DALAM hal lomba aneh-aneh, Semarang jagonya. Tidak berarti Bandung kalah. Pertengahan bulan lalu, di sepanjang Jalan Asia Afrika sampai ke jalan Wastukencana, Bandung, kerumunan orang menyaksikan lomba membawa baki yang berisi minuman. Lomba ini diikuti 72 peserta. Mereka adalah pelayan restoran, termasuk restoran di hotel dan di kereta api. Boleh membawa baki dengan jalan cepat, boleh lari, atau pelan-pelan, semaunya. Yang penting, minuman di atas baki tidak tumpah. Tujuannya, "Untuk melatih tenaga kerja terampil, apik, dan mempunyai konsentrasi kuat. Selain agar makanan-minuman sampai ke tangan tamu dengan selamat, tidak tumpah, dan tepat waktu," kata Goesti A.Dja'far, si pencetus ide. Konon, lomba ini nyontek dari kejuaraan serupa yang pernah ada di Eropa sana. Tidak gampang, Iho. Membawa baki ada undang-undangnya. Contoh: membawa baki dengan tangan kiri yang sejajar kepala, itu dianggap terbaik. Dalam lomba ini nilainya 150. Jika tangan kanan yang membawanya, hanya dapat 100. Tapi kalau baki itu diangkat kedua tangan, apalagi tingginya cuma sejajar dada - seperti yang sering anda lihat di rumah makan - nilainya anjlok jadi 50. "Gampang nyenggol tamu yang sedang duduk," kata Gildas, salah seorang juri. O, begitu. Nilai itu baru diperoleh kalau peserta selamat membawa baki, menurut jenis-jenisnya, sepanjang 2 km, start dari Alun-Alun Bandung dan finish di Kantor Kota Madya Bandung. Mengapa 2 km ? Ya, supaya aneh saja. Pemenangnya Wawa Kartiwa. "Membawa baki jauh, sudah biasa bagi saya," kata pegawai Hotel Trio ini. Jauh itu, maksudnya, ya, sekitar 50 meter, belum ribuan. Adapun Deni, yang biasa pula membawa baki jauh, melewati gerbong demi gerbong di kereta api, ternyata kalah. "Saya tak kesulitan membawa baki di atas kereta yang bergoyang. Di jalan yang medannya diam, malah terasa berat," katanya. "Yang goyang malah bakinya." Woalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini