Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rapalan Bugis dalam Balutan Folk

Lewat La Marupè, Theory of Discoustic menyuguhkan komposisi musik dengan lirik-lirik yang berangkat dari khazanah folklore Bugis-Makassar. Unsur tradisi bukan sekadar gimmick.

12 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Theory of Discoustic - La Marupè. TEMPO/Iqbal Lubis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM merilis album La Marupè, Theory of Discoustic atau biasa disingkat TOD hanyalah satu dari segelintir grup musik yang menyandang predikat “harapan dari timur”. Kelompok musik asal Makassar yang dibentuk pada awal 2010 ini mungkin secara kualitas masih belum cukup mendobrak dominasi musikus tanah Jawa. Enam rekaman lagu yang dirilis sebagai satu single dan satu album mini dalam rentang lima-enam tahun masih terlalu sedikit untuk bisa menggedor pintu belantika musik Indonesia. Materi rekaman mereka kebanyakan masih lebih berisi potensi daripada hasil yang komplet. Evolusi musik TOD, dari folk-pop senja yang manis hingga masuknya hasil penjelajahan identitas lokal mereka (Bugis-Makassar) dalam kuali kreasi, masih terasa tambal-sulam, seperti artikel yang belum jadi.

Theory of Discoustic terus melakukan penjelajahan, menggali identitas lokal sebagai bagian dari proses kreatif mereka. Ketertarikan terhadap sejarah peradaban Sulawesi Selatan membawa TOD ke lebih banyak arsip yang ditelusuri dengan hikmat anak muda, dibaca ulang, dan diekspresikan dengan lugas. Setelah sekitar dua tahun bergelut melakukan riset menggali khazanah budaya lokal itu, mereka akhirnya menghasilkan album penuh pertama yang rasanya patut disegani seperti judulnya, La Marupè, sebuah istilah Bugis-Makassar untuk sesuatu atau kondisi di luar nalar dan kuasa manusia tapi begitu berpengaruh bagi kehidupan.

Proses rekaman album La Marupè di bekas pabrik Semen Tonasa, Sulawesi Selatan. Dok. Theory of Discoustic

Theory of Discoustic—beranggotakan Reza Enem (gitar), Nugraha Pramayudi (gitar), Dian Mega Safitri (vokal), Fadli F.M. (bas), Adriady Setia Dharma (keyboard/perkusi), dan Hamzahrullah (drum/perkusi)—berhasil mencapai bentuk ramuan yang begitu pas untuk mereka sendiri dan tentunya penikmat musik masa kini yang lebih luas. Mereka menghasilkan delapan komposisi dari hasil pembacaan kembali cerita rakyat (folklore) Bugis-Makassar dan sejarah Nusantara dalam wujud ekspresi yang tertakar dengan baik.

Meski begitu, Theory of Discoustic tidak berusaha memposisikan diri mereka sebagai peneliti, etnomusikolog yang menjadi bintang kancah world music, atau petualang budaya anti-kemapanan yang kembali menggali nilai adiluhung budaya asli. Reza Enem dan kawan-kawannya juga tidak jatuh menjadi penampil dengan kosmetik alat musik tradisional. Mereka juga tidak memasukkan unsur tradisi hanya sebagai gimmick, apalagi pelengkap semata. TOD mengakomodasi arsip khazanah folklore yang mereka temukan sewajarnya indie rocker masa kini: menghasilkan lagu-lagu berdurasi populer, sekitar 3 menit; menggunakan instrumen rock (tanpa satu pun instrumen tradisional); dan membangun lirik berdasarkan fakta yang mereka dapatkan.

Boleh dibilang, Theory of Discoustic tidak masuk ke wilayah di luar jangkauan mereka. Untungnya, mereka memiliki talenta dan selera musikal yang baik, sehingga -eksekusinya berhasil tepat sasaran. Poin-poin itulah yang membuat kami bersepakat memilih La Marupè sebagai album terbaik pilihan Tempo 2018.

Dok. Theory of Discoustic

Materi La Marupè direkam di ruangan besar bekas pabrik Semen Tonasa di Balocci, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. TOD menggunakan metode rekaman di luar studio atau field recording. Metode ini menghasilkan gaung yang merekat suasana album. Penuh perpaduan seimbang perkusi, gitar akustik yang kerap meniru kecapi Bugis, electronic ambience dengan loops dan samples yang atmosferik, dengung skala modal yang menghipnotis, serta suara nyanyian Dian Mega yang penuh sihir dan terkadang menghantui.

Lewat La Marupè, TOD beraksi seperti indie rocker modern yang sedang memperkenalkan acid folk Indonesia kepada banyak hipster muda masa kini yang gandrung pada etnografi.

Dok. Theory of Discoustic

Dengan suguhan komposisi itu, lirik-lirik lagu dalam La Marupè bercerita tentang mitos leluhur To Manurung yang turun dari kahyangan untuk menjadi juru selamat (To Manurung) serta janji (kontrak sosial-politik)-nya kepada rakyat (Janci). Lalu tentang kehidupan seusai kematian dunia Puya Toraja (Lingkar Negeri Atas) atau tentang pertempuran melawan Belanda di Laut Aru pada 1962 (Arafura). Juga tentang kesederhanaan dan nilai luhur masyarakat Ammatoa di Bulukumba dalam Tanah Tua serta kosmologi Bugis dalam Makrokosmos, yang membagi dasar kehidupan alam semesta beserta isinya yang tentunya relevan hingga sekarang.

Adapun nomor pembuka dalam album ini, Tabe, yang disuarakan dengan bahasa Makassar, berkisah tentang sapaan permisi para pelaut Makassar kepada suku Yolngu saat mereka bertamu ke pesisir utara Australia. Komposisi ini merupakan yang paling dekat dengan musik tradisional Sulawesi Selatan, hanya vokal dan suara gitar yang meniru kecapi. Sisanya merupakan formula yang khas dari musik folk Indonesia, dalam konteks musik populer di era rock, yang kerap merangkul anasir tradisional Nusantara. Dari merebaknya folk lokal pada 1970-an, dengan Bimbo dan Lemon Trees; hingga Swami dan Semakbelukar pada era berikutnya.

Album La Marupè.

Dalam beberapa momen di album La Marupè, TOD terdengar seperti sinergi antara Kelompok Kampungan dan indie rock Arcade Fire (seperti dalam lagu Janci). Lagu penutup, Badik, tentang tradisi tobo’ lalang lipa’ atau berduel satu lawan satu sebagai pilihan terakhir dalam penyelesaian konflik, terasa begitu sinematis, berdegup, dan mencekam bagai scoring adegan duel koboi spaghetti Western versi mutakhir dengan gitar Ry Cooder dalam narasi indie rock Bugis-Makassar. Atmosfer 1980-an cukup terasa dalam album lewat suasana hasil reverb “besargaya” arena serta pilihan bunyi synth dan keyboard. Melalui vokal Dian, ada rasa yang mengembalikan “cuaca” album 1980-an, seperti Hounds of Love dari Kate Bush.

Materi album ini mudah diterima, terdengar kompak, dan sudah selayaknya mendapatkan distribusi yang lebih luas dari sekadar kepingan cakram padat (CD) yang jumlahnya terbatas.

DAVID TARIGAN, PENGAMAT MUSIK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus