Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu pagi pada Januari 1987, seorang lelaki setengah baya melintas cepat. Perawakannya sedang, tinggi sekitar 160 sentimeter. Wajahnya tipe Mongoloid, rupa yang mudah ditemukan di seantero Burma. Tapi dia bukan orang biasa. Dialah Khun Sa, Raja Opium Segitiga Emas. Polahnya mencerminkan orang dengan kuasa besar. Tujuh pengawal mengitarinya ke mana dia melangkah. Dialah buron nomor wahid polisi Thailand, Laos, dan Burma. Pagi itu, sang buron tengah berjinak-jinak dengan para juru warta. Puluhan wartawan dia undang ke markasnya dekat perbatasan Burma, Thailand, dan Laos. Hadir dalam pertemuan yang jarang-jarang ini, Yuli Ismartono, wartawan Tempo yang ketika itu tengah bertugas di Bangkok.
Sembari Khun Sa bertanya-jawab, puluhan pria berseragam SAA (Shan State Army) bersenjata lengkap plus granat di pinggang berjaga-jaga. Tentaranya lebih dari 25 ribu orang yang tersebar di berbagai kamp. Dia menyebut dirinya Raja Segitiga Emas serta patriot pembela bangsa Shan Khun Sa. Ayahnya, seorang bangsawan Bang Shan, memberinya nama Khun Sa, yang artinya Pangeran Kemakmuran.
Selasa dua pekan lalu, sang Pangeran tutup usia di Rangoon dalam usia 74 tahun. Sepi-sepi saja. Kedigdayaannya di masa lalu tak berbekas. Tak ada yang meratapi jenazahnya saat dikremasi. Menurut orang yang dulu berjuang bersamanya, Khuensai Jaiyen, hanya sedikit gerilyawan Shan yang menangisi kematian bekas bos mereka. Kebesaran Khun berakhir setelah dia menyerah kepada junta, penguasa Burma, pada 1996. Berbagai penyakit menggerogoti tubuhnya setelah itu hingga dia meninggal.
Lahir dengan nama asli Chan Chi-fu, Khun Sa diburu di Segitiga Emas maupun dunia internasional. Dosanya menyebarkan heroin ke seluruh dunia. Sampai-sampai para agen polisi menjuluki dia Pangeran Kematian. Pada masa jayanya, sekitar 60 persen heroin di Amerika datang dari Segitiga Emas. Washington pernah menawarkan hadiah US$ 2 juta (kini setara dengan Rp 18 miliar lebih) bagi siapa saja yang mampu membekuknya. ”Dia mengirim begitu banyak iblis ke dunia,” ujar juru bicara Badan Antinarkoba Amerika (DEA), Thomas Constantine, kepada BBC 13 tahun silam.
Khun Sa menepis tudingan tersebut. ”Saya bukan penjahat, melainkan pejuang yang membantu rakyat Shan,” ujarnya kepada Yuli Ismartono dan beberapa wartawan lain ketika itu. ”Mereka telah banyak menderita di bawah kekuasaan pemerintah Rangoon selama 30 tahun.” Menurut dia, rakyat Shan menanam opium semata-mata karena ”karena perlu membeli beras dan baju untuk dipakai”.
Khun Sa lahir dari pasangan Cina-Shan. Ayahnya bekas tentara Kuomintang yang lari ke Burma ketika Jenderal Chiang Kai-shek dikalahkan Mao Zedong pada akhir Perang Dunia II. Namun, dia lebih memilih nama dan identitas Shan, bangsa asal ibunya.
Khun Sa tak berpendidikan tinggi. Dia mendapat pelatihan militer dari pasukan nasionalis Cina. Dia memasuki bisnis opium pada 1963. Saat itu, penguasa Burma memberi dia wewenang ke milisi-milisi, termasuk kelompok di bawah Khun Sa, untuk melawan gerilyawan separatisme.
Hanya setahun dia berkongsi dengan penguasa sebelum mulai melawan pemerintahan Rangoon. Pada 1969, dia ditahan. Lima tahun kemudian, ia bebas, ditukar dengan dua dokter Rusia yang diculik para pengikutnya. Lepas dari penjara, dia mulai meniti bisnis perdagangan heroin di Burma dan berjaya selama dua setengah dekade.
Pengadilan New York mendakwanya untuk kejahatan perdagangan heroin dan memerintahkan ekstradisi kepadanya pada 1989, tapi Khun Sa bergeming dan tetap berjaya. Dia memerintah dari Homong, markas besarnya, dekat dengan perbatasan Thailand. Pencinta cerita silat Cina ini pun terus bertempur dan berdagang heroin hingga junta militer mengubah strategi. Mereka menawarkan amnesti.
Sang Raja takluk, terpikat oleh tawaran pengampunan. Dia membubarkan pasukannya, Mong Tai Army, yang di masa-masa akhir tinggal 10 ribu orang, dan pindah ke ibu kota.
Kisahnya tak banyak lagi terdengar setelah itu. Dia dikabarkan tetap hidup dalam kemewahan dan mendapatkan konsesi tambang rubi. Hidupnya boleh dibilang lengkap: lama menjadi ”raja”, menyerah kepada yang lebih kuasa, lalu mati sebagai orang biasa.
Purwani Diyah Prabandari (AP, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo