Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saling Tuding dan Saling Jegal

Pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terancam tidak selesai. DPR dan pemerintah saling tuding sebagai biang keterlambatan.

6 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM mengembang di bibir Dewi Asmara. Selasa pekan lalu, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu baru saja menutup rapat kerja terakhir dengan pemerintah. ”Pembahasan dilanjutkan ke panitia kerja,” katanya kepada Tempo, yang menemuinya di DPR.

Dewi akhirnya kini bisa bernapas lega. Rapat itu sekaligus mengakhiri perdebatan panjang tentang sejumlah isu krusial dalam RUU tersebut. Pemerintah, yang diwakili Jaksa Agung Hendarman Supandji, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata, serta Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Efendi, ”mengamini” delapan isu penting yang dibahas di panitia kecil. ”Sebelumnya pembahasan alot, bahkan perlu forum lobi,” kata anggota DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya itu.

Isu krusial itu, antara lain, penggunaan istilah hakim ad hoc, pengertian penuntut umum, komposisi hakim, kedudukan pengadilan korupsi, pengaturan tentang penyadapan, dan hukum acara pemeriksaan.

Namun masalahnya tidak hanya di situ. DPR periode ini hanya punya sisa waktu efektif dua bulan untuk menyelesaikan RUU itu. Padahal pembahasan masih menyisakan delapan isu krusial dan seratus lebih daftar inventarisasi masalah yang masih perlu digodok.

Kendati waktu demikian mepet, toh panitia khusus tidak menjadwalkan pembahasan selama masa reses pada 3 Juli sampai 13 Agustus 2009 ini. Karena itulah, melihat sisa waktu yang tinggal menghitung hari, sejumlah anggota DPR pesimistis pembahasan RUU ini bisa rampung. Apalagi dari 50 anggota panitia khusus, hanya 19 yang terpilih lagi jadi anggota DPR. ”Semangat sudah kendur,” ujar seorang anggota DPR.

RUU yang akan menjadi penentu nasib Komisi Pemberantasan Korupsi itu lahir atas perintah Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 19 Desember 2006, MK dalam putusannya menyatakan keberadaan pasal tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang KPK itu inkonstitusional. MK memberikan waktu tiga tahun bagi DPR dan pemerintah untuk membuat undang-undang khusus yang mengatur pengadilan korupsi. Jika tenggat itu lewat, kasus korupsi otomatis akan dilimpahkan ke pengadilan umum.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), KPK akan tamat jika kasus korupsi yang mereka sidik itu ditangani pengadilan umum. Karena itulah, ICW menuding DPR terkesan sengaja memperlambat pembuatan undang-undang itu. ”Ada golongan di DPR yang menghendaki semua perkara korupsi ditangani pengadilan umum,” kata Koordinator Bidang Hukum dan Pemantauan Peradilan ICW, Emerson Yuntho.

ICW memiliki catatan buruk terhadap kasus korupsi yang masuk pengadilan umum. Sepanjang 2008, misalnya, dari 444 terdakwa korupsi yang diajukan ke pengadilan, 277 di antaranya divonis bebas. Sebaliknya, dari 103 kasus korupsi yang ditangani Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sejak lembaga itu berdiri pada 2004, tidak ada satu pun terdakwa yang lolos. ”Jadi, pengadilan umum itu bisa jadi kuburan pemberantasan korupsi,” kata dia.

Desakan penyelesaian RUU bermunculan dari berbagai kalangan. ICW dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, medio Juni lalu, mendatangi DPR untuk meminta RUU itu jadi prioritas. Awal Juni, Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia juga melakukan hal yang sama. Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, juga sudah meminta fraksinya di DPR menyelesaikan RUU itu paling lambat Oktober.

Kenapa pembahasan itu demikian lambat? Sumber Tempo yang ikut pembahasan RUU itu membisikkan, memang ada sejumlah pihak yang ingin menyandera RUU itu. Pihak pertama, ujarnya, anggota panitia khusus yang memiliki latar belakang pengacara. ”Karena, di pengadilan Tipikor pengacara selalu kalah. Jadi, sebenarnya ini soal mata pencaharian,” katanya.

Pihak kedua, kata sumber ini, Kejaksaan Agung. Kejaksaan ngotot supaya penuntut umum adalah jaksa dari Kejaksaan Agung. Dalihnya, dalam UU Kejaksaan, diatur hanya ada satu penuntut. Sedangkan prakteknya, di pengadilan korupsi, jaksanya adalah jaksa khusus di KPK. Dalam RUU itu sendiri penuntut terbagi menjadi dua: jaksa dan jaksa dari KPK.

Adapun pihak ketiga tak lain sejumlah anggota Dewan yang sudah tidak suka dengan KPK. Ini bukan saja karena lembaga itu menangkapi anggota Dewan, juga karena mengancam keberadaan mereka sendiri. Menurut sumber Tempo, kelompok ketiga inilah yang meminta RUU itu juga memasukkan aturan revisi penyadapan oleh KPK. Penyadapan, misalnya, diminta harus ada izin dari pengadilan. Dalihnya, putusan MK pada Desember 2006 itu juga menyebutkan pengaturan tadi. ”Bagi mereka, RUU ini untuk menggunting kewenangan KPK,” kata sumber ini.

Anggota panitia khusus yang punya latar belakang pengacara, Gayus Lumbuun, menilai tudingan itu tidak beralasan. Menurut dia, justru dirinya dan teman-temannya yang semula pengacara mendukung penuh RUU itu untuk segera tuntas. Pengadilan Tipikor, kata Gayus, justru menjadi tempat yang ”basah” untuk seorang pengacara. ”Hanya, kami minta hukum acaranya diperbaiki.”

Hukum acara itu, antara lain, menyangkut kewenangan pengacara mendampingi kliennya. Selama ini, kata Gayus, gerak pengacara di KPK dibatasi. KPK, misalnya, melarang pengacara berbicara saat kliennya tengah diperiksa. KPK juga melarang pengacara mendampingi kliennya ketika masih jadi saksi. ”Kami minta hukum acaranya tidak hanya mengatur di persidangan, tetapi juga mulai dari penyelidikan,” kata Gayus.

Jaksa Agung Hendarman Supandji juga membantah bahwa pihaknya ngotot agar penuntut umum hanya dari pihak kejaksaan. Menurut Hendarman, pihaknya hanya minta RUU itu supaya sinkron dengan RUU Pengadilan Umum yang juga tengah dibahas Dewan. ”Saya setuju KPK bisa melakukan penuntutan, tidak hanya jaksa,” kata dia.

Dewi menolak jika panitia khusus dipersalahkan lantaran RUU ini tak juga jadi. Menurut Dewi, pangkal semua ini adalah kelambatan pemerintah memasukkan RUU itu ke DPR. Pemerintah, kata Dewi, memasukkan RUU itu pada 11 Agustus 2008. Keterlambatan inilah yang membuat panitia khusus baru terbentuk pada 2 September 2008. ”Pemerintah memasukkan RUU itu dua tahun setelah putusan MK.”

Dari Desember sampai Mei 2009, kata Dewi, panitia khusus sudah meminta pendapat umum tentang RUU ke sejumlah pihak, termasuk LSM dan praktisi hukum. Sejumlah fraksi pun baru memasukkan daftar isian masalah setelah proses itu kelar. Daftar isian inilah yang menjadi sandingan draf versi pemerintah. ”Kami tidak mau ini menjadi undang-undang yang kemudian ditinjau kembali oleh Mahkamah Konstitusi, ” ujar Dewi.

Menurut Dewi, kendala lainnya adalah RUU ini harus disinkronkan dengan sejumlah RUU yang berkaitan, yang sedang dibahas. Misalnya RUU Pengadilan Umum dan RUU Pencucian Uang. Belakangan, akhir Mei, pemerintah memasukkan lagi RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Datangnya RUU ini, menurut Dewi, menjadi kendala baru pembahasan RUU Tipikor. ”Masak, ibunya sedang sakit, anaknya mau lahir,” kata Dewi.

Seorang sumber Tempo di DPR menuding, dalam soal ini justru pemerintah yang hendak melemahkan KPK. Selain lambat memasukkan RUU itu, ujar sumber ini, sejumlah pasal yang disodorkan pemerintah jelas hendak membabat kewenangan KPK. Ia mencontohkan, soal komposisi hakim yang dalam RUU itu diserahkan ke ketua pengadilan. Komposisi hakim ad hoc dan karier yang selama ini ada tidak dipertahankan.

Kepada Tempo yang menemui di kediamannya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata menepis tudingan miring itu. Menurut dia, pemerintah tetap mendukung penuh pemberantasan korupsi. Soal komposisi hakim, kata Andi, sepenuhnya diserahkan kepada kebutuhan perkara. Yang paling penting hakim ad hoc harus tetap ada. ”Itu kekhususannya, adapun komposisi menyesuaikan.”

Andi menolak jika disebut pemerintah terlambat menyerahkan draf. Andi menilai panitia khusus kerap larut dalam pembahasan hal-hal yang tidak substansial. Ia mencontohkan masih adanya anggota Dewan yang mempertanyakan kenapa RUU Tipikor itu lahir. ”Jangan salahkan pemerintah, manfaatkan saja waktu yang ada,” kata Andi.

Menurut Gayus, apa pun yang terjadi, pemerintah juga harus ikut bertanggung jawab dalam soal leletnya perjalanan RUU ini. Gayus meminta pemerintah menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Ini, ujarnya, untuk pengaman jika DPR tidak bisa menyelesaikan RUU itu. ”Supaya tidak ada kekosongan hukum.”

Dari Istana Presiden, staf khusus presiden bidang hukum Denny Indrayana mengatakan, dalam waktu dekat ini Presiden tidak akan menyiapkan aturan itu. Perpu, ujar Deny, sifatnya untuk kondisi genting. Ukuran kegentingan itu, menurut Deny, saat dua minggu sebelum batas akhir dari Mahkamah Konstitusi, RUU itu dipastikan tidak kelar. ”Jadi, itu tergantung siapa presidennya nanti,” ujarnya.

Anton Aprianto, Famega Syavira

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus