Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu sudah bersiap melakukan penyergapan. Pertengahan April lalu, buruan yang akan dibekuk itu sudah di depan mata: seorang petinggi polisi. Tapi, tengah malam itu, setelah mengintai beberapa lama, tim memutuskan balik kanan. Penyerahan duit kepada petinggi polisi itu ternyata batal. Padahal, menurut rencana, saat serah-terima itulah penggerebekan akan dilakukan.
Meski penangkapan itu urung, toh kabar adanya operasi penangkapan terhadap salah seorang petinggi kepolisian ini kadung tersebar, sampai ke kepolisian. ”Rencana penangkapan itu bahkan sudah sampai ke telinga Kapolri,” kata satu sumber Tempo di Trunojoyo, Markas Besar Polri.
Hingga kini memang tidak ada petinggi Polri yang berurusan dengan KPK. Kendati demikian, sejak itulah, menurut sumber Tempo, hubungan ”Kuningan-Trunojoyo” memanas. Pekan lalu, misalnya, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal (Polisi) Susno Duadji tiba-tiba mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Petinggi kepolisian ini menuduh ada lembaga yang sewenang-wenang telah menyadap telepon genggamnya. ”Saya tidak sebut lembaga mana ya, tapi saya jelas tahu telepon saya disadap,” katanya.
KPK tak tinggal diam. Kamis pekan lalu, Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua KPK, membalas pernyataan Susno. ”Kalau ada pihak tak jelas soal penyadapan, datanglah ke sini,” ujarnya. Ia tak menjawab tegas apakah KPK telah menyadap telepon Susno. ”Pokoknya, KPK cuma menyadap pihak yang terindikasi korupsi,” katanya.
KPK kini memang tengah menghadapi ”gempuran” dari mana-mana. Gempuran itu tak hanya sekadar tudingan, misalnya pelanggaran tentang penyadapan, tapi juga ancaman penggerogotan kewenangan lembaga ini. Yang terakhir bisa dilihat dari belum adanya tanda-tanda DPR menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ini jelas gawat. Jika pada Desember nanti, menurut tenggat yang diberikan Mahkamah Konstitusi, RUU tersebut tak rampung, dipastikan komisi ini akan lumpuh.
Ancaman lain sempat juga datang dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Lembaga ini mendadak berminat melakukan audit terhadap Sekretariat Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Kami juga akan mengaudit proses penyadapan di sini,” kata Kepala BPKP, Komisaris Jenderal (Polisi) Didi Widayadi. Pernyataan Didi ini mendapat reaksi keras sejumlah pimpinan KPK, karena menganggap bukan porsi BPKP memeriksa KPK.
”Serangan” paling menohok diterima Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra Hamzah. Pekan lalu, Chandra diperiksa penyelidik Kepolisian Daerah Metro Jaya berkaitan dengan tewasnya Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Dalam perkara ini, pemimpin KPK, Antasari Azhar, menjadi salah satu tersangkanya.
Dalam pemeriksaan, polisi mempersoalkan penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi atas telepon genggam istri ketiga Nasrudin Zulkarnaen, Rhani Juliani. Penyadapan berlangsung dua bulan dan baru berakhir pada awal Maret, hanya beberapa hari sebelum Nasrudin ditembak mati. Chandra diperiksa lantaran dialah yang menandatangani surat perintah penyadapan itu.
Tak mengherankan, usai pemeriksaan, berita miring pun menyebar: Chandra bakal terseret jatuh ke dalam pusaran kasus ini. Seorang sumber Tempo menyebut, gerakan mengobok-obok KPK masih jauh dari selesai. ”Ada skenario, pemimpin KPK itu nanti hanya akan disisakan satu orang,” kata sumber itu.
RUANG pertemuan Komisi Pemberantasan Korupsi, Januari 2009. Di tengah-tengah memimpin rapat, Ketua KPK Antasari Azhar menyodorkan sebuah amplop putih bekas kepada bawahannya, Direktur Informasi dan Data, Budi Ibrahim. Di atas amplop tertulis dua nomor telepon genggam tanpa nama pemiliknya. ”Tolong diperiksa,” kata Antasari. Ada dua orang lain di ruang rapat ketika itu: Wakil Ketua Komisi Chandra Hamzah dan seorang sekretaris.
Antasari lalu berkisah. Istrinya, Ida Laksmiwati, kerap diteror dari nomor-nomor telepon itu. Budi tak punya pilihan selain mengiyakan. Chandra, sebagai pemimpin komisi yang bertanggung jawab atas penindakan, segera membuat surat perintah penyadapan. Sampai saat diperiksa polisi pada Juni lalu, mereka berdua mengaku tidak tahu jika nomor yang diberikan Antasari ternyata milik Nasrudin Zulkarnaen dan istrinya, Rhani Juliani.
Dihubungi pekan lalu, kuasa hukum Antasari, Maqdir Ismail, membantah jika kliennya disebut memerintahkan penyadapan. ”Dia hanya minta nomor itu diperiksa,” kata Maqdir. Antasari, kata Maqdir, juga tidak pernah meminta penyadapan diperpanjang hingga Februari. ”Dia tidak tahu mengapa permintaan pemeriksaan itu justru ditafsirkan sebagai perintah penyadapan,” kata Maqdir.
Penyadapan atas telepon Rhani terungkap dari pemeriksaan ”isi perut” telepon genggam Antasari. ”Ini murni terkait upaya penyidik menentukan motif Antasari,” kata seorang petinggi polisi. Soalnya, selama diperiksa penyidik, Antasari selalu mengaku tidak tahu ihwal penembakan Nasrudin. Nah, jika terbukti adanya perintah penyadapan itu, ujar petinggi itu, alasan Antasari tidak tahu perihal pembunuhan Nasrudin itu bisa runtuh.
Menurut sumber Tempo, lantaran posisinya yang terpojok inilah, Antasari berupaya melakukan negosiasi dengan polisi dan jaksa dengan satu tujuan: hukumannya diperingan. Di sinilah, ujar sumber itu, Antasari menyatakan memiliki sejumlah bukti adanya jual-beli perkara di KPK yang melibatkan koleganya di sana. Itu, antara lain, rekaman suara perbincangan Antasari dengan seorang pengusaha rekanan pemerintah yang mengaku pernah dimintai uang oleh salah satu pemimpin KPK.
Sumber Tempo di Komisi Hukum DPR mengaku juga sudah mendengar kabar serupa. Sang sumber mengaku ia pernah diajak rapat seorang petinggi polisi untuk membahas praktek markus (makelar kasus) di KPK. Kepada Tempo, Susno Duadji mengaku pihaknya juga mendengar adanya praktek seperti itu. Hanya, Susno menegaskan, pihaknya tak membuat deal apa pun dengan Antasari. Soal adanya kesepakatan ini juga ditampik Jaksa Agung Hendarman Supandji. ”Tidak ada,” katanya.
Kuasa hukum Antasari, Maqdir Ismail, membantah keras adanya kesepakatan seperti itu. Dia menilai kabar adanya kesepakatan polisi-jaksa-Antasari untuk menyeret jatuh pemimpin KPK merupakan info menyesatkan. ”Tidak berdasar,” katanya. Maqdir menegaskan, berkas perkara Antasari baru dilimpahkan ke Kejaksaan Agung akhir pekan lalu. Selama pemeriksaan polisi pun, kata dia, Antasari hanya ditanya ihwal kasus pembunuhan Nasrudin. ”Tidak kasus yang lain-lain.”
Banjir isu miring perihal polah petinggi KPK tak pelak membuat gerakan ”menyikat” komisi antikorupsi itu makin menggebu-gebu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut-sebut juga kecewa pada KPK. Penyebabnya, komisi ini telah ”mengirim” besannya, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan, ke bui. Pertengahan Juni lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Aulia hukuman penjara 4 tahun 6 bulan.
Akhir tahun lalu, ketika Aulia dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK, Yudhoyono menggelar konferensi pers di Istana Merdeka. ”Mendengar semuanya ini tentu saya secara pribadi, sebagai Susilo Bambang Yudhoyono, terus terang dan jujur, bersedih,” katanya saat itu. Pernyataan Yudhoyono di harian Kompas, dua pekan lalu, memperkuat kesan adanya kekecewaan RI-1 ini. ”Terkait KPK, saya wanti-wanti benar. Power must not go unchecked. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa. Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati,” katanya.
Staf khusus Presiden di bidang hukum, Denny Indrayana, menampik semua tudingan yang menyebut Yudhoyono ”gerah” dengan gerakan KPK. Denny bahkan menjamin Yudhoyono menghormati independensi Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Tidak akan ada intervensi. SBY sangat menjaga itu,” katanya.
DUA telepon genggam Komisaris Jenderal (Polisi) Susno Duadji tergolek di atas meja kerjanya. ”Ini yang bisa disadap,” katanya menunjuk salah satu telepon itu. ”Nah, kalau yang ini,” tangannya lantas meraih sebuah telepon pintar merek Black Berry, ”Khusus buat pacaran sama istri,” katanya sambil terbahak.
Sejak sadar ada yang menguping pembicaraannya, bekas Kepala Kepolisian Jawa Barat itu jadi ekstrahati-hati setiap kali menerima telepon. ”Jangan ke nomor ini,” katanya kepada seseorang yang menghubunginya di sela-sela wawancara dengan Tempo, Kamis pekan lalu.
Susno mengaku sadar teleponnya disadap sejak menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Oktober tahun lalu. ”Saya reserse, jadi saya tahu persis,” katanya. Karena itu, dia mengaku sengaja memancing-mancing pihak yang menyadapnya dengan berbicara seenak perut di telepon. ”Memang saya kerjain mereka.”
Susno mengaku mendapat konfirmasi soal penyadapan dirinya dari polisi yang bertugas di lembaga penegak hukum lain. Saat itu Mabes Polri sedang menangani skandal penggelapan dana nasabah reksa dana Antaboga yang terbongkar setelah pengambilalihan Bank Century, Januari lalu. ”Duit yang terlibat memang triliunan rupiah,” kata Susno. ”Saya sudah memberi tahu semua bawahan, hati-hati kita pasti dipantau,” katanya.
Sejauh ini Susno menegaskan, penanganan kasus Antaboga-Century sudah berada di jalur yang benar. ”Ini kasus besar, diawasi banyak orang. Mana mungkin polisi main-main?” katanya. Mungkin karena kasus besar itu pula, para penyelidik KPK, yang mempunyai hidung tajam itu, mencium aroma lain di balik kasus ini.
Wahyu Dhyatmika, Anne L. Handayani, Rini Kustiani, Munawwaroh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo