ADA 15 sketsa Popo Iskandar -- di antara sejumlah karyanya yang
dipamerkan di Mitra Budaya, 20-24 Juni -- yang mengambil obyek
Jakarta. "Saya ingin membuat catatan artistik tentang Jakarta,"
kata Popo (52 tahun) mencoba menerangkan.
Tapi agak lain dengan karya beberapa pelukis yang pernah melukis
Jakarta, sketsa Popo tidak menampilkan ciri khas Ibukota. Tak
ada Monas, tak ada Jalan Thamrin yang penuh mobil. Jalan itu
sepi. Bahkan Arya Duta Hyatt juga tampil sebagai gedung
menjulang yang bisu. Sementara Pasar Boplo -- terletak sekitar
500 meter sebelah timur Toserba Sarinah -- hanya berupa setumpuk
botol minuman dalam rak.
"Barangkali karena kekuatan saya pada kelancaran garis dan
irama, maka Jakarta saya bawa ke sana." Padahal pelukis ini
tinggal di Bandung. Jadi kenapa mesti yang di Pasar Boplo,
Jakarta, kalau hanya ingin menggambar serak botol minuman?
"Karena kontak baru terjadi di Jakarta," katanya.
Sebetulnya gagasan melukis suasana kota sudah timbul ketika dia
melawat ke Eropa, 1976. Tapi baru sekarang dilaksanakannya.
Tidak hanya Jakarta rencananya, juga Bandung dan kota lainnya.
"Supaya kita jangan selalu melukis Bali saja," tambah Popo.
Pelukis yang beberapa bulan lalu membuka museum pribadi itu
menyadari juga kalau Jakartanya lain dengan Jakarta Srihadi.
"Saya tak mencoba memberi pesan atau apa pada sketsa saya. Saya
hanya ingin mencoretkan kesan-kesan artistik tentang Jakarta."
Katanya pula dengan yakin "Kwa artistik saya kira tak kalah
dengan lukisan saya yang dengan akrilic atau cat minyak."
Memang. Sebuah sketsa berjudul Kuningan -- kawasan yang baru
sekitar dua tahun dibelah jalan raya yang mahal, dan di
kanan-kiri masih banyak tanah kosong --tampil dengan beberapa
garis dan berpuluh noktah menggambarkan kerindangan pepohonan.
Karya ini salah satu yang berhasil menampilkan satu suasana
hanya dengan beberapa coretan.
Ali Sadikin
Tapi dengan demikian, ide Jakarta hanya berarti bagi si pelukis
sendiri. Penonton tak akan ambil pusing apakah itu sketsa
pedagang kakilima di Cililitan atau di sebuah jalan di Yogya,
misalnya.
Srihadi sebaliknya. Meski jelas-jelas ia menggambar Jakarta (ada
Monas, ada air mancar Jalan Thamrin, ada patung 'Selamat
Datang') justru gambar itu hanya diberinya judul Kota. Dia
terutama memang tak hendak memotret Jakarta. Yang hendak
ditampilkan dengan meminjam obyek Jakarta adalah gagasan, ide,
yang mungkin tak hanya berlaku buat Jakarta tapi banyak kota
besar di dunia macetnya lalu lintas, pencakar langit yang
berdamping dengan gubug-gubug bobrok, papan reklame yang
memenuhi semua sudur kota.
Itulah sebabnya Gubernur DKI yang dulu, Ali Sadikin, pernah
salah-paham dengan sebuah karya Srihadi. Judulnya Air Mancar --
menggambarkan ributnya suasana di tengah kota. Yang membuat
salah paham gedung-gedung sekitar air mancur itu penuh bertempel
lampu reklame Hitachi, Toshiba, Toyota, Philips dan banyak lagi.
Nah, dicoretlah oleh sang gubernur dengan tulisan: "Apa ini
reklame barang Jepang??" Dan Dewan Kesenian Jakarta pun lantas
menjelaskan. (Lukisan 1973 itu malah lantas menghias sebuah
ruang di Balai Kota DKI, sampai sekarang, lengkap dengan
coretannya).
Bagaimana pun, Srihadi masih setia dengan kenyataan visual yang
ada. Dia tak merubah -- hanya mengkomposisikan dan membentuk
menurut gayanya. Tapi ada lukisan pelukis lain yang dilihat dari
obyek bakunya lebih lagi "persis dengan aslinya" -- dari Dede
Supria (21 tahun), yang melukis Monas dengan menyontek foto.
Hanya saja, tugu Monas tak lagi berpuncak api keemasan -- sudah
digantinya dengan botol kecap cap Bango, terletak besar dan
miring di pucuk. Lukisan itu lalu bisa memberi kesan
macam-macam.
Dilihat dari jurusan Dede, terasa sketsa Jakarta Popo
"ketinggalan zaman". Tapi Popo memang bukan menekankan
Jakartanya. Kalau jadinya orang tidak mengenal obyeknya sebagai
satu sudut Jakarta, yah apa boleh buat. Dan barangkali hanya
soal teknis, kalau dia memamerkannya bertepatan dengan ulang
tahun ke-452 Ibukota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini