Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rekening 4 Ember Air

Penduduk kotamadya Tanjungkarang-Telukbetung kesulitan air bersih. Kapasitas PAM kecil, pipanya tua dan keropos. Menurut menteri PPLH karena penggundulan hutan. Pemda membagikan pompa air. (kt)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH parak pagi berbondong-bondong penduduk Kampung Melayu di Kecamatan Telukbetung Utara membawa ember. Tua, muda, laki-laki dan perempuan berbaris di bibir sebuah sumur yang mereka gali beberapa tahun silam. Pemandangan serupa juga didapati di Kampung Ambon dan Upas. Untuk mendapatkan seember air bersih orang harus memeras banyak keringat. Di ketiga kampung yang berbukit-bukit itU, orang harus menggali sumur sedalam 18 m untuk memperoleh sumber air. Air dari Perusahaan Air Minum (PAM), yang debitnya kecil, sudah lama tak kuat memanjat bukit. Kotamadya Tanjungkarang-Telukhetung, memang sudah puluhan tahun kesulitan air bersih. Air ledeng yang menetes dari PAM hanya dinikmati sekitar 2 ribu langganan dari jumlah penduduk 230 ribu. Itupun terpaksa digilir setiap 3 jam sehari. Dan dengan cara itu, air yang didapatkan penuh kesabaran menunggui mulut kran, paling hanya 4 ember. Tentu saja banyak langganan jadi gusar "Rekening ditagih terus setiap bulan. Tapi air keluar seperti keringat orang, kata seorang langganan PAM: Way Linti Banyak orang yang tidak sudi mengantungkan pada kemurahan PAM. Mereka lalu menggali sumur. Seperti yang dilakukan Marcopolo, hotel termewah dengan 80 kamar. "Kalau menggantungkan PAM macet, mau apa? Apalagi kebutuhan kami banyak," kata Sukimin, kepala bagian mesin Marcopolo. Karena situasi itulah, maka tawaran PAM bagi penduduk yang ingin jadi langganan baru, (tarifnya Rp 74 ribu), tidak mendapat sambutan. Sementara harga 6 kaleng air sudah Rp 200, banyak penduduk lalu mencebur ke kali untuk mandi, cuci dan hajat lain. Tapi setelah beberapa orang direnggut penyakit muntaber, kali agak sepi. "Jelas karena minum air kali itulah mereka jadi muntaber," kata dr H. Poerboyo, Kepala Dinas Kesehatan Rakyat Kotamadya Tanjungkarang, Telukbetung. Sulit air sudah dialami sejak zaman normal, 1920. Ada yang menuduh ketidakberesan pergantian pipa air minum tua ke yang baru yang jadi sebab. Tapi walikota, drs Fauzi Saleh, mengakui pendapat Menteri Pengawasan Pembangunan dan Linkungan Hidup Emil Salim yang berkunjung Mei lalu adalah benar akibat penggundulan hutan di Gunung Betung, Kecamatan Panjang, Lampung Selatan. Rakyat yang merayah hutan Gunung Betung, 23 Km arah selatan Kota Tanjungkarang sejak dua puluh tahun lalu, menyebabkan kawasan di sana gundul. Padahal di sana terdapat sumber air minum Way Rilau, Pengajaran, Tanjung Aman dan Egaharap yang dapat diharap seluruh penduduk Tanjungkarang-Telukbetung. Tapi penggundulan hutan terasa terlalu hebat. Debit air merosot ke 17 liter/detik pada musim kemarau dan 60 liter pada musim hujan. Walikota Fauzi memang tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkannya. Kenapa? "Sebab Gunung Betung itu berada di wilayah kekuasaan supati Lampung Selatan," kata seorang stafnya di kantor kotamadya. Hal serupa juga dialami sumber air minum bagi Jakarta di Ciburial, Bogor. Bandung tampaknya adalah wakil yang baik untuk pengrusakan hutan lindung itu (TEMPO 9 Juni). Padahal, "penyediaan air minum tergantung pada keutuhan hutan," kara Menteri Emil memperingatkan. Upaya Pemda mengatasi kesulitan air tak kurang-kurang. Tapi penggantian pipa baru tampaknya banyak mengalami hambatan. Beberapa alasan misalnya disebut, "tanah di sekitar sumber air minum sering longsor." Sehingga petugas susah bukan main mengangkat pipa busuk dari bawah timbunan tanah longsor. Harapan kemudian dijatuhkan pada jasa baik para teknisi dari Colombo Plan yang sedang mengutik-utik beberapa sungai. Baru Way Rilau yang bisa mengucurkan air 30 liter/detik selesai digarap sementara way Linti, Kuripan, dan Sabu kalau tak aral tahun 1985 kelak bakal bisa mengisi kebutuhan air sampai 1.770 liter/detik. Paket Inpres Tapi seluruh rencana ini baru akan berhasil andaikata ditunjang pula dengan penghijauan dan reboisasi di Gunung Betung. Kalau penghijauan gagal, "tentu proyek ini bakal hancur, dan orang tetap kehausan," kata seorang pejabat di balaikota kepada pembantu TEMPO, Hilman Eidy. Sementara ini memang, seperti dilihat walikota Fauzi Saleh, "penghijauan di sana kurang berhasil." Untuk mengatasi kebutuhan mendesak, tahun anggaran 1978/79 kemarin lewat paket Inpres, Pemda membagikan 47 buah pompa air bagi desa yang membutuhkan. Desa Kali Awi, Kampung Sawah dan Kampung Ambon sudah agak tertolong. Sebelumnya juga diberikan 5 pompa untuk desa Kampung Baru. Tapi orang di sana tetap saja masih menjerit kurang air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus