Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Skenario Murah yang Tak Mudah

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMORANDUM tiba-tiba jadi "hantu". Ia dilawan Presiden Abdurrahman Wahid sampai saat-saat akhir menjelang sidang DPR. Sebagian pendukung Abdurrahman dari Jawa Timur pun merasa harus "memerangi"-nya. Memorandum sudah menjadi perkara "hidup dan mati". Istilah yang sebetulnya bermakna peringatan itu telah berubah menjadi hukuman, dari sekadar kartu kuning menjadi kartu merah.

Istilah itu "menakutkan" karena selalu dikaitkan dengan Sidang Istimewa MPR yang sangat mungkin mengikuti keluarnya memo kedua. Sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor III/1978, satu bulan sejak memorandum kedua jatuh, DPR bisa meminta majelis menggelar sidang istimewa—dengan catatan, peringatan itu tidak dihiraukan oleh Presiden.

Itukah jalan yang akan dilalui Presiden Abdurrahman? Tidak semudah itu. Menurut Rodjil Guffron, salah seorang anggota Fraksi PKB, upaya tersebut akan terbentur waktu. Sebab, Badan Pekerja MPR memerlukan waktu sekurang-kurangnya dua bulan untuk memberikan penilaian. Taruhlah permintaan DPR diajukan akhir Mei, paling cepat sidang istimewa bisa digelar akhir Juli. Ini akan terlalu mepet dengan jadwal Sidang Tahunan MPR pada Agustus.

Belum lagi soal materi. Pihak PKB, kata Rodjil, beranggapan bahwa Presiden belum sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Apalagi bila "cuma" masalah dana Yanatera Bulog dan bantuan Sultan Brunei yang menjadi pijakan. Kecuali—dan inilah yang mereka kritik—fraksi-fraksi lain melebarkan "serangan" ke masalah-masalah lain.

Benturan politik di luar gelanggang juga bisa menghambat laju sidang istimewa. Abdurrahman Wahid sudah berkali-kali menyebut kekuatan ribuan warga NU yang membelanya, seolah itulah benteng terakhir Presiden. Kalau sampai sidang istimewa digelar, pendukung Abdurrahman akan marah besar. "Mereka tidak lagi menebang pohon, tapi gedung-gedung," ujar Arbi Sanit. Pokoknya, kata pengamat politik dari Universitas Indonesia itu, kekacauan akan terjadi.

Dalam situasi seperti itu, ancaman Presiden untuk membubarkan parlemen mungkin akan dilaksanakan. Kata Arifin Junaidi, Sekretaris Dewan Syuro PKB, sebetulnya Presiden sudah mempunyai alasan untuk melakukannya. Kencenderungan DPR menilai kinerja Presiden seperti yang dilakukan sekarang ini bisa dianggap melanggar UUD. Seharusnya, yang berwenang adalah MPR. Setelah parlemen dibubarkan, kata Arifin, pemilu bisa digelar. Mungkin bisa memilih presiden langsung seperti yang selama ini diusulkan kalangan PKB.

Cuma, huru-hara tak selalu menguntungkan Presiden. Ia bisa dipojokkan karena keterlibatan massa NU dalam kekeruhan itu. Dan keadaan darurat akan membuka peluang TNI untuk berperan besar. Tentara, kata Arbi, akan berani tampil bila mendapat dukungan dari partai-partai, misalnya dari PDI-P dan Golkar.

Sebetulnya, walau memorandum kedua jatuh, Abdurrahman belum tamat. Ada waktu satu bulan bagi Presiden untuk memperbaiki kinerjanya sambil mengupayakan kompromi. Itu kalau Presiden mau melakukannya, dan ajakannya bersambut.

Dan skenario yang murah juga sering ditawarkan, termasuk oleh Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung. Ia menyarankan agar Abdurrahman mau menjadi kepala negara dan Megawati menjadi kepala pemerintahan. Konsekuensinya, UUD 1945 memang perlu diubah. Cuma, menurut Satya Arinanto, pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, cara itu belum tentu menguntungkan Megawati. Kalau ia gagal mengemban tugas, pada Pemilu 2004 ia akan sulit tampil menjadi presiden lagi. Yang paling aman, katanya, pembagian wewenang seperti yang diatur lewat Keppres 121/2000. Tapi, menurut Satya, wewenang wakil presiden harus dipertegas.

Hanya, menurut sumber TEMPO, Megawati sudah tidak tertarik lagi dengan pembagian wewenang lewat keppres. Ia tetap menginginkan proses pergantian kekuasaan, tapi harus secara konstitusional. Inilah yang sulit. Sebab, sampai kini, Abdurrahman belum mau menyerah.

Padahal, kalau Megawati menjadi presiden, menurut seorang kader PDI-P, Abdurrahman Wahid tidak akan disia-siakan. Ia bisa diberi posisi sebagai menteri senior atau Ketua DPA. Dan orang-orang PKB pun tidak akan ditelantarkan. Apalagi partai ini pernah berjasa mendorong Megawati untuk tampil menjadi calon presiden dalam Pemilu 1999.

Pilihan-pilihan yang "tak menarik" untuk Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi bukankah ia tetap harus memilih satu di antara yang "pahit-pahit" itu?

Gendur Sudarsono, Adi Prasetya, Hendriko L.Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus