MASIH parak pagi berbondong-bondong penduduk Kampung Melayu di
Kecamatan Telukbetung Utara membawa ember. Tua, muda, laki-laki
dan perempuan berbaris di bibir sebuah sumur yang mereka gali
beberapa tahun silam. Pemandangan serupa juga didapati di
Kampung Ambon dan Upas. Untuk mendapatkan seember air bersih
orang harus memeras banyak keringat. Di ketiga kampung yang
berbukit-bukit itU, orang harus menggali sumur sedalam 18 m
untuk memperoleh sumber air. Air dari Perusahaan Air Minum
(PAM), yang debitnya kecil, sudah lama tak kuat memanjat bukit.
Kotamadya Tanjungkarang-Telukhetung, memang sudah puluhan tahun
kesulitan air bersih. Air ledeng yang menetes dari PAM hanya
dinikmati sekitar 2 ribu langganan dari jumlah penduduk 230
ribu. Itupun terpaksa digilir setiap 3 jam sehari. Dan dengan
cara itu, air yang didapatkan penuh kesabaran menunggui mulut
kran, paling hanya 4 ember. Tentu saja banyak langganan jadi
gusar "Rekening ditagih terus setiap bulan. Tapi air keluar
seperti keringat orang, kata seorang langganan PAM:
Way Linti
Banyak orang yang tidak sudi mengantungkan pada kemurahan PAM.
Mereka lalu menggali sumur. Seperti yang dilakukan Marcopolo,
hotel termewah dengan 80 kamar. "Kalau menggantungkan PAM macet,
mau apa? Apalagi kebutuhan kami banyak," kata Sukimin, kepala
bagian mesin Marcopolo. Karena situasi itulah, maka tawaran PAM
bagi penduduk yang ingin jadi langganan baru, (tarifnya Rp 74
ribu), tidak mendapat sambutan.
Sementara harga 6 kaleng air sudah Rp 200, banyak penduduk lalu
mencebur ke kali untuk mandi, cuci dan hajat lain. Tapi setelah
beberapa orang direnggut penyakit muntaber, kali agak sepi.
"Jelas karena minum air kali itulah mereka jadi muntaber," kata
dr H. Poerboyo, Kepala Dinas Kesehatan Rakyat Kotamadya
Tanjungkarang, Telukbetung.
Sulit air sudah dialami sejak zaman normal, 1920. Ada yang
menuduh ketidakberesan pergantian pipa air minum tua ke yang
baru yang jadi sebab. Tapi walikota, drs Fauzi Saleh, mengakui
pendapat Menteri Pengawasan Pembangunan dan Linkungan Hidup
Emil Salim yang berkunjung Mei lalu adalah benar akibat
penggundulan hutan di Gunung Betung, Kecamatan Panjang, Lampung
Selatan. Rakyat yang merayah hutan Gunung Betung, 23 Km arah
selatan Kota Tanjungkarang sejak dua puluh tahun lalu,
menyebabkan kawasan di sana gundul.
Padahal di sana terdapat sumber air minum Way Rilau, Pengajaran,
Tanjung Aman dan Egaharap yang dapat diharap seluruh penduduk
Tanjungkarang-Telukbetung. Tapi penggundulan hutan terasa
terlalu hebat. Debit air merosot ke 17 liter/detik pada musim
kemarau dan 60 liter pada musim hujan. Walikota Fauzi memang tak
bisa berbuat banyak untuk menyelamatkannya. Kenapa? "Sebab
Gunung Betung itu berada di wilayah kekuasaan supati Lampung
Selatan," kata seorang stafnya di kantor kotamadya. Hal serupa
juga dialami sumber air minum bagi Jakarta di Ciburial, Bogor.
Bandung tampaknya adalah wakil yang baik untuk pengrusakan hutan
lindung itu (TEMPO 9 Juni). Padahal, "penyediaan air minum
tergantung pada keutuhan hutan," kara Menteri Emil
memperingatkan.
Upaya Pemda mengatasi kesulitan air tak kurang-kurang. Tapi
penggantian pipa baru tampaknya banyak mengalami hambatan.
Beberapa alasan misalnya disebut, "tanah di sekitar sumber air
minum sering longsor." Sehingga petugas susah bukan main
mengangkat pipa busuk dari bawah timbunan tanah longsor. Harapan
kemudian dijatuhkan pada jasa baik para teknisi dari Colombo
Plan yang sedang mengutik-utik beberapa sungai. Baru Way Rilau
yang bisa mengucurkan air 30 liter/detik selesai digarap
sementara way Linti, Kuripan, dan Sabu kalau tak aral tahun 1985
kelak bakal bisa mengisi kebutuhan air sampai 1.770 liter/detik.
Paket Inpres
Tapi seluruh rencana ini baru akan berhasil andaikata ditunjang
pula dengan penghijauan dan reboisasi di Gunung Betung. Kalau
penghijauan gagal, "tentu proyek ini bakal hancur, dan orang
tetap kehausan," kata seorang pejabat di balaikota kepada
pembantu TEMPO, Hilman Eidy. Sementara ini memang, seperti
dilihat walikota Fauzi Saleh, "penghijauan di sana kurang
berhasil."
Untuk mengatasi kebutuhan mendesak, tahun anggaran 1978/79
kemarin lewat paket Inpres, Pemda membagikan 47 buah pompa air
bagi desa yang membutuhkan. Desa Kali Awi, Kampung Sawah dan
Kampung Ambon sudah agak tertolong. Sebelumnya juga diberikan 5
pompa untuk desa Kampung Baru. Tapi orang di sana tetap saja
masih menjerit kurang air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini