Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masalah banjir Jakarta masuk dalam pembahasan di forum konsultasi publik penyusunan Rencana Pembangunan Daerah (RPD) DKI Jakarta 2023-2026 pada Rabu lalu. Gubernur DKI Anies Baswedan menyatakan pemerintah perlu menyusun perencanaan dan pengelolaan masa depan Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saat ini Jakarta sedang menyusun langkah hingga tahun 2026," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 23 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rancangan RPD DKI 2023-2026 yang diterima Tempo, salah satu isu yang dibahas adalah wilayah rawan bencana. Dalam dokumen itu tertulis banjir dan kebakaran adalah dua bencana utama bagi Ibu Kota yang frekuensinya tinggi serta berulang.
"Bencana banjir menjadi perhatian khusus bagi Jakarta karena memiliki implikasi yang kompleks," demikian bunyi rancangan tersebut.
Pemerintah DKI menjabarkan sejumlah penyebab banjir. Penyebab utama adalah curah hujan lokal tinggi, curah hujan tinggi di daerah hulu sungai dan berpotensi menjadi banjir kiriman, rob atau air laut pasang tinggi di daerah pesisir dan kepulauan, serta tingginya sedimentasi akibat erosi.
Penyebab kedua adalah sampah yang menyumbat sungai dan saluran air. Kemudian wilayah resapan air juga berkurang. Hal ini karena didirikannya hunian di lahan basah atau daerah resapan air.
"Selain itu, terjadinya banjir di Jakarta juga disebabkan oleh sistem drainase yang tidak berfungsi dengan optimal."
Sarana dan prasarana pengendalian banjir pun masih bermasalah. "Hal lainnya adalah prasarana dan sarana pengendalian banjir yang belum berfungsi maksimal," begitu informasi yang tercatat dalam rancangan RKD.
Selanjutnya Jakarta retan dampak perubahan iklim...
Rancangan dokumen ini juga mengutip kajian Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA) yang menjelaskan, Jakarta rentan terhadap dampak perubahan iklim. Daerah yang terdampak perubahan iklim terlihat dari kerap terjadinya bencana hidrometeorologis, seperti banjir, longsor, dan angin puting beliung.
Posisi Jakarta pun berada di wilayah pesisir landai. Data pemerintah DKI menunjukkan, 40 persen area daratan Jakarta berada di bawah muka laut rata-rata.
Sebanyak 13 sungai besar juga melewati Jakarta yang sebagian besar hulunya sungai berlokasi di selatan luar Ibu Kota.
Sejarah banjir di Jakarta memperlihatkan luasan genangan cenderung meningkat pada periode 1980-2013. Luas genangan pada 1980 mencapai 7,7 kilometer persegi. Angka ini naik tiga kali lipat menjadi 22,59 kilometer persegi pada 1996.
Luas genangan di Jakarta kembali melonjak drastis pada 2002 (167,88 kilometer persegi) dan 2007 (238,32 kilometer persegi). "Banjir besar kembali terjadi tahun 2013 (luasan banjir 241 kilometer persegi)."
Tren banjir Jakarta menurun sejak 2016, jika mengacu pada jumlah RW terdampak. Luas genangan di tahun itu tercatat 152,5 kilometer persegi. Tahun-tahun berikutnya angka genangan terus melandai menjadi 139,12 kilometer persegi (2017); 79,71 kilometer persegi (2018); dan 84,46 kilometer persegi (2019).
Baca juga: Wagub DKI Sebut Banjir Jakarta karena Tingkat Permukaan Rendah