Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Faridah, Mengapa Kau Mati

Pengadilan Singapura mulai menyidangkan perkara terbunuhnya Christine Faridah Suwantika. Penyidik berpendapat korban bunuh diri karena ketegangan mental. (krim)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA semua sudah tahu ini: Christine Faridah Suwantika, 22 tahun, pada 25 Agustus tahun silam mati di sebuah apartemen mewah Peach Garden, Meyer Road, Katong, Singapura. Tapi kita belum tahu kenapa. Tika Juwena, orangtua almarhumah, bulan lalu memasang iklan di beberapa koran Jakarta meminta bantuan khalayak yang mungkin bisa mengetahui, dengan cara apapun, sebab kematian anaknya. Sampai pekan ini, misteri itu masih akan ramai diperdebatkan. Apalagi dua ahli kedokteran kehakiman mempunyai kesimpulan yang berbeda. Dr. Wee Keng Poh (Singapura) setelah melakukan bedah mayat berpendapat korban tewas karena keracunan gas karbon monoksida. Tapi dr Handoko Tjondroputranto dari Lembaga Kriminologi UI -- bersandar pada laporan visum itu -- menyatakan korban dibunuh, bukan keracunan gas (TEMPO 2 Juni). Pekan silam pengadilan Singapura, seperti dilaporkan The Staits Times, mulai mendengarkan keterangan para saksi mata dan penyidik, untuk menentukan sebab kematian Faridah. Parmi pembantu rumah tangga korban memberikan keterangan menarik, meskipun pada beberapa bagian dibantah suami korban, William Loh Shou Lian. Menurut cerita Parmi, ia masih bermimpi tidur di sisi si orok, Jacqueline ketika dalam tidurnya ia mencium bau sesuatu terbakar baunya menusuk hidung waktu ia melintas dapur yang pintunya terganjel serbet. Ketika pintu berhasil dibuka dengan paksa, tampak Faridah tergeletak di lantai dengan tubuh terbungkus selimut, seolah tidur. Sementara kompor masih menyala dan bau gas menusuk. Ia mengira majikannya sengaja tidur di situ. Tapi ketika Parmi menyalakan lampu ruang tanu, dilihatnya ranjang penuh dengan darah. Dua buah pisau lipat tergeletak di lantai dekat ranjang. Lalu sang babu ini berlari kembali ke dapur memanggil-manggil sang majikan -- yang sudah mati itu. Kepada William Loh ia menceritakan seluruh kejadian pada pagi dinihari jam 4 itu. Loh menurut pengakuan Parmi tidak sedih, ia hanya mengeluh, "ai ya . . . " ketika memergoki kematian isterinya. Pisau Silet Cerita Parmi ternyata berbeda dengan cerita William Loh sebelumnya. Loh menyangkal pernah meminta pisau silet pada Parmi untuk mengerok noda darah pada pisau lipat yang ditemukan di kamar tamu. "Itu bohong besar, saya tidak bermaksud melakukannya," tangkis William Loh, 27 tahun, anak jutawan Robin Loh. Meskipun pengacara William Loh, Ram Goswami, mendesak Parmi tetap pada pendiriannya. Willialn Loh bermaksud mengerok noda darah pada pisau lipat tapi kemudian mengurungkan. Pejabat Penyidik Sebab-sebab Kematian (State Coroner) Chang Kok Ming menguatkan tangkisan William Loh. Menurut dia, adalah pekerjaan mudah untuk menghapus noda darah dengan sepotong kain atau air misalnya. "Kalau pisau itu sudah kering, siapa lagi yang mau minta sebuah pisau silet untuk mengeroknya?" kata Chang Kok Ming. "Parmi sendiri kelihatan tidak teguh, mungkin suatu kali malahan ia akan ragu-ragu," kata Chang. Dua hari sebelum hari naas itu suami istcri tadi terlibat pertengkaran. Gara-garanya, menurut William Loh, ibunya Ny. Josephine Loh, tanggal 8 Agustus bercerita pada Faridah: William ada affair dengan sekretarisnya, Margarette. Almarhumah tentu saja tidak ingin suaminya membagi cinta pada wanita lain. Esok harinya Faridah lari ke rumah orangtuanya di Jakarta dengan bayinya. William dengan gusar menelepon. Ia minta Faridah segera kembali dan menjanjikan akan menyingkirkan Margarette ke Kanada. Tiba kembali di Singapura Faridah melarang William Loh pergi ke kantor, dan memberi tempo seminggu untuk mengusir Margarette. Loh memang tidak masuk kantor antara 12 - 22 Agustus. Sementara itu pula Faridah yang masih gelisah dan gusar diam-diam meletakkan alat pengeras suara di gagang telepom William Loh sangat girang ketika mendadak 23 Agusrus Faridah mengijinkannya masuk kantor kembali. Tanpa sadar hari itu juga ia menelepon kantor, memberitahukan jam 3 sore itu ia akan masuk. Ternyata Margarette yang menerima. Tentu saja Faridah yang bisa mendengar percakapan itu dengan jelas makin gusar dan gelisah. "Ia mencoba membunuh diri dengan pisau lipat, meskipun sudah saya katakan soal Margarette sudah selesai," kata William Loh. Musik Menurut Parmi, almarhumah setelah kejadian itu minum 3 pil obat tidur yang didapatkan dari seorang kawan, Ny. Wong. Jam 4 sore 24 Agustus, William Loh melihat isterinya dengan rambut acak-acakan jalan terhuyung masuk ruang tidur utama. Ia lalu menjangkau Faridah, yang terkantuk-kantuk itu, dan membaringkannya di ruang tamu. William sendiri kemudian meneruskan menyelesaikan aransemen musik untuk sebuah festival musik. Jam 01.15 pada 25 Agustus, setelah mabuk-mabukan dengan teman-temannya, William Loh tidak menjumpai isterinya di kamar tidur. Ia menyangka Faridah tidur di rumah seorang kakaknya yang tak jauh dari apartemen mereka. Barulah menjelang pada 04.00 dinihari Parmi membangunkannya. "Saya meraung-raung dan histeris ketika menjumpai Faridah sudah jadi mayat," kata William Loh. "Kepada diri saya sendiri saya berkata, mengapa kamu mabuk-mabukan hingga membiarkan ia terbaring di dapur sendirian." Jadi benarkah Faridah mati karena bunuh diri? Penyidik kematian Chang Kok Ming membenarkan Faridah gelisah dan menderita tekanan batin yang amat sangat setelah mengetahui permainan suaminya. Dalam kebingungannya itu ia kembali ke Jakarta dan minta cerai. "Ketegangan dan tekanan batin yang menguasai pikiran itulah, yang menyebabkan ia memutuskan bunuh diri," tutur Chang Kok Ming memberi kesaksian di depan pengadilan. Faridah menurut Chang kemudian melukai urat nadi pergelangan tangan, leher dan beberapa tempat lain. "Luka itu jelas perbuatannya sendiri," kata Chang. "Sebab baik di tubuh korban maupun dapur tidak ada tanda-tanda perlawanan dari seseorang yang akan dibunuh." Apakah benar setelah itu Faridah berjalan dari ruang tamu ke dapur lalu membuka kran gas, sulit diketahui. Pengadilan tampaknya masih perlu mendengar kesaksian lain, polisi yang datang menyidik di tempat kejadian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus