya di Gua Saripa, Maros. Karena tubuhnya hanya 146 sentimeter, dia kesulitan menapaki gua vertikal itu. Kakinya terpeleset, dan jurang bebatuan di bawah siap menerima tubuhnya. Beruntung, rekannya dari Prancis berhasil memegang tangannya. ”Saya trauma masuk ke tebing gua itu lagi,” katanya.
Di tengah kesibukan meneliti collembola, Yayuk juga berusaha menjaga keutuhan keluarga. Apalagi suaminya, Suhardjono, juga bekerja sebagai peneliti hutan bakau di LIPI. Mereka acap bergantian pergi ke luar kota untuk riset—rata-rata memakan waktu sebulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo