KITA semua sudah tahu ini: Christine Faridah Suwantika, 22
tahun, pada 25 Agustus tahun silam mati di sebuah apartemen
mewah Peach Garden, Meyer Road, Katong, Singapura. Tapi kita
belum tahu kenapa. Tika Juwena, orangtua almarhumah, bulan lalu
memasang iklan di beberapa koran Jakarta meminta bantuan
khalayak yang mungkin bisa mengetahui, dengan cara apapun, sebab
kematian anaknya. Sampai pekan ini, misteri itu masih akan ramai
diperdebatkan. Apalagi dua ahli kedokteran kehakiman mempunyai
kesimpulan yang berbeda. Dr. Wee Keng Poh (Singapura) setelah
melakukan bedah mayat berpendapat korban tewas karena keracunan
gas karbon monoksida. Tapi dr Handoko Tjondroputranto dari
Lembaga Kriminologi UI -- bersandar pada laporan visum itu --
menyatakan korban dibunuh, bukan keracunan gas (TEMPO 2 Juni).
Pekan silam pengadilan Singapura, seperti dilaporkan The
Staits Times, mulai mendengarkan keterangan para saksi mata dan
penyidik, untuk menentukan sebab kematian Faridah. Parmi
pembantu rumah tangga korban memberikan keterangan menarik,
meskipun pada beberapa bagian dibantah suami korban, William Loh
Shou Lian. Menurut cerita Parmi, ia masih bermimpi tidur di sisi
si orok, Jacqueline ketika dalam tidurnya ia mencium bau
sesuatu terbakar baunya menusuk hidung waktu ia melintas dapur
yang pintunya terganjel serbet. Ketika pintu berhasil dibuka
dengan paksa, tampak Faridah tergeletak di lantai dengan tubuh
terbungkus selimut, seolah tidur. Sementara kompor masih menyala
dan bau gas menusuk. Ia mengira majikannya sengaja tidur di
situ.
Tapi ketika Parmi menyalakan lampu ruang tanu, dilihatnya
ranjang penuh dengan darah. Dua buah pisau lipat tergeletak di
lantai dekat ranjang. Lalu sang babu ini berlari kembali ke
dapur memanggil-manggil sang majikan -- yang sudah mati itu.
Kepada William Loh ia menceritakan seluruh kejadian pada pagi
dinihari jam 4 itu. Loh menurut pengakuan Parmi tidak sedih, ia
hanya mengeluh, "ai ya . . . " ketika memergoki kematian
isterinya.
Pisau Silet
Cerita Parmi ternyata berbeda dengan cerita William Loh
sebelumnya. Loh menyangkal pernah meminta pisau silet pada Parmi
untuk mengerok noda darah pada pisau lipat yang ditemukan di
kamar tamu. "Itu bohong besar, saya tidak bermaksud
melakukannya," tangkis William Loh, 27 tahun, anak jutawan
Robin Loh. Meskipun pengacara William Loh, Ram Goswami, mendesak
Parmi tetap pada pendiriannya. Willialn Loh bermaksud mengerok
noda darah pada pisau lipat tapi kemudian mengurungkan.
Pejabat Penyidik Sebab-sebab Kematian (State Coroner) Chang Kok
Ming menguatkan tangkisan William Loh. Menurut dia, adalah
pekerjaan mudah untuk menghapus noda darah dengan sepotong kain
atau air misalnya. "Kalau pisau itu sudah kering, siapa lagi
yang mau minta sebuah pisau silet untuk mengeroknya?" kata Chang
Kok Ming. "Parmi sendiri kelihatan tidak teguh, mungkin suatu
kali malahan ia akan ragu-ragu," kata Chang.
Dua hari sebelum hari naas itu suami istcri tadi terlibat
pertengkaran. Gara-garanya, menurut William Loh, ibunya Ny.
Josephine Loh, tanggal 8 Agustus bercerita pada Faridah: William
ada affair dengan sekretarisnya, Margarette. Almarhumah tentu
saja tidak ingin suaminya membagi cinta pada wanita lain. Esok
harinya Faridah lari ke rumah orangtuanya di Jakarta dengan
bayinya. William dengan gusar menelepon. Ia minta Faridah segera
kembali dan menjanjikan akan menyingkirkan Margarette ke Kanada.
Tiba kembali di Singapura Faridah melarang William Loh pergi ke
kantor, dan memberi tempo seminggu untuk mengusir Margarette.
Loh memang tidak masuk kantor antara 12 - 22 Agustus. Sementara
itu pula Faridah yang masih gelisah dan gusar diam-diam
meletakkan alat pengeras suara di gagang telepom William Loh
sangat girang ketika mendadak 23 Agusrus Faridah mengijinkannya
masuk kantor kembali. Tanpa sadar hari itu juga ia menelepon
kantor, memberitahukan jam 3 sore itu ia akan masuk. Ternyata
Margarette yang menerima. Tentu saja Faridah yang bisa mendengar
percakapan itu dengan jelas makin gusar dan gelisah.
"Ia mencoba membunuh diri dengan pisau lipat, meskipun sudah
saya katakan soal Margarette sudah selesai," kata William Loh.
Musik
Menurut Parmi, almarhumah setelah kejadian itu minum 3 pil obat
tidur yang didapatkan dari seorang kawan, Ny. Wong. Jam 4 sore
24 Agustus, William Loh melihat isterinya dengan rambut
acak-acakan jalan terhuyung masuk ruang tidur utama. Ia lalu
menjangkau Faridah, yang terkantuk-kantuk itu, dan
membaringkannya di ruang tamu. William sendiri kemudian
meneruskan menyelesaikan aransemen musik untuk sebuah festival
musik.
Jam 01.15 pada 25 Agustus, setelah mabuk-mabukan dengan
teman-temannya, William Loh tidak menjumpai isterinya di kamar
tidur. Ia menyangka Faridah tidur di rumah seorang kakaknya yang
tak jauh dari apartemen mereka. Barulah menjelang pada 04.00
dinihari Parmi membangunkannya. "Saya meraung-raung dan histeris
ketika menjumpai Faridah sudah jadi mayat," kata William Loh.
"Kepada diri saya sendiri saya berkata, mengapa kamu
mabuk-mabukan hingga membiarkan ia terbaring di dapur
sendirian."
Jadi benarkah Faridah mati karena bunuh diri? Penyidik kematian
Chang Kok Ming membenarkan Faridah gelisah dan menderita tekanan
batin yang amat sangat setelah mengetahui permainan suaminya.
Dalam kebingungannya itu ia kembali ke Jakarta dan minta cerai.
"Ketegangan dan tekanan batin yang menguasai pikiran itulah,
yang menyebabkan ia memutuskan bunuh diri," tutur Chang Kok Ming
memberi kesaksian di depan pengadilan.
Faridah menurut Chang kemudian melukai urat nadi pergelangan
tangan, leher dan beberapa tempat lain. "Luka itu jelas
perbuatannya sendiri," kata Chang. "Sebab baik di tubuh korban
maupun dapur tidak ada tanda-tanda perlawanan dari seseorang
yang akan dibunuh."
Apakah benar setelah itu Faridah berjalan dari ruang tamu ke
dapur lalu membuka kran gas, sulit diketahui. Pengadilan
tampaknya masih perlu mendengar kesaksian lain, polisi yang
datang menyidik di tempat kejadian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini