Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Bukan Ho, Bukan Pula Lapar

Kegagalan panen menimpa Kabupaten Belu akibat serangan hama keong. Penduduk terancam penyakit beri-beri karena kurang gizi. Usaha mekanisasi pertanian tidak ditunjang oleh tenaga trampil. (dh)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANTU kelaparan tampaknya belum jauh beranjak dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Awan gelap itu kini terbang di atas Kabupaten selu yang berbatasan letaknya dengan Propinsi Timor Timur. Kegagalan panen sungguh mengecutkan. Bupati drs. S. Berek yang memimpin kawasan ini, meskipun sudah faham betul rakyatnya sering kurang pangan, cemas dan gelagapan juga. Sesudah tikus menggempur persawahan di hampir seluruh kabupaten di NTT kini hama keong memperoleh giliran. "Tahun ini pasti lapar pak. Kami tidak bisa tanam kacang hijau pada musim kedua," ungkap Albert Seran, Camat Malaka Timur. Desa Mandeu dan Teun, seperti dicatat Pembantu TEMPO Aloysius Liliwery dari ucapan Albert, adalah daerah yang paling parah digasak keong. Akibatnya, seperti juga terjadi di Kecamatan Boas, Betun dan Besikama -- 2 kecamatan terakhir dikenal sebagai gudang beras, panenan anjlok tajam. "Kini kami hanya bisa memetik 20 blik padi dari setiap hektar. Padahal biasanya dapat 70 blik," kata Nikolas Mau, 57 tahun, petani di Kecamatan Betun. Harga beras pun di pasaran sudah didongkrak jadi Rp 200/kg. Mengharapkan bantuan? "Mana ada yang mau tahu?" kata petani itu putus asa. Belu memang sering kurang pangan. Ketua Wredatama Belu, Ignatius Kitu, sudah sejak lama "kenal rakyat di sini selalu tidak bisa mencukupi hidupnya." Menghadapi semester kedua tahun ini Bupati Berek, serelah melihat kegagalan panen pada dua kali musim tanam, mencatat kekurangan beras 11 ribu ton. Upaya Berek, seperti banyak halnya pejabat di daerah, apa boleh buat, mengharapkan bantuan dari luar. "Sebab, panen di Belu tahun ini memang gagal, tak ada harapan lagi," kata Berek kepada TEMPO. Sebuah missi sosial Katolik sudah menyanggupi menyumbang 600 ton beras. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Sumba Barat. "Tahun ini kami akan kekurangan pangan," kata Bupati Pandango SH. Hampir 4 ribu ton beras dibutuhkan segera untuk mengganjel perut rakyat Gubernur NTT, Ben Mboi, meskipun sudah mencadangkan beras lebih 3700 ton untuk Kabupaten Ngada masih was-was juga. Apalagi Dinas Pertanian setempat sudah menangkap isyarat "hama menyerang persawahan lebih 2 ribu hektar di 6 kecamatan," tulis brosur penerangan Kabupaten. Tapi anehnya Kecamatan Bajawa dan Aesesa di wilayah Ngada mencatat kelebihan beras lumayan. Surplus beras juga dikenal di Kabupaten Manggarai sampai 10 ribu ton. Saking lebarnya panenan sampai supati Manggarai, Dulla, kebingungan menyimpannya. "Tak tahu harus simpan beras di mana," kata supati Dulla. Kabupaten Belu dikenal sebagai daerah miskin meskipun tanahnya subur. Hampir 200 ribu penduduk yang mendiami 6 kecamatan selalu ditimpa malapetaka kurang pangan. Apa sebabnya? Camat Malaka Timur, Albert Seran menunjuk pada kemalasan orang setempat untuk menggarap sawahnya. Rata-rata tiap kepala keluarga memiliki tanah pertanian antara 0,5 - 2 Ha. Tapi setiap musim tanam setiap KK hanya mau mengerjakan 0,6 Ha saja. "Tidak mau lebih luas dari itu," kata Albert Seran. "Tentu saja lapar tidak bisa dielakkan." Sementara Bupati Berek lebih senang menyebut kekurangan pangan dan rendahnya pendapatan rakyatnya adalah akibat tidak langsung dari peperangan di Timor Timur. Seon Ketika upaya memberantas hama keong belum juga ditemukan, Bupati Berek sudah harus pula menangkis isyu penyakit beri-beri akibat kurang gizi melanda desa Mandeu. "Saya sudah cek. Menurut dokter itu adalah penyakit malaria menahun," sanggah Bupati Berek. Pastor Molandick, dari paroki Seon memperkuatnya. "Tidak ada yang kelaparan serius, meskipun sebagian besar anak-anak yang bermain di depan pastoran berperut buncit dan kotor," kata sang pastor. Terhadap kenyataan yang menimpa beberapa kecamatan di wilayahnya, Bupati Berek tentu saja masih punya harapan meskipun anak-anak setengah telanjang dengan kaki kurus, yang keluar dari rumah kerucut 'lopo', sudah berperut buncit. "Di sini tak ada HO, tapi hanya kurang gizi. Di sini juga tak ada kelaparan, yang ada kurang pangan, kata Bupati Berek. Sementara itu gambaran usaha memajukan pertanian di NTT memang tak begitu menggembirakan. Traktor yang diperkenalkan sejak tahun 1978, untuk mengangkat pertanian di sana, ternyata kandas. Dari 30 traktor yang dilepas PT Sumber Ternak dengan kredit kepada para petani rusak berat dan tidak dapar dipakai, lagi. Di Kecamatan Mbay, misalnya, 10 traktor kreditan melalui PT Tani Subur separuhnya tidak bisa dipakai lagi. Selain onderdil sulit, ketrampilan merawat memang tidak ada. "Sebelum traktor ini jadi besi tua kembalikan persoalannya kepada Bupati Ngada supaya mengurusnya, kata Ben Mboi gusar. H. Pelapon, bekas Kepala Dinas Pertanian NTT, sejak awal sudah tidak percaya traktor bisa meningkatkan pertanian seperti dipropagandakan tukang kredit. "Lebih 30 tahun saya punya pengalaman di NTT, luku (bajak) malahan bisa menghasilkan padi lebih 12 ton setiap hektar. Bohong traktor lebih hebat dari luku," seru Pelapon kesal. "Apa itu modernisasi? "Daripada Rp 150 juta untuk kredit sebuah traktor lebih baik kita belikan 90 kerbau untuk petani dan lukunya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus