Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jakarta dari beberapa jurusan

Popo iskandar, 52, memamerkan karyanya di mitra budaya, bertepatan hut ke-452 jakarta. karyanya tidak menampilkan ciri khas ibukota, berbeda dengan karya srihadi (air mancur, kota) maupun karya dede s.(sr)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA 15 sketsa Popo Iskandar -- di antara sejumlah karyanya yang dipamerkan di Mitra Budaya, 20-24 Juni -- yang mengambil obyek Jakarta. "Saya ingin membuat catatan artistik tentang Jakarta," kata Popo (52 tahun) mencoba menerangkan. Tapi agak lain dengan karya beberapa pelukis yang pernah melukis Jakarta, sketsa Popo tidak menampilkan ciri khas Ibukota. Tak ada Monas, tak ada Jalan Thamrin yang penuh mobil. Jalan itu sepi. Bahkan Arya Duta Hyatt juga tampil sebagai gedung menjulang yang bisu. Sementara Pasar Boplo -- terletak sekitar 500 meter sebelah timur Toserba Sarinah -- hanya berupa setumpuk botol minuman dalam rak. "Barangkali karena kekuatan saya pada kelancaran garis dan irama, maka Jakarta saya bawa ke sana." Padahal pelukis ini tinggal di Bandung. Jadi kenapa mesti yang di Pasar Boplo, Jakarta, kalau hanya ingin menggambar serak botol minuman? "Karena kontak baru terjadi di Jakarta," katanya. Sebetulnya gagasan melukis suasana kota sudah timbul ketika dia melawat ke Eropa, 1976. Tapi baru sekarang dilaksanakannya. Tidak hanya Jakarta rencananya, juga Bandung dan kota lainnya. "Supaya kita jangan selalu melukis Bali saja," tambah Popo. Pelukis yang beberapa bulan lalu membuka museum pribadi itu menyadari juga kalau Jakartanya lain dengan Jakarta Srihadi. "Saya tak mencoba memberi pesan atau apa pada sketsa saya. Saya hanya ingin mencoretkan kesan-kesan artistik tentang Jakarta." Katanya pula dengan yakin "Kwa artistik saya kira tak kalah dengan lukisan saya yang dengan akrilic atau cat minyak." Memang. Sebuah sketsa berjudul Kuningan -- kawasan yang baru sekitar dua tahun dibelah jalan raya yang mahal, dan di kanan-kiri masih banyak tanah kosong --tampil dengan beberapa garis dan berpuluh noktah menggambarkan kerindangan pepohonan. Karya ini salah satu yang berhasil menampilkan satu suasana hanya dengan beberapa coretan. Ali Sadikin Tapi dengan demikian, ide Jakarta hanya berarti bagi si pelukis sendiri. Penonton tak akan ambil pusing apakah itu sketsa pedagang kakilima di Cililitan atau di sebuah jalan di Yogya, misalnya. Srihadi sebaliknya. Meski jelas-jelas ia menggambar Jakarta (ada Monas, ada air mancar Jalan Thamrin, ada patung 'Selamat Datang') justru gambar itu hanya diberinya judul Kota. Dia terutama memang tak hendak memotret Jakarta. Yang hendak ditampilkan dengan meminjam obyek Jakarta adalah gagasan, ide, yang mungkin tak hanya berlaku buat Jakarta tapi banyak kota besar di dunia macetnya lalu lintas, pencakar langit yang berdamping dengan gubug-gubug bobrok, papan reklame yang memenuhi semua sudur kota. Itulah sebabnya Gubernur DKI yang dulu, Ali Sadikin, pernah salah-paham dengan sebuah karya Srihadi. Judulnya Air Mancar -- menggambarkan ributnya suasana di tengah kota. Yang membuat salah paham gedung-gedung sekitar air mancur itu penuh bertempel lampu reklame Hitachi, Toshiba, Toyota, Philips dan banyak lagi. Nah, dicoretlah oleh sang gubernur dengan tulisan: "Apa ini reklame barang Jepang??" Dan Dewan Kesenian Jakarta pun lantas menjelaskan. (Lukisan 1973 itu malah lantas menghias sebuah ruang di Balai Kota DKI, sampai sekarang, lengkap dengan coretannya). Bagaimana pun, Srihadi masih setia dengan kenyataan visual yang ada. Dia tak merubah -- hanya mengkomposisikan dan membentuk menurut gayanya. Tapi ada lukisan pelukis lain yang dilihat dari obyek bakunya lebih lagi "persis dengan aslinya" -- dari Dede Supria (21 tahun), yang melukis Monas dengan menyontek foto. Hanya saja, tugu Monas tak lagi berpuncak api keemasan -- sudah digantinya dengan botol kecap cap Bango, terletak besar dan miring di pucuk. Lukisan itu lalu bisa memberi kesan macam-macam. Dilihat dari jurusan Dede, terasa sketsa Jakarta Popo "ketinggalan zaman". Tapi Popo memang bukan menekankan Jakartanya. Kalau jadinya orang tidak mengenal obyeknya sebagai satu sudut Jakarta, yah apa boleh buat. Dan barangkali hanya soal teknis, kalau dia memamerkannya bertepatan dengan ulang tahun ke-452 Ibukota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus